Memahami NU dengan Pernak-Perniknya

0

BANYAK para ahli sejarah yang mengatakan bahwa NU (Nahdlatul Ulama) lahir sebagai organisasi gerakan para ulama dan organisasi agama dan kemasyarakatan karena reaksi terhadap Muhammadiyah. Ormas Islam ini memang banyak menuduh dan menghujat amaliyah kaum tuha yang waktu itu masih sebagai kultur sebagai Takhayul, Bid’ah dan Churafat (TBC).

PADAHAL, NU baru berdiri 31 Januari 1926, sedangkan Muhammadiyah sudah lama berdiri sejak tahun 1912. Suatu rentang waktu yang begitu jauh sekitar 14 tahun.

Apakah suatu reaksi bisa berlaku sampai rentang waktu yang begitu panjang? Bukankah reaksi itu muncul biasanya dalam waktu yang tidak terlalu nama ? Sebenarnya NU lahir lebih karena faktor internal dari dinamika di dalam dirinya sendiri dalam menghadapi perkembangan zaman dan perubahan sosial yang terjadi.

Sebelum mewujud organisasi NU telah ada modal sosial atau emberio yang tumbuh subur yakni telah adanya Nahdatut Tujjar (gerakan ekonomi atau kebangkitan perdagangan), Nahdatul Wathan (gerakan kebangsaan atau kebangkitan nasional) dan Tashwirul Afkar (gerakan pemikiran atau kebangkitan intelektual) ditambah lagi Islam kultural yang tumbuh secara alami dan telah lama mengakar di masyarakat Nusantara.

Mestinya bisa lahir lebih cepat dari Syarikat Islam (SI) sekalipun yang berdiri secara resmi sekitar tahun 1911 oleh H Samanhudi dan H Oemar Said Tjokro Aminoto. Namun KH Hasyim Asy’ari dan kawan-kawan waktu itu, masih belum mau mendirikan organisasi demi persatuan dan kesatuan umat Islam.

Demikian juga, ketika Muhammadiyah lahir, sekitar tahun 1912, KH Hasyim dan kawan-kawan tetap kukuh menghindari perpecahan umat Islam Nusantara dari rasa persatuan, padahal waktu itu para kaum muda keluar dari Syarikat Islam dan mendirikan Muhammadiyah. Selain itu, ketika telah berdiri MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang menghimpun elemen berbagai faksi Islam, KH Hasyim dan kawan-kawan tak bergeming sedikitpun dari sikap dan kemauan tetap menjaga persatuan, walaupun mayoritas anggota MIAI sering memojokkan.

Tapi ketika MIAI diundang dalam konferensi Islam dan tak melibatkan mereka dan tak mengusulkan usul mereka pada Pemerintah Saudi Arabia agar tetap mempertahankan keragaman mazhab, saat itu barisan kaum tuha kecewa. Mereka kemudian bergerak cepat agar tidak terlambat membentuk Komite Hijaz sekitar tahun 1925 yang mengutus KH Abdul Wahab Hasbullah  dan rombongan untuk melakukan bargaining, negosiasi dan diplomasi agar pelaksanaan ibadah beragam mazhab terutama mazhab empat dibiarkan dan tetap berlangsung tenang

Rupanya upaya ini berhasil, Pemerintah Saudi Arabia menerima sepenuh hati usulan dari komite yang dipimpin oleh KH Wahab ini sebagai diplomat dan negosiator hebat. Sehabis ini, KH Wahab dan kawan-kawan mengusulkan kepada KH Hasyim untuk membentuk organisasi.

KH Hasyim tak serta merta menerima, beliau terlebih dahulu mohon izin kepada guru beliau, Syekh Kholil bin Abdil Latif dari Bangkalan, Madura dan minta petunjuk ke hadirat Allah SWT lewat salat istikharah berkali-kali agar terbentuknya organisasi ini menjadi maslahah bagi umat dan bangsa ini.

Tak berapa lama, KH As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo utusan Syekh Khalil (murid Syekh Khalil sekaligus murid KH. Hasyim) datang ke KH Hasyim menyerahkan tongkat dan tasbih yang mengisyaratkan sang guru sudah merestui dan mengizinkan sang murid segera mendirikan organisasi NU.

Pada tanggal 31 Januari 1926 berdirilah NU di kota Surabaya. Dalam perjalanan rentang waktu yang tak terlalu lama NU menyebar hampir ke seluruh Nusantara karena KH Hasyim dengan Pondok Pesantren Tebuirengnya yang besar menyeru agar murid-murid beliau yang berasal dari berbagai daerah mendirikan organisasi NU di tempatnya masing. Salah satunya, di Kalimantan NU berdiri sekitar Oktober 1926 oleh salah seorang murid kesayangan beliau yakni Tuan Guru H Abdul Qadir Hasan, dari Martapura.

Kemudian, dalam ranah pemikiran NU sering dikatakan para pengamat sebagai kelompok yang berpikir jumud, kuno, klasik dan tradisional tak mengikuti perkembangan zaman, bahkan dibilang kelompok yang menjadi beban bagi negara dan masyakat. Padahal kenyataannya, apalagi sekarang ini NU dan terutama kaum mudanya nampak lebih maju dalam pemikiran daripada mereka yang mengaku modernis. Sebenarnya dikotomis tradisional-modern, suatu teori dan paradigma yang sudah kadaluarsa, irrelevan dan terbantahkan serta sudah ketinggalan zaman.

Lalu, dalam ranah politik, NU sering dituduh sebagai kelompok opportunis yang sering hanya mencari selamat  dan keuntungan sendiri dengan mengorbankan orang lain. Padahal sikap dan langkah politik NU itu berbasis pada kaidah-kaidah fiqih dan fiqih siasah NU yang berlainan. Dalam dunia politik, NU banyak bereferensi pada ulama-ulama abad pertengahan seperti Imam Al-Mawardi (al-Ahkam al-Sulthaniyah), Ibnu Jama’ah (al-Ahkam al-Sulthaniyah), Imam Ghazali (Nashihah al-Mulk) dan lain-lain.

Sementara pihak yang menuduh, pemikiran politik mereka banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran tokoh abad modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Hasan Al-Banna, Sayyid Qutub, Abul A’la Al-Mawdudi dan lain-lain.

Selanjutnya, dalam ranah keagamaan, NU dihujat sebagai sinkretisme yang memadukan Islam dengan kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan Islam murni dan budaya-budaya lokal. Padahal NU hanya tak ingin serampangan memvonis suatu kepercayaan dan kebudayaan itu takhayyul, bid’ah, churofat, syirik dan sesat.

Apalagi NU memegang teguh kaidah fiqih yang bersumber dari Imam Mazhab 4 yang berbunyi al-‘adah muhakkamah yakni suatu yang sudah menjadi tradisi (adat) bisa menjadi hukum, dan al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yakni memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik.

Sementara pemahaman mereka yang menggugat, sesuatu hal baru yang tidak ada contohnya pada Nabi Muhammad Saw adalah bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan orang sesat tempatnya adalah neraka. Sedangkan dalam Mazhab Syafi’i yang banyak dianut kalangan NU, bid’ah itu macam-macam yakni bid’ah hasanah, bid’ah sunnah, bid’ah makruh, bid’ah mubah dan bid’ah haram.

Pada sisi lain, banyak istilah-istilah dalam NU yang perlu dijelaskan agar tak terjadi kesalahpahaman seperti Ahlussunah wal Jamaah artinya orang mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw, jamaah sahabat dan jumhur ulama, dalam fiqih mengikuti Mazhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), dalam teologi menganut paham Asy’ariyah dan Maturidiyah (Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi) dan dalam tasawuf memegang tasawuf Sunni (Imam Ghazali dan Imam Junaid Al-Baghdadi).

Kemudian, tentang khittah yang artinya garis perjuangan NU sebagai lembaga organisasi sosial keagamaan yang kukuh tak terlibat politik praktis, menjaga jarak yang sama dengan partai politik manapun. Tapi bukan melarang secara individual warga NU, bahkan menganjurkan untuk berpolitik sebagai hak hakiki selaku warga negara.

Lalu istilah tasamuh (toleransi saling menghargai perbedaan), tawasuth (jalan tengah, tak ekstrim kiri dan ekstrim kanan alias moderat), tawazun (seimbang antara tekstual dan rasional, jasmani dan rohani, duniawi dan ukhrawi dan lain-lain), i’tidal (berlaku adil, bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya), hubbul wathan (cinta tanah air) dan ikhlas (apresiatif, simpati dan empati terhadap kebaikan dan keunggulan orang lain dengan tulus).

Adapun faktor kekuatan NU adalah jumlah pengikutnya yang demikian besar sekitar 45 persen dari penduduk Indonesia. Banyaknya jumlah pesantren yang meneruskan ajaran NU. Keberislamannya yang wasathiyah, mendunia, cinta damai dan rahmatan lil ‘alamin. Mempunyai ulama dan intelektual yang mumpuni. Kemudian, faktor kelemahan NU suatu mayoritas yang kuat secara kuantitas, tapi lemah secara kualitas.

Tata organisasi NU dan pesantren belum menggunakan manajemen profesional yang tranfaran dan akurat. Kurang publikasi model Islam NU yang ramah ini di tingkat lokal dan global. Lalu faktor Ancaman NU yang paling membahayakan adalah faham Islam transnasional salafi yang sangat agresif yang banyak mempengaruhi kaum muda milineal termasuk generasi muda NU.

Terus faktor peluang NU adalah model Islamnya sesuai dengan semangat zaman. Tinggal bagaimana kita mempromosikannya dengan baik terutama kepada kaum muda milineal.(jejakrekam)

Penulis adalah Staf Pengajar UIN Antasari Banjarmasin

Peneliti Senior LK3 Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.