Beber Studi Kasus Banjarbakula, Taufik Arbain Raih Best Paper IAPA

0

TAUFIK Arbain menerima penghargaan Best Paper Collaborative Governance dari Indonesian Association for Publik Administration (IAPA) Annual Conference 2018  yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMP).

PENGHARGAAN ini langsung diberikan IAPA Pusat Prof DR Eko Prasojo yang merupakan Wakil Menpan RB era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  Apresiasi tertinggi ini diberikan setiap dihelat Konferensi IAPA  seluruh perguruan tinggi Ilmu Adminisrasi Publik di Indonesia.

Ada ratusan naskah yang masuk dalam kegiatan Annual Conference 2018 di Palangka Raya, 11-13 Oktober  2018.  Namun, panitia hanya menyaring 76 naskah yang berhak meraih titel tiga besar sebagai penerima best paper.

Dosen FISIP Universitas Lambung Mangkurat, Taufik Arbain pun masuk dalam tiga penerima best paper, disamping wakil dari perguruan tinggi lainnya di Indonesia. Semua naskah yang masuk diseleksi panitia pusat di Jakarta.

Menurut Taufik Arbain, naskah yang disajikan berjudul Actor Relation in the Dynamic of Inter-regional Cooperation Policy (Case Study: Development Program of Metropolitan Area of Banjar Bakula, South Kalimantan Province), merupakan naskah pasca ujian doktor managemen dan kebijakan publik di Fisipol Universitas Gadjah Mada, Juli 2018.

Dalam naskah tersebut, penulis mengangkat tiga isu penting dari perdebatan teoritis hingga perdebatan empirik. Pertama, kerjasama antardaerah tidak bisa mengabaikan adanya networking antaraktor sebagai isu yang mendorong efektifitas kerjasama antardaerah untuk melepaskan dari jebakan konvensional weberian type bureaucracy.

Kedua, system pemerintahan menentukan kehadiran dan fleksibilitas regulasi dan pilihan managemen dalam kerja sama antardaerah.

Ketiga, paradigma-paradigma seperti Old Public Administration(OPA), New Public Management (NPM), New Public Service (NPS) dalam yang selama ini menjadi sandaran dalam Collaborative Governance  segera diorientasikan pada perwujudan paradigma New Public Governance yang mendorong pada pelibatan banyak aktor.

Lebih jauh,  riset yang dilakukan Taufik Arbani dari naskah ini pun mendebatkan pandangan para ahli bahwa efektifitas kerjasama antardaerah didasarkan pada komitmen, koordinasi, format kelembagaan, transparansi, dukungan politik,  kapasitas, inovasi-kreasi, partisipasi, anggaran, adanya regulasi maupun mekanisme (Charlote, E-Jenning, Wiechart, Ansell).

Menurut Taufik Arbain, belum cukup dalam mendorong efektifitas kerja sama antardaerah. Tetapi diperlukan aspek lain yang harus dipertimbangkan dengan cermat, Yakni, tawaran relasi aktor yang dibangun dari preferensi nilai aktor.

“Dulu, saya sempat menyampaikan kepada promotor dan co-promotor saya di Fisipol UGM bahwa yang menentukan efektifitas kerjasama antar daerah itu adalah koordinasi, komitmen dan tersedianya anggaran serta regulasi,” cerita Taufik Arbain kepada jejakrekam.com, Sabtu (13/10/2018).

Ternyata, pandangan Taufik Arbain ini dianggap promoter hanya kelas tesis S2 bahkan S1. Kemudian, Taufik pun disuruh  banyak membaca lagi dan jangan menemui para promotor sebelum mendapatkan kebaruan riset (novelty).

Jebolan S2 UGM tahun 2004 mengatakan efektifitas kerja sama antardaerah dalam kasus Banjarbakula selama ini, tercetus di era Gubernur H Gusti Hasan Aman, HM Sjachriel Darham, H Rudy Ariffin dan H Sahbirin Noor. Dari empat gubernur justru didasarkan adanya relasi antar aktor. “Bupati atau walikota memiliki komitmen untuk berkoordinasi didasarkan pada relasi yang dibangun dari preferensi nilai aktor baik adanya motif, kepentingan, sumber daya dan komunikasi intensif dan interface,”  papar Taufik Arbain.

Dia mencontohkan pada era Gubernur Gusti Hasan Aman, justru relasi aktor antara pemerintah dengan aktor akademisi, jurnalis dan NGO mendorong progressnya gagasan Banjarmaskuala kala itu, menjadi kebijakan kerjasama antardaerah (public policy) hingga ke tingkat MoU.

“Hanya saja pada era Gubernur HM Syahriel Darham cenderung stagnan karena aspek euphoria desentralisasi. Termasuk, kuatnya relasi konflik antar aktor kala itu, baik tataran formulasi maupun implementasi kebijakan,” paparnya.

Berlanjut di era Guebrnur Rudy Arifin, Taufik menyebut relasi aktor cenderung kooperatif antara pemerintah provinsi dengan bupati/walikota, dan adanya jaringan aktor tim Banjarbakula dengan pejabat pemerintah pusat.

“Di era ini, mampu melepaskan pada hambatan-hambatan struktural yang selama ini sebagai momok. Sebab, hampir semua kebijakan kerjasama antar daerah di Indonesia, terkendala masalah itu,” ungkapnya.

Bagi Taufik, jaringan aktor tersebut salah satunya karena adanya tim Banjarbakula yang satu sekolah (emosional) dengan pejabat pusat, satu alumni, kesamaan visi politik dan kepentingan jangka panjang dan sebagainya.

“Realitas in yang menjadikan efektif pada tataran formulasi hingga pada implementasi kebijakan yang berdampak bergelontornya dana pusat ke daerah dengan terbangunnya SPAM Banjarbakula, TPA dan infrastruktur pendukung lainnya,” ungkap Taufik.

Masih menurut dia, kalau pun terjadi relasi konflik pada kasus  pemanfaatan Terminal KM 17 (Gambut Barakat), adalah pernak-pernik adanya miskomunikasi proses relasi antaraktor.

Sementara, kata Taufik Arbain,  pada era Gubernur Sahbirin Noor  melanjutkan planning yang telah dibuat pemerintahan sebelumnya. Staf ahli gubernur ini menyebut era Paman Birin, biasa Gubernur Kalsel disapa, justru mendapatkan tantangan untuk menjadikan kerjasama antar daerah Banjarbakula menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN).

“Mengapa? Ya, karena pemerintah daerah berharap sepenuhnya dibiayai pemerintah pusat dengan status KSN,” kata Taufik.

Hanya saja, beber dia, aspek perubahan pada tim Banjarbakula memberikan kontribusi pada melemahnya relasi antar aktor yang memiliki cukup preferensi. Terutama, nilai aktor dalam mendorong efektifitas kerja sama antardaerah baik pada aktor kunci, primer dan aktor sekunder.

“Jadi kepiawaian membangun relasi informal di luar relasi formal sangat penting. Terutama, untuk semua aktor baik walikota, bupati, DPRD/DPR RI, pejabat pusat, kalangan akademisi, jurnalis, NGO hingga investor. Ini demi mengkomunikasikan sebelum menuju tataran formulasi dan implementasi kebijakan,” tutur pria yang bergelar Datuk Cendikia Hikmadiraja Kesultanan Banjar ini.

Taufik mengatakan naskah yang beranjak dari riset doktoral tersebut memberikan kontribusi teoritis penguatan New public governance dalam kerangka kerja sama antar daerah. Termasuk pula, aspek gaya kepemimpinan untuk mengembangkan model karakter kebijakan dalam mengelola relasi antar aktor.

“Pada arus empirik, pemutasian pejabat di lingkungan aktor-aktor yang bekerjasama harus mencermati dimensi-dimensi sustainability  kebijakan sebelumnya terlebih kebijakan berpotensi menjadi proyek nasional di daerah,” ujarnya.

Bagi Taufik, jika tidak hal itu dilakukan, maka akan selalu memulai dari nol terus hingga akhirnya terjadi perlambatan progess setiap kebijakan.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.