Nikah Sirri atau ‘Kawin Badadiaman’ dalam Kultur Masyarakat Banjar

1

ADA adagium yang bernilai kocak di tengah masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan. Bernada satire ; satu istri itu wajar, beristri dua itu baru belajar, kalau beristri tiga itu ‘kurang ajar,’ dan beristri empat itu baru ‘Urang Banjar’. Tak mengherankan, budaya nikah sirri pun seakan menjadi bagian dari kultur masyarakat Banjar.

PENELITI sekaligus pemerhati budaya Banjar dari UIN Antasari Banjarmasin, Humaidy mengakui nikah siri yang berarti nikah rahasia dalam terminologi Arab adalah sesuatu yang tidak banyak diketahui khalayak.

“Ya, setidaknya, hanya segelintir saja yang tahu dan tidak tercatat. Nah, dalam masyarakat Banjar, nikah semacam ini dikenal dengan nikah di bawah tangan atau kawin badadiaman,” tutur Humaidy kepada jejakrekam.com, Kamis (11/10/2018).

Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Antasari Banjarmasin mengungkapkan pada awalnya masyarakat Banjar tak mengenal istilah kawin sirri. “Yang ada itu adalah kawin lari atau kawin tajun, karena tak direstui orangtua. Nah, kawin sirri ini baru dikenal dan marak dilakukan masyarakat Banjar, ketika PP Nomor 10 Tahun 1983 atau PP 10, seperti dikenal masyarakat,” ucap Humaidy.

Nah, dalam produk hukum era Orde Baru itu melarang pegawai negeri menambah istri lebih dari satu. Ini ditambah lagi lahirnya UU Perkawinan yang memberi syarat ketat bagi mereka yang ingin berpoligami. “Sebelumnya, harus meminta izin tertulis dari istri pertama. Mengapa kawin sirri berhulu pada budaya poligami yang berakar kuat di dataran ranah Banjar?” ucap Humaidy.

Peraih gelar M.Ag Sejarah Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mengungkapkan alasannya. Menurut Humaidy, dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar tidak mengenal paternalistik, melainkan bilateral. Hanya saja, beber dia,  justru masih bernuansa patriarchat dan mengakar kuat, sehingga turunan dari itu menumbuhkan budaya poligami.

Ia mengungkapkan dalam catatan sejarah menunjukkan betapa budaya poligami itu dalam masyarakat Banjar begitu tertanam dan susah dicabut.

Menurut Humaidy, dalam Kesultanan Banjar yang merupakan kerajaan pertama Islam di Tanah Banjar, justru hampir semua raja dan pangeran berpoligami. Sebut saja, Pangeran Abdurrahman yang mempunyai isteri berdarah Banjar dan berdarah Cina. Istri yang berdarah Banjar melahirkan Sultan Hidayatullah dan istri yang berdarah Cina melahirkan Sultan Tamjidillah.

“Biasanya perilaku rajanya akan diikuti dan diteladani rakyatnya. Demikian juga dengan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, seorang ulama besar yang dikenal sebagai Matahari Islam Nusantara tercatat mempunyai istri lebih dari satu. Ya, ada namanya Bajut, Bidur, Liput, Goat Neo dan Siti Aminah merupakan istri Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary,” ungkap Humaidy.

Sementara, beber dia, dalam kultur masyarakat Banjar jelas menjadikan tuan guru atau ulama sebagai panutan, bahkan jauh lebih berpengaruh dibandingkan kelompok umara atau komunitas lainnya.

Humaidy yang juga dikenal dengan nama pena Ibnu Sami ini mengungkapkan dalam  perjalanan sejarah, poligami tumbuh dan berkembang tidak saja pada kelas elite, justru juga menular luas di arus bawah bubuhan urang jaba (karacak bihi).

“Umpama dalam masyarakat Banjar, muncul banyak istilah yang memotivasi untuk berpoligami seperti kada manambahkah (tambah istri), pabila maanumi (kapan beristri muda), bini urang rasa bini sorang (istri orang serasa istriku), rugi bakamih saluang haja (sia-sia kencing satu lubang saja), asa tahijau halaman rumah urang dari rumah sorang (lebih hijau halaman rumah orang lain, ketimbang halaman rumah sendiri), bacari kasampurnaan ibadah (mencari kesempurnaan ibadah), menunaikan pelaksanaan syariat dan lain-lain,” tutur aktivis Nahdlatul Ulama (NU) Kalsel ini.

Lebih dari itu, kata Humaidy, muncul adagium  dalam masyarakat Banjar yakni babini saikung wajar (beristri satu wajar), babini dua ikung hanyar balajar (beristri dua baru belajar), babini tiga ikung kurang ajar (beristri tiga kurang ajar), babini ampat ikung hanyar urang Banjar (beristri empat baru orang Banjar).

“Jadi, poligami bagi masyarakat Banjar terutama untuk kaum lelaki adalah melengkapi kesempurnaan kesugihan, kehebatan, keilmuan dan ibadah. Misalnya hartawan belum sempurna kesugihannya kalau tidak beristri lebih dari satu. Begitupula, jagoan (preman) kurang harat (hebat), jika hanya  babini saikung haja (beristri satu) dan tuan guru tak lengkap dan kurang mantab kealiman dan ibadahnya jika tak berpoligami,” papar Humaidy.

Hebatnya lagi, jika bisa berpoligami dan mendamaikan seluruh istrinya dengan cara seksama dan tempo yang sesingkat-singkatnya dalam satu atau beberapa rumah tangga.

Peneliti senior LK3 Banjarmasin ini mengungkapkan kawin sirri dalam masyarakat Banjar dari hasil wawancara dengan seorang penghulu, justru kebanyakan karena tidak dicatat secara resmi di KUA atau pengadilan agama.

Menurut Humaidy, walau tak tercatat resmi, nikah sirri tetap memenuhi rukun dan syarat , walaupun sebagian tiada. Seperti ada calon mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, wali, saksi dan ijab dan kabul. Cuma ada yang dihadiri banyak orang sekaligus selamatan, ada juga hanya dikawal beberapa orang, dan tak ada yang hanya nikah berduaan (nikah batin).

Memang, kata Humaidi, terkesan nikah sirri tidak ingin banyak diketahui banyak orang atau ingin disembunyikan secara diam-diam. “Dari hasil wawancara saya dari seorang penghulu, kebanyakan laki-laki yang melakukan nikah sirri sudah beristri atau masih punya istri. Jadi, yang dinikahi secara sirri adalah calon istri kedua, ketiga dan keempat,” kata Humaidy.

Dari hasil riset itu, Humaidy mengatakan secara kuantitatif, pelaku nikah sirri di urutan pertama adalah ‘urang sugih atau orang kaya’  terdiri dari pedagang, penambang dan pejabat negara. Kedua, Bubuhan Tuan Guru yang sudah kondang dan mungkin belum berani berterus terang sebagaimana Guru Sakumpul dan Guru Zuhdi. Ketiga, preman yang kebetulan terkenal jago, tapi takut para istrinya akan bertengkar.

“Jadi, dari hasil penelitian, jelas  kawin sirri yang terjadi di dalam masyarakat Banjar didorong budaya poligami yang masih melekat dalam kebudayaan Banjar. Walaupun, ada pula motif takut pada istri pertama, ekonomi, pemenuhan seksual, gengsi, birokrasi yang bertele-tele, mencari keturunan dan lain-lain,” katanya.

Berbeda, menurut Humaidy, umpamanya dengan asal tradisi nikah sirri di Jawa yang pada umumnya pernikahan sepasang remaja yang ingin menjaga diri dari terjatuh kepada perilaku zina. Selain itu, nikah sirri biasanya akan menuju kepada pernikahan resmi di KUA dalam waktu yang tak ditentukan.

“Menariknya, dari penelitian Kompas, justru  melaporkan bahwa kawin sirri di Kalimantan Selatan, termasuk rangking ke-9 atau 10 besar dalam menyumbang jumlah banyaknya terjadi perkawinan ilegal ini,” paparnya.

Ini berarti, kata Humaidy, berarti Kalimantan Selatan termasuk pasar besar bagi kawin sirri yang menjanjikan materi dan tentunya menggiurkan. Dosen senior ini mengibaratkan bak cendawan di musim hujan, para penghulu-penghulu dadakan atau penghulu informal yang memburu mangsa secara aktif dan jauh lebih mumpuni dibanding penghulu formal.

“Ya, karena mereka merasa melakukan perjuangan suci, menghalalkan yang haram dan akan mendapat pahala yang besar di hadirat Allah. Ini karena telah melakukan ibadah yang menikahkan dua anak manusia secara sah,” kata Humaidy.

Sementara, masih menurut Humaidy, dalam masyarakat Banjar justru menganggap parauan guru-tuan guru yang sangat berilmu dan banyak ibadah serta nampak begitu ikhlas, terasa nikah sirri mereka sangat sakral, suci dan baik.

“Jadi, mereka tak ada perasaan takut dan rasa bersalah pada diri mereka yang sebenarnya sudah bertentangan dengan pemerintah. Bahkan, mereka tak perduli kalau harus ditangkap dan dipidana,” katanya.

Humadiy, Peneliti dan Pemerhati Budaya Banjar

 

Apatah lagi, menurut Humaidy, pemerintah sendiri kelihatannya membiarkan saja hal itu terjadi. Alhasil, hukum yang telah dicanangkan terhenti di tingkat verbal dan tulisan tidak mengalir dan terwujud dalam tingkat pelaksanaan.

Bagi Humaidy, sebenarnya perkawinan sirri di Kalimantan Selatan bisa ditanggulangi atau setidaknya dikurangi, jika saja tidak ada lagi dikotomi antara hukum Islam pemerintah dan hukum Islam masyarakat.

“Tentunya juga diiringi dengan gencar sosialisasi tentang Undang-Undang Perkawinan, jangan cepat berhenti, terus disebarkan hampir tanpa henti melalui berbagai media dan lembaga. Jangan biarkan kawin sirri yang marak ini terus berjalan,” katanya.

Humaidy berpendapat kawin sirri harus diganggu dan dihalangi bahkan kalau perlu diberantas secara tuntas. Sebab, hal itu telah banyak melahirkan penderitaan bagi ibu dan anak yang tidak mempunyai status secara sah.

“Makanya, saya menyarankan agar penegakan hukum dengan setegak-tegaknya, tanpa pandang bulu, tebang pilih dan pilih kasih serta semua orang dengan latar belakang apapun sama di depan hukum,” imbuhnya. (jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2018/10/12/nikah-sirri-atau-kawin-badadiaman-dalam-kultur-masyarakat-banjar/
Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi
1 Komentar
  1. Rizky Rohim Surbakti berkata

    Menikah adalah tujuan dan impian Semua orang, Melalui HIS Graha Elnusa Wedding Package , anda bisa mendapatkan paket lengkap mulai dari fasilitas gedung full ac, full carpet, dan lampu chandeliar yg cantik, catering dengan vendor yang berpengalaman, dekorasi, rias busana, musik entertainment, dan photoghraphy serta videography.
    Kenyaman dan kemewahan yang anda dapat adalah tujuan utama kami.
    Hubungi : 0822 – 9914 – 4728 (Rizky)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.