Sempat Bersitegang dengan Polisi, Ritual Banyang Madro Akhirnya Bisa Digelar

0

KONFLIK pertanahan antara masyarakat  dengan pihak perusahaan tambang dialami Heriyanto, warga Desa Kasiau, Kecamatan Murung Pudak, Kabupaten Tabalong. Ia pun meminta bantuan lembaga adat Dayak untuk menengahi sengketa lahan yang kini digarap menjadi areal pertambangan batubara.

MAJELIS Adat Dayak Nasional (MADN) Wilayah Kalimantan Selatan, Dewan Adat Dayak (DAD) Kalsel, Barisan Pertahanan Adat Dayak (Batamad) Bartim, terpaksa harus turun tangan untuk membantu Heriyanto. Mereka menuntut hak kepada PT Adaro karena diduga telah mencaplok lahan yang diklaim milik Heriyanto.

Saat menggelar aksi di lokasi yang disengketakan, Selasa (16/10/2018), masyarakat adat Dayak menggelar ritual adat Banyang Mandro di lahan yang diklaim milik Heriyanto.

Aparat keamanan yang menjaga lahan tambang Adaro, sempat bersitegang dengan warga adat Dayak. Sebab, aparat kepolisian menilai ritual adat itu akan mengganggu aktivitas pertambangan milik perusahaan multinasional itu.

Aparat kepolisian sempat melarang warga memasuki wilayah tambang. Mereka beralasan tambang PT Adaro merupakan objek vital nasional. “Wilayah tambang ini, keamanannya merupakan tangung jawab kami. Mohon untuk menghargai kami,” ucap seorang anggota kepolisian.

Perdebatan pun tak terhindarkan. Hingga akhirnya, polisi mengalah dan mengizinkan warga Dayak untuk menyelenggarakan ritual adat. Sementara, masyarakat adat Dayak beralasan ritual keagamaan itu harus tetap digelar, karena berdasar hasil musyawarah pada Selasa (10/10/2018) lalu.

Kepala Batamad Bartim, Hardi Calivijin Agoeh mengatakan ritual Banyang Mandro digelar karena ada pihak lain yang menyerobot lahan adat. “Lahan terjadi dualisme kepemilikan antara Heriyanto sekeluarga dan pemilik lain. Namun, anehnya PT Adaro tetap berani menggarap lahan tersebut,” ucap Hardi kepada wartawan di lapangan.

Dia menyayangkan sikap intimidatif aparat kepolisian kepada Heriyanto dalam mengorek keterangan. Pemilik lain, beber Hardi, sampai sekarang tidak kelihatan batang hidungnya, sementara Heriyanto tidak pernah menjual lahan kepada pihak lain.

“Kami sudah menyurati PT Adaro, adat selalu memberikan win-win solution untuk semua pihak. Namun, sampai adat mengambil keputusan justru tidak digubris sama sekali,” ujar Hardi

Dia menjelaskan telah terjadi musyawarah yang dimediasi pihak Polres Tabalong. Saat itu, semua pihak duduk bersama yang dipimpin Kapolres Tabalong bersama petingginya, terkecuali Kasatreskrim yang tengah berada di luar daerah..

“Dalam rapat bersama itu melahirkan enam poin kesepakatan bersama. Yakni, Kapolres Tabalong menegaskan tidak ada kewenangan pihak kepolisian untuk mengurus dualisme kepemilikan lahan, kemudian poin kedua ada kesepakatan bersama antara Polres Tabalong, pemilik lahan, lembaga adat, dan perwakilan PT Adaro bahwa objek yang diperkarakan seluas 10 hektare tidak boleh diganggu gugat,” papar Hardi.

Poin ketiga, beber dia, di luar objek perkara dipersilahkan untuk beraktivitas. Dan, kesepakatan keempat bahwa petugas lembaga adat dan pihak kepolisian untuk menjaga area sengketa.

“Poin kelima menunggu PT Adaro untuk menjadwalkan untuk bertemu secara kekeluargaan dengan pemilik lahan. Selanjutnya, poin kesepakatan terakhir kepolisian siap untuk hadir dalam pertemuan antara lembaga adat,pemilik lahan dan PT Adaro,” urai Hardi.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.