Penyeduh Jamu Arab Tepi Jalan Pangeran Samudera yang Kian Meredup

0

SEPI dan kian terpinggirkan. Malam-malam ‘kelam’ dan kian meredup. Inilah yang kini dirasakan para penyeduh jamu khas Arab yang mengais rezeki di sepanjang Jalan Pangeran Samudera, depan komplek pertokoan Pasar Cempaka dan Pasar Niaga Banjarmasin.

BEBERAPA tahun belakangan ini, para pelanggan seperti enyah ditelan bumi. Para penggemar ramuan jamu yang diracik para pedagang keturunan Arab ini seakan makin menjauh. Tiap malam, hanya bisa dihitung jari yang datang ke lapak para penyeduh jamu khas Timur Tengah dicampur ramuan tradisional Jawa dan Banjar.

“Dulu di kawasan ini berjejer ada lebih dari 20 penyeduh jamu. Sekarang, yang tersisa mungkin hanya 10 penyeduh jamu. Ya, bisa dihitung dengan jari,” kata penyeduh jamu Arab, Nasir Muhammad Alkatiri kepada jejakrekam.com, Minggu (4/11/2018) malam.

Nasir pun sudah merasakan hanya satu atau dua pelanggan yang datang. Dulu, ada belasan orang yang mampir ke lapak dagangan jamunya. Ada apa? Nasir menduga akibat rendahnya daya beli masyarakat turut menjadi penyebabnya.

“Sekarang cari kerjaan cukup susah. Jadi, uang yang ada mungkin cukup buat rumah, sehingga untuk beli jamu misalkan seminggu sekali, agak jarang,” kata Nasir, menebak.

Celakanya, justru harga bahan baku pembuatan jamu Arab juga melonjak naik. Nasir yang sudah menggeluti usaha seduh jamu khas Arab sejak 1980-an, merasakan begitu sulitnya kini mencari selembar demi selembar rupiah.

“Kalau lagi ramai, ya bisa bawa pulang Rp 100 ribu, paling sedikit ya Rp 30 ribu satu malam. Dulu, bisa ratusan ribu,” kenang Nasir.

Gara-gara sepi penggemar jamu, beberapa penyeduh jamu pun ada yang berhenti. Sebagian lagi, ada yang pindah ke lokasi lain, seperti di Kayutangi dan Jalan HKSN, termasuk memasuki komplek perumahan agar lebih mendekati para peminat ramuan jamu kuat ini.

Nasir pun mengaku tak membandrol harga lebih mahal. Harga jamu ramuan biasa, hanya dipatok Rp 15 ribu. Jamu kuat lelaki Rp 20 ribu, makin banyak campuran ramuan ditawarkan Rp 25 ribu. Untuk jamu kelas balas dendam dengan campuran telor bebek tiga butir seharga Rp 30 ribu. “Kalau spesialis ditambah ramuan rahasia, ya Rp 40 ribu. Jadi, ada varian harga yang bisa dipilih pelanggan, sesuai dengan isi kantongnya,” tutur Nasir.

Namun ya itu tadi. Nasir pun mengaku tak bisa lagi berharap banyak dengan berjualan di trotoar Jalan Pangeran Samudera. “Ya, pelanggan saya mungkin sudah hilang lebih dari separuh. Kalau dulu, satu malam bisa 10 hingga 15 orang, sekarang bisa hanya satu hingga tiga orang,” kata pria berjanggut ini.

Nasir pun mengaku tak menggunakan bahan kimia dalam racikan jamunya. Dia memanfaatkan beberapa bahan alami yang dipercaya memiliki khasiat, seperti temulawak, kedaung, restung, hingga racikan ragi 40, plus majun dan lainnya. Termasuk, ada beberapa organ kambing seperti empedu yang dipercaya bisa mengobati kencing manis. Lagipula, ramuan jamu ini juga berkhasiat mengusir dinginnya malam Banjarmasin yang sudah dilanda musim tak menentu.

“Ya, lagi-lagi orang lagi kesulitan fulus (uang). Mau apa lagi? Saya ini sudah tua dan kebisaan hanya membuat racikan jamu dan menyeduhnya,” ucap warga Kampung Arab, Jalan Antasan Kecil Barat ini.

Bukan hanya Nasir. Sang penyeduh jamu lainnya Ami Karim pun mengaku sudah beberapa tahun ini, pelanggan jamu Arab makin menurun drastis. Ini ditambah makin sepinya pengunjung Pasar Blauran di kawasan Pasar Cempaka.

“Ya, sangat berpengaruh. Sekarang, penyeduh jamu sudah berkurang hampir separuh di kawasan ini,” kata Ami Karim.

Dia pun menerawang di era tahun 1990-an dan awal 2000-an, ketika kawasan Pasar Sudimampir dan Pasar Cempaka, hidup dengan denyut pasar malamnya. “Ya, banyak teman-teman saya sudah gulung tikar. Harga bahan baku naik, tapi pelanggan makin menurun. Sebagian yang memilih bertahan, karena masih ada pelanggan yang setia,” kata Ami Karim.

Namun, Ami Karim tetap bisa bersyukur, meski harus terbebani dengan berbagai ongkos berjualan di tepi Jalan Pangeran Samudera, toh sudah puluhan tahun, para penyeduh jamu Arab ini telah mampu bertahan. Ami Karim pun setia menanti, ketika ada sepeda motor atau mobil singgah di depan lapak jamunya.

“Mungkin sekarang memang susah cari kerja. Jadi, berimbas susah pula cari duit. Akhirnya, orang lebih mementingkan kebutuhan pokok, dibanding membeli jamu. Padahal, jamu yang kami racik ini untuk kesehatan dan kebugaran,” imbuhnya.(jejakrekam)

 

Penulis Sirajuddin
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.