Datu Abulung yang Tak Tanggung-Tanggung

0

MENYAKSIKAN pertunjukan teater “Datu Abulung (Sinar Sebelum Cahaya)” Kampoeng Seni Boedaja (KSB) ULM di Gedung Balairung Sari, UPTD Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin, Sabtu (20/10/2018) malam lalu, mengingatkan saya pada pertunjukan dengan cerita yang sama (dipentaskan di tempat yang sama, dengan penulis naskah/sutradara/aktor-aktris berbeda), puluhan tahun silam.

SEBELUM era digital, di tempat yang sama mendiang Ajamuddin Tifani (penulis naskah/sutradara) juga menggelar “Abdul Hamid Abulung” (1995), dengan aktor-aktris dari berbagai komunitas seni dan teater di Kota Banjarmasin. Entah dengan pertimbangan apa (saya lupa persisnya), saat itu Ajamuddin Tifani memberi saya peran sebagai “Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari”.

Jalan cerita “Abdul Hamid Abulung” (naskah/sutradara Ajamuddin Tifani) tak jauh berbeda dengan “Datu Abulung (Sinar Sebelum Cahaya)” KSB ULM. Yang berbeda adalah waktunya. Ketika “Abdul Hamid Abulung” Ajamuddin Tifani dipentaskan, Faisal Refki (penulis naskah/asisten sutradara) dan Surya Hadie (sutradara) masih balita, sehingga, ketika menggarap “Datu Abulung (Sinar Sebelum Cahaya)”, mereka berhasil lepas dari bias.

Setting utama “Datu Abulung (Sinar Sebelum Cahaya)” KSB ULM adalah “palataran istana” Sultan Kerajaan Banjar (Tahmidullah II, yang diperankan Mihrab Adi Surya). Menggunakan panggung atas dan panggung bawah, pertunjukan yang berdurasi lebih 2 jam tersebut berjalan dalam ritme lambat, dengan intonasi dialog para aktor yang hampir tanpa timbre (dan berlangsung dari awal hingga akhir).

Diawali teaser yang ditembakkan ke dinding atas panggung dan gerak tarian sejumlah pemain (yang sebetulnya tidak perlu), pertunjukan beralih ke panggung bawah, berisi percakapan dua orang petani yang resah dengan ajaran tasawuf (wahdatul wujud) Datu Abulung (yang dianggap membahayakan akidah). Seorang petani (pengikut Datu Abulung) lewat dan, karena perbedaan pandangan, terjadilah perbantahan.

Masalah itu sampai ke telinga Sultan Tahmidullah II. Dari perbincangan dengan Mangkubumi (Ratu Anom Ismail, diperankan Ahmad Yamani), Sultan Tahmidullah II menduga ajaran Datu Abulung (diperankan Mahbob Fran Akbar HB) akan membawa pengaruh bagi persaingan dalam tahta kekuasaan dengan Pangeran Amir.

Demikianlah, kemudian Sultan memerintahkan Pengawal (diperankan Muhammad Wahyu Wicaksono) memanggil pulang Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Datu Kalampayan, diperankan M. Imam Khazin) yang telah menimba ilmu agama Islam di Tanah Suci Mekkah selama 30 tahun (versi lain menyebut 32 tahun) untuk kembali ke Tanah Banjar.

Setiba di “palataran istana” Sultan Kerajaan Banjar, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dimintai pendapat dan pikirannya untuk menjawab keresahan yang timbul di masyarakat akibat ajaran Datu Abulung. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyarankan agar Sultan mengangkat Mufti dan Qadhi guna mengatasi persoalan dengan adil.

Demikianlah, Sultan mengangkat Muhammad As’ad (diperankan Abdurrahman) sebagai Mufti dan Abu Su’ud (diperankan Ricky Gumelar Anugrah) sebagai Qadhi.

Lalu, cerita pun bergulir (seperti yang umumnya telah diketahui masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan): Datu Abulung dijatuhi hukuman, dikurung di kerangkeng besi dan ditenggelamkan ke dalam sungai (tapi tidak mati). Setelah menyatakan “rela”, ia mengaku dapat dibunuh dengan kerisnya sendiri. Ketika keris Pengawal menusuk punggungnya, darahnya muncrat dan membentuk huruf “Laa illaha illalah”. Cerita berakhir.

Meskipun ritme pertunjukan berjalan lambat, sajian KSB ULM malam itu cukup khidmat. Kursi terisi penuh, penonton (undangan dan pembeli tiket, sebagian besar anak muda) tampak menikmati pertunjukan, menyimak kata demi kata dan dialog demi dialog yang disampaikan para aktor.

Tata panggung, tata lampu, tata musik, tata busana dan tata rias para aktor tampaknya memang telah dipersiapkan dan dirancang sedemikian rupa. “Cacat kecil” barangkali ada pada pemilihan peran (casting). Mengingat masyarakat Banjar kadung mengidentifikasikan raut wajah “Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari” dengan foto lukisannya (yang telah dikenal), pemilihan aktor bertubuh relatif “gampal” dan berpipi “dampam” agak bertentangan dengan bentuk wajah “Datu Kalampayan” yang tirus.

Selain alasan tertentu (saya tidak tahu alasan sutradara/asisten sutradara), secara fisik (dan raut wajah) yang lebih tepat untuk memerankan “Datu Kalampayan” saya kira adalah Ahmad Yamani (pemeran “Mangkubumi, Ratu Anom Ismail”).

Pentas “Datu Abulung (Sinar Sebelum Cahaya)” tampaknya memang dipersiapkan tak tanggung-tanggung, dengan musik yang ditata apik (di saat tertentu narasi disampaikan dengan “basyair”). Tata musik yang apik berhasil menghindarkan penonton dari kejenuhan. Ini memang pertaruhan bagi reputasi KSB ULM, mengingat pertunjukan yang disajikan dua kali (sore dan malam) itu merupakan pentas tunggal mereka yang pertama (sejak awal berdirinya).

Sebagai UKM Seni universitas (bukan UKM Seni fakultas), KSB ULM selama ini lebih banyak bertindak sebagai panitia pelaksana festival teater, juga mengikuti (dan menjuarai) berbagai festival teater (yang dilaksanakan UKM Seni PTN/PTS lain di Kota Banjarmasin).

Yang mengganggu rasa khidmat penonton dalam menikmati pertunjukan malam itu adalah pengeras suara (sound system) yang, di awal pertunjukan, berulang kali feedback (“stooring”). Sudah saatnya UPTD Taman Budaya Kalsel memperbaiki (atau mengganti) pengeras suara (juga lampu panggung)-nya, mengingat posisinya sebagai satu-satunya gedung pertunjukan kesenian yang dimiliki Pemprov Kalsel.(jejakrekam)

Penulis adalah Pekerja Seni dan Budaya

Tinggal di Banjarmasin

Pencarian populer:kisah datu abulung,Syekh abdul hamid abulung al banjari

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.