Tambal Sulam Penyelesaian Defisit di Tubuh BPJS Kesehatan

0

PENGELOLAAN keuangan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) seringkali identik dengan defisit. Kondisi ini memang sulit dibantah karena memang benar adanya.  Catatan laporan keuangan tahunan BPJS Kesehatan menunjukkan defisit sebesar Rp 3,8 triliun pada 2014, Rp 5,9 triliun pada 2015, dan Rp 9,7 triliun pada 2016.

DEFISIT keuangan ini diperkirakan akan terus mengalami peningkatan hingga lebih dari Rp 10 triliun pada 2017. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat. Kenapa BPJS selalu defisit?

Setidaknya. ada dua kondisi yang dapat menjelaskan defisit yang terjadi pada BPJS Kesehatan. Pertama, fleksibilitas penggunaan jaminan kesehatan. Peserta BPJS yang baru daftar sebagai peserta sudah dapat mengklaim pelayanan kesehatan.

Akibatnya, nilai klaim yang diajukan peserta BPJS lebih tinggi dibandingkan dengan premi yang ada. Namun, per 1 Juni 2015, peserta BPJS Kesehatan baru dapat melakukan klaim setelah hari ke-14 dan telah melakukan pembayaran satu bulan pertama.

Kedua, terdapat banyak peserta BPJS Non-PBI yang menunggak pembayaran iuran premi. Data pada Juni-Juli tahun lalu terdapat 10 juta peserta BPJS yang menunggak pembayaran premi.

Di tengah kondisi defisit yang dialami BPJS Kesehatan, banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut. Mulai dari menaikkan iuran premi, hingga suntikan dana tambahan sesuai PP 87.

Di tengah berbagai upaya tersebut nampaknya kondisi defisit belum juga menemukan titik terang penyelesaian. Belum lagi, muncul berbagai dugaan bahwa terjadi tindakan korupsi pada BPJS Kesehatan.

Seolah membenarkan dugaan yang tengah berkembang di masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan OTT terhadap Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Senin (11/4/2018). Jaksa tersebut berinisial DR.

Jaksa DR merupakan salah seorang jaksa di Kejati Jawa Barat yang berada dalam tim yang menangani perkara hukum dugaan korupsi dana Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kabupaten Subang saat 2014 silam.

Di tengah carut-marutnya pengeloaan keuangan pada BPJS Kesehatan, pemerintah berupaya menambal defisit tersebut dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau atau pajak rokok. Sehingga muncul opini di tengah-tengah masyarakat bahwa pemerintah mengobati warganya dengan cara mengeksploitasi warga lain untuk tambah sakit.

Eksploitasi yang dimaksud dalam arti menggali dana dari pajak rokok di daerah yang disamakan dengan tetap membiarkan masyarakat untuk tetap merokok. Sementara itu, pajak rokok dipakai untuk mengobati pasien peserta BPJS Kesehatan.

Kebijakan tersebut dinilai banyak pihak sebagai kegagalan pemerintah dalam mengurus negara. Bagaimana tidak, di satu sisi pemerintah memandang bahwa rokok berbahaya, namun di sisi lain justru dibutuhkan untuk menjadi sumber dana.

Berbagai kebijakan yang diterapkan hari ini nyatanya tidak mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Baik dari sisi kesehatan maupun bidang lainnya. Berbagai kebijakan tersebut justru membebani masyarakat.

Asuransi BPJS perlu dipahami pula dalam konteks yang luas, yaitu sebagai bagian agenda neoliberalisme yang dipaksakan oleh barat atas Indonesia. Mereka yang menelusuri konsep jaminan sosial menurut Barat, akan mendapati bahwa asuransi BPJS sebenarnya berakar pada konsep neoliberalisme yang berusaha menghilangkan peran negara/pemerintah dalam mengurus rakyat.

Dengan kata lain, asuransi BPJS pada dasarnya adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang asalnya tanggung jawab pemerintah, lalu di pindahkan ke pundak institusi yang dianggap berkemampuan lebiih tinggi dalam membiayai kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.

Walhasil, asuransi BPJS sebenarnya bukan saja haram karena ia adalah asuransi, bukan pula masalah jaminan kesehatan, namun juga merupakan bagian agenda neoliberalisme yang dipaksakan kepada rakyat Indonesia melalui pemerintah Indonesia yang rela menjadi antek kaum kafir penjajah.

Maka dari itu, asuransi BPJS sebenarnya bukan saja haram karena ia adalah asuransi, juga tak hanya karena bertentangan dengan jaminan kesehatan dalam Islam, tetapi juga haram karena merupakan jalan bagi hegemoni dan dominasi asing.

Padahal, Islam  telah tegas mengharamkan segala macam jalan yang dapat menimbulkan dominasi asing tersebut. Karea itu sudah saatnya kita berbenah, kembali pada aturan al Khaliq-Allah SWT- dengan kembali pada Islam kaffah.(jejakrekam)

Penulis adalah Mahasiswa

Tinggal di Tanta Hulu, Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong, Kalsel

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.