Gusti Jamhar Akbar: Lamut Ibarat Anak Tiri di Tanah Banjar

0

PANGGUNG demi panggung kesenian dijajal Gusti Jamhar Akbar.  Melestarikan seni lamut sampai dihadiahkan penghargaan Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di tanah kelahirannya, sang maestro itu justru merasa menjadi ‘anak tiri’

WAJAHNYA semakin penuh kerutan. Suaranya tidak lagi kencang. Tak seperti dirinya saat menyajikan pementasan lamut bertahun-tahun silam. Gusti Jamhar Akbar yang sekarang sudah jarang tampil di atas panggung.

“Belakangan sakit. Satu pekan lalu, maag kronis saya juga kambuh. Ini baru saja bisa beraktivitas,” ucap Gusti Jamhar Akbar saat ditemui penulis di kediamannya, Jum’at (5/10/2018).

Mengenakan peci, kaos putih berlapis jaket parasut coklat serta celana kain berwarna krem, dia baru saja tuntas shalat Ashar.

Di usia tuanya, Gusti Jamhar memilih hidup sederhana ditemani istrinya, Nur Asia. Lelaki yang tenar dengan panggilan Kai Jamhar ini bermukim di Gang Mujahid Aman, Alalak Selatan, Banjarmasin Utara. Kampung padat penduduk di pinggiran Sungai Barito. Lebar gang sempit ini tak lebih dari cuma 1,5 meter. Rumah-rumah kayu saling berdempet.

Sederet penghargaan terpampang pada tembok ruang tamu Jamhar. Paling mencengangkan: penghargaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik yang ditandatangani langsung oleh Presiden SBY tahun 2009 silam. Berkesenian dalam senyap, seniman sepuh ini rupanya sudah mendapat gelar maestro tradisi lisan dari pemerintah pusat. Plus uang pembinaan yang diberikan setiap tahun sampai sekarang.

“Oh. Dari situ Abah bisa menyambung hidup. Saat bersalaman dengan SBY, beliau berpesan kepada Abah untuk tetap melestarikan lamut. Katanya jangan sampai punah,” ujarnya tersenyum simpul.

Pesan dari mantan Presiden RI itu, jelas dijaganya baik-baik. Terbukti, sampai sekarang Jamhar masih saja sering menerima undangan pementasan lamut. Meski harus mempertimbangkan lebih dulu karena kondisinya yang mudah didera kelelahan.

Sayang. Meski banjir pujian di mata nasional, Jamhar justru masih merasa kesenian lamut seperti anak tiri di tanah kelahirannya sendiri. “Ya. Setelah diundang, dilupakan begitu saja. Ibarat anak tiri,” ujarnya getir.

Ucapannya jelas masuk akal. Dari penuturannya, sikap Pemprov Kalsel dan Pemkot Banjarmasin juga acuh tak acuh untuk peduli terhadap kelestarian lamut hingga hari ini.

Sekadar diketahui, Lamut merupakan seni bertutur khas masyarakat Banjar. Sarat pesan moral serta keagamaan. Dimainkan dengan tarbang selama satu malam hingga fajar menjelang.

Ada dua versi lamut yang sering dimainkan: lamut untuk batamba (pengobatan) serta lamut untuk sekadar menghibur pada acara hajatan warga.

Sejalan dengan seni bertutur lainnya seperti Madihin dan Bapantun, Lamut tentu pernah mengalami kejayaan. Hingga tokoh-tokoh pelamutan mundur satu per satu.

Warisan Turun Temurun, Lalu Terancam Punah

Di antara sederet penghargaan yang tertempel pada tembok rumah Jamhar, selembar foto usang masih terpajang rapi lengkap dengan figura. “Itu, foto ayah: Raden Rosmono,” ujarnya menunjuk foto mendiang ayahanda.

Nama Rosmono begitu melekat. Keahlian Jamhar memainkan kesenian lamut tak terlepas dari jasa sang ayah. “Saat umur dua belas tahun, saya menggantikan beliau karena sakit. Yang saya datangi waktu itu hajatan orang China untuk pengobatan pada tahun 1953,” ceritanya.

Awalnya Rosmono pesimistis dengan keputusan Jamhar untuk menggantikan perannya. Maklum, masih usia bocah.”Tapi saya kukuh dengan keputusan itu. Dari situ, akhirnya belamut sampai sekarang,” kata Jamhar.

Diam-diam, rupanya Jamhar sewaktu kecil melulu menghayati syair-syair lamut yang dilantunkan oleh ayahnya. Dari kebiasaan mengikuti Rosmono, dirinya akhirnya menjadi pelamutan paling muda pada zamannya.

Masa kejayaan lamut yang dipentaskannya berlangsung sepanjang tahun 1960 sampai 1980. Setiap pekan, Jamhar tak kunjung absen pentas. Banjir undangan dari para warga yang kepalang senang dengan penampilannya.

Menginjak 65 tahun karirnya menjadi pelamutan, Jamhar dirudung kegelisahan. Lamut yang sudah turun temurun diwariskan terancam seret regenerasi.

Bukan tanpa alasan Jamhar tengah cemas. Berkali-kali ada generasi muda yang ingin belajar menjadi pelamutan, justru tak tuntas sampai akhir. Ada meleset pada lagu yang dimainkan, atau cerita yang dituturkan malah tak nyambung.

Masalah bertambah lagi. Jarang ada organisasi atau lembaga kebudayaan yang ikut ambil sikap soal eksitensi lamut. “Pernah ada komunitas yang bilang mau membuat lamut dalam film, saya sepakat. Tapi kabarnya tidak ada lagi,” keluh Jamhar.

Satu-satunya celah harapan pada anak laki-laki Jamhar: Gusti Pansurna.  “Tapi, masih malu-malu juga memainkannya. Semoga saja tidak ke depan,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis Donny Muslim
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.