Dilema Penarik Bajaj Hijau, Antara Kejar Setoran dan Sepinya Penumpang

0

PEREMAJAAN bajaj terus digenjot di Banjarmasin. Proses penggantian bajaj merah yang tinggi emisi buangan dengan bajaj hijau yang ramah lingkungan, justru belum segaris lurus dengan minat para penumpang. Masih jauh dari ramai, akibat kalah bersaing dengan moda transportasi lainnya.

AWAL tahun 80-an moda transportasi bermesin bajaj, sejenis skoter produksi India menjadi salah satu angkutan umum yang digandrungi di kota-kota besar di Indonesia. Termasuk Banjarmasin. Kendaraan beroda tiga ini umumnya jadi pilihan warga urban, saat ke pasar atau ke tempat lainnya.

Seiring perjalanan waktu, angkutan penumpang umum dalam kota Banjarmasin semakin jauh menurun. Ini pula yang dirasakan para penarik bajaj. Sebagaian besar, bajaj yang beroperasi bermodal mesin tua. Dorongannya tak terlalu kuat lagi. Tak jarang, bajaj mogok di tengah keramaian. Ini ditambah, kepulan asap dari knalpotnya yang dianggap mengganggu.

Dulu, para pengemudi bajaj menjadikan Pasar Antasari, Pasar Sudimampir, Pasar Ujung Murung dan depan RSUD Ulin Banjarmasin di Jalan Achmad Yani Km 1, jadi pangkalan. Kini sudah sangat jarang terlihat, namun masih ada di sekitar Terminal Kilometer 6 Banjarmasin.

Abah Umit (58 tahun) seorang pengemudi bajaj menceritakan, sebagian rekannya sudah ‘pensiun’. Mereka tak lagi menarik penumpang. Sebab, kebanyakan bajaj yang ada tidak bisa dioperasikan. Belum ditambah, sepinya penumpang.  Mereka pun enggan pindah ke pekerjaan lain, dengan alasan umur sudah terlalu tua.

“Saya sudah lebih dari 30 tahun menjadi pengemudi bajaj. Biasanya, saya mencari penumpang di sepanjang lorong Kota Banjarmasin. Kini hanya sedikit bajaj yang beroperasi,” ujar Abah Umit, yang mengaku berasal dari Hulu Sungai ini kepada jejakrekam.com, Selasa (16/10/2018).

Umit, kini sudah menjadi kakek. Ia mengungkapkan sekarang, dirinya ikut program Dinas Perhubungan Kota Banjarmasin untuk peremajaan angkutan bajaj. Ia mengakui tampilan bajaj baru jauh lebih menarik, bersih dan tak bising. Belum lagi, bahan bakarnya lebih hemat dibanding bajaj merah.

“Masalahnya tetap sama. Urusan cari penumpang sama sulitnya. Makanya, saya bertahan karena ada langganan atau mencari langganan baru,” ucap Abah Umit ini.

Ia mengaku persaingan bukan lagi antar penarik bajaj. Namun, teknologi berbasis aplikasi android seperti taksi oline atau ojek daring, lebih dipilih warga urban di ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ini.

“Di tengah sulitnya mencari penumpang, kami juga harus kejar setoran. Soalnya, bajaj baru ini saya dapatkan dengan kredit,” kata Abah Umit.

Ia pun harus banting tulang. Memeras keringat, demi mencari lembaran rupiah. “Soalnya, ada dua kewajiban yang harus saya penuhi. Bayar kredit bajaj, dan bawa uang untuk menafkahi keluarga,” ucap Abah Umit, lirih.

Dalam kalkulasinya, Abah Umit mengungkapkan sedikitnya harus bisa mendapatkan uang minimal Rp 50 ribu per hari. “Saya harus bayar kredit bajaj ini Rp 1,5 juta per bulan. Makanya, kami harus kejar setoran agar bisa bertahan,” pungkasnya.(jejakrekam)

 

Penulis Syahminan
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.