5 Oktober, Dihelat Musikal Puisi dan Baca Puisi Karya Sastrawan YS Agus Suseno

0

BUAH dari keprihatinan terhadap kondisi sosial kemasyarakatan dan daerah, melahirkan puisi-puisi kritis baik berbahasa Banjar maupun nasional buah tangan YS Agus Suseno.  Sastrawan yang besar dengan karya-karya kritik sosial dan sangat mengenal seluk beluk Taman Budaya Kalimantan Selatan ini segera menyuguhkan pentas independen.

BERTAJUK “Di Bawah Langit Beku: Musikalisasi Puisi dan Baca Puisi Y.S. Agus Suseno” akan dihelat di Gedung Balairung Sari, UPTD Taman Budaya Kalimantan Selatan, Jalan Brigjen H Hasan Basry pada Jumat (5/10/2018) mendatang, pukul 20.30 Wita.

Agus Suseno pun akan menggandeng para seniman yang tergabung dalam jaringan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin. Yakni, Finni  (vokal), Isbay (gitar I), Zai (gitar II), Ole/Arif Riduan akan memainkan perkusi.

Ada sembilan judul puisi berbahasa Indonesia yang ditulis YS Agus Suseno akan ditampilkan. Puisi yang dirangkai dengan bahasa-bahasa lugas dan kritis, namun tak menghilangkan unsur seni dan sastra ini merupakan kumpulan karyanya selama 10 tahun, sejak 1980-an hingga 2018.

“Di antara pegiat sastra di Kalsel yang seangkatan, barangkali cuma saya yang punya reputasi paling buruk dan memalukan. Hingga saat ini, saya belum memiliki satu pun buku kumpulan puisi sendiri,” kata YS Agus Suseno saat berbincang dengan jejakrekam.com, Minggu (2/9/2018).

Diakui Agus Suseno, jika dibandingkan dengan pegiat sastra yang berusia muda bahkan lebih memalukan lagi, justru mereka telah menerbitkan sejumlah antologi puisi pribadi. Selama ini, sastrawan yang dikenal ‘nyentrik’ ini telah banyak menyunting hingga menulis buku cerita rakyat daerah, sejarah lokal dan kumpulan tulisan tentang agama Islam.

“Saya juga telah menyunting puluhan buku kumpulan puisi karya penyair dan sastrawan Kalsel. Termasuk, kumpulan cerpen,” ucap Agus Suseno.

Hanya saja, diakui budayawan Banjar ini, dirinya merasa karya yang telah dilahirkan baik berupa puisi, cerpen, esai sastra dan budaya hingga naskah drama belum layak dibukukan. “Karena itu, dari kesibukan aktivitas saya di bidang teater, seni pertunjukan dan editor buku, belakangan saya jarang menghadiri acara sastra,” kata Agus Suseno, merendah diri.

Ia ingat betul acara sastra paling akhir yang menyajikan dan membahas karyanya secara tunggal adalah “Pembacaan dan Diskusi Puisi Y.S. Agus Suseno” di Bengkel Tari Gumilang Kaca, UPTD Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin.  Even itu digelar Busur Sastra dan Teater Balambika (BSTB) dan Himpunan Pencinta Seni Indonesia (HIPSI), Minggu, 10 Desember 1989 silam.

Menurut Agus Suseno, saat itu, sejumlah puisi karyanya digandakan dalam bentuk fotokopi dan dibahas oleh Micky Hidayat dan almarhum Noor Aini Cahya Khairani (NACK), dengan pembanding (mendiang) Ajamuddin Tifani dan moderator (mendiang) Jarkasi (dosen Prodi PBSI FKIP ULM). “Saya tidak membacakan puisi sendirian, tapi dibantu oleh (saat itu dikenal sebagai deklamator andal Kota Banjarmasin) Hajaji Zamra Zamra dan Rina Noor Maulida New,” ucapnya.

Bagi Agus Suseno, menyajikan musikalisasi puisi tunggal karya sendiri merupakan mimpi lama. Sebab, beberapa tahun lalu, Agus Suseno menawarkan ide ini kepada komunitas seni kampus yang sejak awal berdirinya dan dibinanya. “Ternyata, apa lacur, gayung tak bersambut,” katanya, terkekeh.

Menurut Agus Suseno, musikalisasi puisi adalah seni pertunjukan yang memadukan musik dengan puisi. Dengan teks puisi sebagai ruhnya, puisi dinyanyikan atau disenandungkan. Tak mesti dibacakan, apalagi dengan intonasi deklamasi yang ketinggalan zaman, dengan aransemen yang diciptakan selaras dengan tema, suasana dan makna puisi itu.

“Aransemennya tidak seperti aransemen lagu pop, dengan alat musik yang digunakan perkusi.  Puisi yang sudah jadi sebetulnya tak butuh apa-apa lagi. Sebagai karya seni, ia berdiri sendiri. Jika ingin dikolaborasikan dengan musik yang kemudian disebut musikalisasi puisi. Komposisinya mesti seimbang, selaras, harmonis,” paparnya.

Agus Suseno berpendapat musik tak boleh lebih dominan daripada puisi. Pada mulanya adalah puisi dengan “P”, dan musikalisasi puisi untuk memuliakan puisi. “Kalau musik terlalu dominan, puisi sekadar jadi lirik lagu, seperti syair lagu pop. Kalau puisi cuma menjadi lirik lagu, bukan yang utama, bukan musikalisasi puisi namanya,” tegasnya.

Nah, dalam pertunjukan bertajuk “Di Bawah Langit Beku: Musikalisasi Puisi dan Baca Puisi YS Agus Suseno” di Gedung Balairung Sari, UPTD Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin pada Jumat (5/10/2018) mendatang, dibantu para seniman dari jaringan LK3, bisa menyuguhkan pentas yang independen.

“Bagaimana pun, saya sendiri sekaligus sebagai pembawa acara akan membacakan puisi-puisi berbahasa Banjar. Sejak awal April lalu, kami latihan di Aula Kantor Ombudsman RI Perwakilan Kalsel. Untuk menutupi biaya produksi, akan dijual tiket masuk bagi penonton,” ujarnya.(jejakrekam)

 

 

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.