Sinema Banua Rasa Jakarta

0

MESKI tak memiliki sekolah tinggi seni yang mengajarkan sinematografi, bakat anak muda banua Banjar di bidang sinema sungguh luar biasa. Sayang hal itu diabaikan; bahkan oleh Pemkot Banjarmasin (pada Hari Jadi ke-492) mengusung tema “Memantapkan Banjarmasin Sebagai Kota Sungai yang Berbasis Pada Industri Kreatif dan Smart City”.

MEMANGNYA ‘industri kreatif’ bisa dibangun hanya dengan pertunjukan kesenian di atas tongkang (di Sungai Martapura)? Pertunjukan yang ditampilkan tersebut sama sekali tak bisa dinikmati (karena posisi penonton yang berada jauh di seberang sungai).

Pertunjukan musik di atas tongkang mungkin masuk akal, tapi, jika teater tradisi Mamanda ditampilkan di atas tongkang, yang terjadi kemudian adalah sesuatu yang tidak lucu. Mamanda, ‘ikon’ teater tradisional Kalsel yang dimainkan dengan dialog dan improvisasi (interaktif dan komunikatif dengan penonton, seperti lazimnya teater rakyat) itu akhirnya (dilihat dari kejauhan) tampak seperti permainan orang-orangan.

Di samping belum memiliki gedung kesenian sendiri (di umur yang hampir 5 abad!), Banjarmasin juga tak punya Pasar Seni (yang menjual aneka produk seni/kriya/souvenir buatan tangan, seperti di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta).

Selain kain dan baju sasirangan (yang sudah tumbuh dan berkembang sebelumnya), industri kreatif model apa (dan bagaimana) yang ingin dikembangkan Pemkot Banjarmasin? Memangnya industri kreatif cuma berupa barang kerajinan, konveksi, kuliner, desain grafis, aksesori, dan bisnis start up?

Bagaimana dengan film (sinema)?
“Sinema Banua Rasa Internasional” itulah kata pembuka saya pada diskusi singkat (sebetulnya bukan “diskusi”, lebih tepat disebut “dialog”) usai pemutaran film pendek (25 menit), “Blooder”, di Gedung Balairung Sari, Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin, Jumat (28/09) malam.

Kata pembuka itu agak kurang tepat juga. Yang lebih tepat mungkin “Sinema Banua Rasa Jakarta” (filmnya berbahasa Indonesia, dengan sub-title, dengan dialog “elu”-“gue” di sana-sini).

Dibuat oleh Bias Studio (sutradara Anggi Irfansyah), dengan dana patungan, sejumlah anak muda Banua yang kreatif membuat film laga yang, di luar dugaan, hasilnya tak kalah dengan film-film laga produksi Hollywood, Hongkong dan Thailand. Dengan membeli tiket @ Rp 10 ribu, ratusan anak muda memenuhi gedung, tercekam menyaksikan adegan laga yang digarap dengan amat serius (tanpa humor sama sekali).

Film fiksi ini menceritakan pencurian benda pusaka berharga milik (tertulis di sub-title) “Musium (seharusnya “Museum”) Internasional Wasaka” oleh komplotan bandit. Pencurinya anak buah bos bandit yang, setelah terjadi konflik internal, bertarung dengan kelompoknya sendiri.

Adegan perkelahian satu bandit melawan sejumlah bandit lain digarap sedemikian rupa, dengan cita rasa pertarungan film-film laga produksi Hollywood, Hongkong dan Thailand. Adegan pertarungan menjadi luar biasa mengingat (dibandingkan dengan perfilman di luar negeri yang telah menjadi industri) sinema tersebut (berbeda dengan produksi luar negeri) dibikin sekelompok anak muda Banua dengan peralatan relatif seadanya.

Adegan pertarungan dan jumpalitan, misalnya — peluru yang ditampilkan menuju sasaran dengan gerak lambat (slow motion) — tak kalah dengan adegan di film “Matrix”. Selaras dengan judul filmnya, darah dan luka yang disajikan tampak benar-benar nyata, juga adegan mengiris paha (untuk menyimpan chip komputer) dan menjahit bekas luka.

Dari segi ide, film “Blooder” sebetulnya tidak orisinal, tak beda dengan film-film laga produksi mancanegara. Adegan pertarungan di gedung bertingkat, perkelahian di bekas bangunan tak terpakai (atau yang sedang dibangun), tak berbeda dengan film “The Raid”; juga senjata tajam (pedang, pisau) yang digunakan. Alur (plot) dan akhir cerita (ending) juga biasa saja: akhirnya kebenaran menang dan kejahatan dapat dikalahkan.

Tak ada gading yang tak retak. Adegan perempuan yang menyabet dada musuh, misalnya (yang membuat musuh terjengkang, roboh, mati), tampaknya tak digarap dengan cermat (tak ada bercak darah di pedang yang terlempar/dilemparkan).

Lokasi kejadian (setting cerita) juga tidak jelas — mungkin di negeri antah berantah — tak ada konten lokal. Ada beberapa adegan yang mengindikasikan shooting dilakukan di lantai atas Siring Menara Pandang (Jalan Piere Tendean, Banjarmasin) — tampak sekilas pemandangan Sungai Martapura di balik kaca gedung — sayang konten lokal tersebut tidak digarap maksimal.

Juga, mengapa pada adegan-adegan perkelahian (yang relatif banyak) tak ada aktor-aktris yang menggunakan ilmu silat kuntau? Mengapa dialog aktor/aktris sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia (dengan “cita rasa Betawi”)? Apakah sutradara ingin membuat “sinema Banua rasa Jakarta”, sehingga tak ada “urang” Banjar dan latar budaya Banjar? Segmen pasar mana yang ingin dituju? Segmentasinya jelas anak muda, tapi anak muda mana? Di negeri antah berantah?

Andaikata setting lokal Banjar diberi porsi sewajarnya — toh “ulahan urang Banjar jua” — saya yakin film “Blooder” akan disambut antusias oleh “bubuhan Banjar” di Kalteng, Kaltim, Kaltara, Pulau Jawa (Yogyakarta, Solo), Malaysia (Kuala Lumpur, Perak, Selangor, Teluk Intan, Sabak Bernam), Brunei Darussalam, Singapura, Kuala Tungkal (Jambi), Inderagiri Hilir, Inderagiri Hulu (Riau), Serdang Bedagai (Sumatera Utara), Mataram (Nusa Tenggara Timur) dan sebagainya.(jejakrekam)

Penulis: YS Agus Suseno (pekerja seni di Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.