Jangan Mencandai Bencana

0

PAGI ini, saya menerima pesan dalam WAG tentang waspada gempa di Kalimantan. Pesan itu disampaikan kadang secara berulang-ulang dalam WAG, dengan orang pengirim berbeda. Bahkan pesan yang sama dengan orang yang berbeda juga ada di group lain.

APALAGI, isinya terlihat serius meskipun Pulau Kalimantan tidak termasuk wilayah ring off fire (cincin api) yang rentan terhadap kemungkinan terjadinya gempa.  Namun jika dicermati, tulisan ini menyerupai psedo ilmiah yang mencoba menemukan rasionalitas pembenar.

Menjelang paragrap akhir terjadi pembalikan terutama pada kalimat  “..pusat lempeng terbanyak”. Ternyata selanjutnya justru menyampaikan aneka macam kue tradisional yang dinamakan lempeng. Jadi, struktur pesan berantai gempa itu dimulai dari pertama hal serius, menakutkan atau horor akan ancaman gempa.

Kemunculan berita ini mengaitkan dengan fenomena global sebagaimana disampaikan “lempeng Indo Australia ke arah Lempeng Eurasia” yang pengirim pesan forwarded, inipun belum tentu faham maksudnya. Dugaan saya, kemunculan pesan ini juga karena adanya bencana tsunami Palu dan sebelumnya gempa Lombok.

Persoalannya, bagian kedua, isi pesan berantai yang terlanjur menggiring pembaca ke hal sangat serius tentang kebencanaan atau gempa ternyata di balikkan ke hal yang berbeda sama sekali yakni jenis kue. Isinya secara teks kelihatannya serius apalagi tidak ada icon tersenyum, tertawa, dan sebagainya.

Dengan kata lain, isi pesan itu berusaha “menipu pembaca” dari isu gempa ke isu sebenarnya kuliner lempeng. Ini sama dengan cerpen, novel, film atau hal-hal yang bersifat dramaturgi yang membuat penonton terkejut menyaksikan atau membaca endingnya. Namun kekhasan pesan berantai tersebut adalah:

Isi pesannya dimaksud bercanda, sayangnya topik yang dijadikan bahan candaan adalah potensi bencana. Sehingga ada dari bagian kita sebenarnya kehilangan nilai simpati, empati, terhadap bencana gempa bumi dan tsunami yang memakan ribuan korban.

Hal ini saya kira kebanyakan kita tidak pernah mengalami gempa sehingga tayangan berita di televisi atau foto-foto korban gempa dijadikan tontonan saja.

Secara kultural rem sosial kita mengalami aus, tidak ada lagi kalimat “kalo pina dilanjurkan Tuhan”, atau “kalo pian kamarawaan”. Atas dasar itu saya menyampaikan.

Pertama, hentikan mengirim pesan bercanda yang menggunakan isu bencana dan segera beristigfar. Kedua, agar admin di grup media sosial segera menghapus pesan tersebut.

Ketiga, pihak kepolisian atau keminfokom menyampaikan pesan tegas agar tidak bermain-main dengan bencana. Keempat, mari memilih topik bercanda yang humanis.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Mata Kuliah Masyarakat dan Budaya Kalimantan Prodi Pendidikan Sosiologi FKIP ULM.

Alumni Antropologi UGM.

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.