Tata Kelola Seni Budaya Banua yang ‘Bergerak’

0

ADA apa dengan tata kelola pemerintah kabupaten/kota/provinsi terhadap seni dan budaya di banua? Apakah bupati/walikota/gubernur terpilih harus merombak “kabinet”-nya? Apakah birokrat/pimpinan SKPD/institusi/lembaga yang bekerja dengan baik juga harus diganti? Apa jaminan bahwa birokrat/pimpinan SKPD/institusi/lembaga yang baru akan bekerja lebih baik daripada yang lama?

PERTANYAAN itu terus berkecamuk di kepala saya setelah mengamati fenomena dan kinerja aparatur Pemprov Kalsel yang menangani tata kelola seni dan budaya di banua.

Saya paham, kepala daerah yang baru ingin lebih nyaman bekerja dengan aparatur/ birokrat/pimpinan SKPD/institusi/lembaga yang dipilihnya sendiri. Oleh sebab itu, sesuai dengan syarat dan ketentuan — didukung peraturan dan perundang-undangan — “perombakan kabinet” diperbolehkan.

Yang jadi soal, saat kepala daerah “menyusun rancangan kabinet”-nya, adakah jaminan bahwa tak ada “pembisik” yang punya kepentingan tertentu pada “kabinet baru” itu?

Sebagai praktisi seni di banua, di lingkup provinsi, saya menilai (dibandingkan dengan periode sebelumnya) inilah “zaman jahiliyah kebudayaan” dalam tata kelola seni dan budaya di Bumi Antasari.

“Zaman jahiliyah kebudayaan” itu diawali dengan disingkirkannya peran Dewan Kesenian Kalimantan Selatan (DKKS) dan Lembaga Budaya Banjar (LBB): lembaga seni dan budaya yang SK kepengurusannya diteken langsung oleh Gubernur Kalsel sebelumnya (H. Rudy Ariffin).

Aturannya: setiap Gubernur Kalsel harus mengakomodir dan memfasilitasi DKKS dan LBB (dengan dana APBD, untuk operasional kegiatan, seperti MUI Kalsel, KNPI Kalsel dan lain-lain). Ironisnya, karena tak disantuni, sejak 2015 hingga kini DKKS dan LBB bagai kerakap tumbuh di batu: hidup segan, mati tak mau. Saya mengungkapkan fakta ini sebagai anggota pengurus DKKS (Kombid Sastra, Periode 2015-2019).

Contoh aktual akibat dari amburadulnya tata kelola seni dan budaya di banua oleh aparatur yang tidak kompeten adalah pelaksanaan Festival Karya Tari Daerah (FKTD) Kalsel yang mucai dan hawai (dikerjakan Bidang Kebudayaan, Disdikbud Kalsel, di Panggung Terbuka Bakhtiar Sanderta, UPTD Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin, Rabu, 25/07/2018).

Berbeda 180 derajat dengan tahun-tahun sebelumnya (yang lazimnya diikuti peserta 13 kabupaten/kota), FKTD Kalsel tahun ini — pemenangnya mewakili Kalsel di Festival Tari Nusantara (FTN), Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta — cuma diikuti 4 peserta kabupaten/kota (dengan jumlah juri 5 orang!).

Untuk menggerakkan semangat membangun banua, Paman Birin melontarkan semboyan “Bergerak”. “Bergerak” punya kontradiksinya sendiri. Dalam menilai tata kelola Pemprov Kalsel terhadap seni budaya banua di masa lalu, masa kini dan (kemungkinan yang akan terjadi) di masa depan, orang berhak punya pandangan masing-masing, sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman empirisnya.

Apakah di masa lalu tata kelola Pemprov Kalsel terhadap seni dan budaya banua “Bergerak ke Depan”? Saya berani menjawab “Ya”.

Secara berkala, melalui dinas terkait, di masa lalu Pemprov Kalsel melaksanakan Kongres Budaya Banjar (KBB) I sampai dengan IV (KBB terakhir dilaksanakan di akhir masa jabatan Gubernur H. Rudy Ariffin, 2015).

Atas rekomendasi peserta KBB (yang datang dari mancanegara), di zaman Gubernur H. Rudy Ariffin (2005-2015) terbit Perda Pemprov Kalsel Nomor 6/Tahun 2009 Tentang Pemeliharaan Kesenian Daerah dan Perda Pemprov Kalsel Nomor 7/Tahun 2009 Tentang Pemeliharaan Bahasa dan Sastra Daerah.

Meskipun implementasi 2 Perda tersebut berjalan kurang maksimal, sekurangnya praktisi seni budaya di banua sempat merasakan dampaknya.

Apakah di masa sekarang tata kelola Pemprov Kalsel terhadap seni dan budaya banua “Bergerak”? Jawabannya: “Tergantung”. Sebagian praktisi seni yang sepanjang hidupnya berkesenian ada yang menjawab “Bergerak ke Belakang”, ada pula yang menjawab “Bergerak di Tempat”.

Faktanya, KBB (yang dilaksanakan setiap 2-3 tahun sekali) kini tak ada lagi, DKKS dan LBB mati suri. Pembuatan film Perang Banjar yang menelan dana APBD Rp 28 miliar juga mubazir, lebih-lebih kru, aktor-aktris utama dan sutradara semuanya berasal dari Jakarta (sementara aktor-aktris lokal tak mendapat honor sepeser pun!).

Andaikata uang pajak rakyat Bumi Antasari yang dipakai untuk membuat film itu digunakan untuk mendirikan Sekolah Menengah Karawitan (SMK) dan institusi pendidikan seni — seperti ISI (Yogyakarta), IKJ (Jakarta), misalnya — hasilnya akan lebih bermanfaat.

Salah satu faktor yang membuat tata kelola seni dan budaya banua berjalan kada karuan tampuh alias centang-perenang adalah wrong man in the right place di birokrasi dan adanya makhluk siluman yang bergentayangan — yang kata-katanya bagai sabda bagi birokrat dan punya akses langsung kepada penguasa alam gaib. Jadi, apakah tata kelola seni dan budaya banua di era digital ini “Bergerak”?

Penulis adalah Pekerja Seni Budaya

Tinggal di Banjarmasin

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.