Soundscape Of Gurindam: Bebas Berekspresi, Bikin Gurindam Jadi Berwarna

0

GURINDAM boleh dibilang bentuk sastra lawas yang perlahan-lahan tenggelam. Tergantikan oleh bentuk-bentuk sastra kontemporer. Namun, upaya pelestarian bentuk puisi klasik itu digaungkan lagi oleh penggiat seni Kalimantan Selatan pada pertunjukan Soundscape Of Gurindam, Jum’at (27/10) di Hutan Pinus Kota Banjarbaru. Puluhan seniman secara bebas menafsirkan Gurindam dengan ekspresi kesenian masing-masing.

PROGRAM kesenian ini dicetus oleh Taman Budaya Kalsel dan Pemkot Kota Banjarbaru. Berkolaborasi dengan Nov’art Laboratory, pertunjukan ini ditujukan sebagai respons karya-karya Iberamsyah Barbary yang dikenal sebagai tokoh pelestari gurindam dari Kalimantan Selatan.

Tercatat ada 20 lebih seniman dan sastrawan yang terlibat ikut menafsirkan teks gurindam hasil olah pemikiran Iberamsyah. Diantaranya, Mukhlis Maman (Julak Larau), Abib Igal Habibi, Dwitiya Amanda Puteri, Obo Orchestra Banjarbaru, Lupi Anderiani, HE Benyamine, Sandi Firly, dan pelajar SMAN 2 Banjarbaru.

Konseptor Soundscape Of Gurindam, Novyandi Saputra mengatakan pementasan puluhan seniman ini bertitik berat pada kata respons. “Para seniman yang terlibat menanggapi karya Iberamsyah dengan media seni masing-masing. Ini sejalan dengan bagaimana Iberamsyah merespons berbagai kejadian yang dialami, dilihat, didengar, dan dirasakannya,” ujar Novy saat menggelar konferensi pers di Hutan Pinus Kota Banjarbaru.

Menurut Novy, sebagai bentuk sastra lawas gurindam tak cukup jika cuma dibacakan teksnya saja jika ingin dikenal publik secara luas. Dengan melibatkan seniman dan sastrawan lainnya, dirinya berniat menciptakan pembacaan baru teks agar lebih berwarna. Gurindam akhirnya disajikan melalui nyanyian, lukisan, tarian dan bentuk kesenian lainnya.

 

Pertunjukan digelar tanpa panggung. Semuanya dibiarkan alami serta menyatu dengan alam. Para penonton diajak berkeliling Hutan Pinus untuk melihat penampilan yang dibuat secara terpisah-pisah. Ambil contoh, kolaborasi Lupi Andriani, Abib Igal, dan Dwitiya Amanda yang berkolaborasi menampilkan pertunjukan musik dan tarian. Mereka menafsirkan gurindam dengan ekspresi kesenian masing-masing.

Apa poin penting yang ingin disampaikannya dalam pertunjukan ini? “Sektor kreatif harus mampu menjaring pemerintah, swasta, dan masyarakat,” cetusnya. Menurut Novy, pandangan publik mengenai sastra dan kesenian harus dipahami sebagai bagian krusial dalam pembentukan kota yang estetik-artistik.

Sementara itu, Kepala UPTD Taman Budaya Kalsel, Suharyanti mengatakan Soundscape Of Gurindam masuk dalam program pagelaran seni kabupaten/kota wilayah Kalimantan Selatan. “Digelar sebelumnya di HST, Tapin, HSS, Balangan, Tabalong, HSU, Batola dan di Banjarbaru,” tandasnya.

Datang dari Raja Haji Ali, Dijaga Iberamsyah Barbary

“Barang siapa tiada memegang agama,
Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.

Barang siapa mengenal yang empat,
Maka ia itulah orang yang ma’rifat

Barang siapa mengenal Allah,
Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.

Barang siapa mengenal diri,
Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri.

Barang siapa mengenal dunia,
Tahulah ia barang yang teperdaya.

Barang siapa mengenal akhirat,
Tahulah ia dunia mudarat”

Teks itu dikenalkan oleh Raja Haji Ali ratusan tahun lalu, tepatnya pada 1847 di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Lelaki kelahiran Selangor, Malaysia itu merupakan tokoh pencetus gurindam. Naskah itu dimuatnya dalam mahakaryanya yang berjudul Gurindam Dua Belas.

Jika dilihat strukturnya, sebagai bentuk puisi lama gurindam memiliki ciri khas: terdiri dari dua bait, tiap bait terdiri dari 2 baris kalimat dengan rima yang sama. Teksnya lebih banyak bicara mengenai pedoman dan intisari cara kehidupan beragama.

Gurindam Dua Belas menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Ia juga menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk. Raja Ali Haji juga patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Buku berjudul Tuhfat al-Nafis (“Bingkisan Berharga” tentang sejarah Melayu), walaupun dari segi penulisan sejarah sangat lemah karena tidak mencantumkan sumber dan tahunnya, dapat dibilang menggambarkan peristiwa-peristiwa secara lengkap.

Berkarya sejak umur 30-an, karya-karya Raja Haji Ali yang banyak berkontribusi untuk sastra melayu, khususnya Gurindam harus berakhir saat dirinya wafat sekitar tahun 1872.

“Beratus-ratus tahun kemudian, tak banyak yang melestarikannya. Tapi, Kota Banjarbaru berupaya menjaga gurindam tetap bertahan,” kata Iberamsyah Barbary saat pertunjukan Sounscape Of Gurindam, kepada awak media.

Lelaki sepuh berumur 70 tahun inilah yang mencoba kembali membangkitkan gurindam. Karya terbesarnya adalah Banjar Negeri Harum: 1001 Gurindam. Diluncurkan tahun 2014 lalu di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta , buku setebal 320 halaman ini dibuka oleh pengantar pakar sastra Indonesia, Maman S. Mahayana.

Dikutip dari buku 1001 gurindam, Maman menyebut karya Iberamsyah ibarat embun yang menyejukkan. Saat ingar-bingar politik dan pemberitaan yang jauh dari nasihat kesantunan.

Sayangnya saja, Dia menilai sastra gurindam masih kalah pamor dengan bentuk sastra lainnya seperti pantun. Ia menganggap gurindam masa kini surut ke belakang. Padahal, karya Iberamsyah dicap berkualitas karena memberikan nasihat-nasihat secara kontekstual.

Senada dengan Maman S, Mahayana, pertimbangan Novy memilih karya-karya Iberamsyah Barbary untuk ditafsirkan oleh para seniman juga tak lepas dari hal-hal yang sejalan dengan permasalahan sosial yang ada di sekitar kita. “Ini berbeda dengan gurindam dua belas Raji Ali Haji yang lahir sebagai sebuah pedoman dan intisari cara hidup beragama,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis Donny Muslim
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.