Kewajiban Negara dalam Mengatasi Masalah Gempa

Oleh : Paulina

0

MINGGU (19/8/2018), gempa kembali mengguncang Lombok bermagnitudo 6,9. Sampai saat ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 12 orang tewas akibat gempa tersebut. Sejak dua pekan lalu, ratusan gempa mengguncang NTB. Lebih dari 400 orang tewas dan puluhan ribu lainnya mengungsi.

PEMERINTAH belum menetapkan gempa Lombok sebagai bencana nasional. Istana mengakui sektor pariwisata menjadi salah satu faktor pertimbangan pemerintah tidak menetapkan status bencana nasional terhadap gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan Indonesia akan mengalami kerugian sangat besar apabila bencana alam di Lombok dinyatakan sebagai bencana nasional.

“Kalau kami menyatakan bencana nasional berarti bencana itu seluruh nasional, dan menjadikan travel warning . Negara-negara bukan hanya ke Lombok tapi bisa ke Bali dampaknya luar biasa, yang biasanya tidak diketahui oleh publik,” ujar Pramono di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (20/8). “Begitu dinyatakan bencana nasional maka seluruh Pulau Lombok akan tertutup untuk wisatawan dan itu kerugiannya lebih banyak.”

Menurutnya, penetapan status bencana nasional benar-benar bisa menutup pintu wisatawan dalam bahkan luar negeri ke seluruh Pulau Lombok hingga Bali. (CNN indonesia 20/08/18)

Bencana alam seperti gempa yang menimpa manusia merupakan qadha’ dari Allah SWT. Dibalik qadha’ tersebut ada fenomena alam yang bisa dicerna, termasuk ikhtiar untuk mengatasi dan mengatasinya pada saat bencana terjadi.

Dalam Islam, negara mengambil peran sentral dalam upaya menghindarkan masyarakat dari dampak bencana alam atau meminimalisirnya sejak sebelum terjadinya bencana alam, ketika masa tanggap darurat, hingga masa pemulihan dan kehidupan kembali normal. Kepala negara Umar bin Khattab RA mencontohkan pada saat daerah Hijaz benar-benar kering kerontang akibat musibah paceklik pada akhir  tahun ke 18H, pada bulan Dzukhijjah dan berlangsung selama 9 bulan yang diceritakan dalam Athabaqul-Kubra karya Ibnu Sa’ad.

Penduduk pedesaan banyak yang mengungsi ke Madinah dan mereka tidak lagi memiliki bahan makanan sedikitpun. Mereka segera melaporkan nasib mereka kepada Kepala Negara Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.

Umar Radhiyallahu ‘anhu cepat tanggap dan menindaklanjuti laporan ini. Beliau segera membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul mal hingga gudang makanan dan baitul mal kosong total. Umar RA juga memaksakan dirinya untuk tidak makan lemak, susu maupun makanan yag dapat membuat gemuk hingga musim paceklik berlalu.

Padahal sebelumnya selalu dihidangkan roti dan lemak susu, maka pada masa ini beliau hanya makan minyak dan cuka. Beliau hanya menghisap-hisap minyak dan tidak pernah kenyang dengan makanan tersebut. Hingga warna kulit Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadi hitam dan tubuhnya kurus; dan dikhawatirkan dia akan jatuh sakit dan lemah. Kondisi ini berlangsung selama 9 bulan. Setelah itu keadaan berubah kembali menjadi normal sebagaimana biasanya.

Akhirnya para penduduk yang mengungsi tadi, bisa pulang kembali ke rumah mereka. Begitulah Pemimpin negara Umar Ra. merasakan juga keprihatinan atas penduduk negerinya yang tertimpa musibah.

Jika di baitul mal tidak lagi tersedia dana untuk masa tanggap darurat ini, dapat menggunakan alokasi dana penanggulangan bencana dari bagian lain dari wilayah negara. Sebagaimana ketika negara di bawah pimpinan Umar RA mengalami paceklik tersebut,  yang diriwayatkan oleh Ibn Syabbah dalam Akhbârul-Madînah dari jalan Al-Haitsam bin Adi, juga dari jalan Al-Walîd bin Muslim Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

”Aku telah diberitahukan oleh Abdurahmân bin Zaid bin Aslam Radhiyallahu ‘anhu dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik”.

Instrumen pajak bisa digunakan ketika baitul mal dan bantuan dari wilayah lain dalam khilafah tidak mencukupi. Dengan syarat ditariknya pajak hanya dari golongan masyarakat yang mampu.

Pemimpin negara Umar bin Abdul Aziz juga tak tinggal diam saat terjadi gempa bumi pada masa kepemimpinannya. Ia segera mengirim surat kepada seluruh wali negeri, Amma ba’du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya.”

Adanya potensi bencana alam pada suatu tempat adalah ketetapan dari Allah yang tidak bisa dihindari. Namun ada ikhtiar yang dapat dilakukan untuk menghindar dari keburukan yang dapat ditimbulkan, dan upaya-upaya tersebut sudah dicontohkan sebelumnya oleh Rasulullah dan para sahabat ridwanullah alaihim. Sehingga potensi bencana alam dapat dihindari dengan kebijakan Negara  yang tidak saja didasarkan pada pertimbangan rasional, tetapi juga oleh nash syariah.

Dalam Islam, penanganan bencana alam disusun dan dijalankan dengan berpegang teguh pada prinsip “wajibnya seorang Pemimpin negara melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”. Pasalnya, Pemimpin negara adalah seorang pelayan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban atas pelayanan yang ia lakukan.

Jika ia melayani rakyatnya dengan pelayanan yang baik, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah. Sebaliknya, jika ia lalai dan abai dalam melayani urusan rakyat, niscaya, kekuasaan yang ada di tangannya justru akan menjadi sebab penyesalan dirinya kelak di hari akhir. Wallahu a’lam bish shawab.(jejakrekam)

Penulis adalah Staf Pengajar MTsN 4 Tabalong

Tinggal di Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kalsel

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.