Alun-Alun dan Menanti Komitmen Banjarmasin Wujudkan RTH Publik

Oleh : Nanda Febryan Pratamajaya

0

BERDASARKAN Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Menteri PU Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan disebutkan bahwa pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

SECARA khusus, dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang proporsi luasannya ditetapkan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.

Lantas bagaimana dengan alun-alun? Dulu alun-alun ditulis aloen-aloen atau aloon-aloon merupakan suatu lapangan terbuka yang luas dan berumput yang dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan masyarakat yang beragam.

Menurut Van Romondt (Haryoto, 1986:386), pada dasarnya alun-alun itu merupakan halaman depan rumah, namun dalam ukuran yang lebih besar. Penguasa bisa berarti raja,bupati, wedana dan camat bahkan kepala desa yang memiliki halaman paling luas di depan Istana atau pendopo tempat kediamannya, yang dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ikwal pemerintahan militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan.

Lebih jauh Thomas Nix (1949:105-114) menjelaskan bahwa alun-alun merupakan lahan terbuka dan terbentuk dengan membuat jarak antara bangunan-bangunan gedung. Jadi dalam hal ini, bangunan gedung merupakan titik awal dan merupakan hal yang utama bagi terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan terbuka yang dibiarkan tersisa dan berupa alun-alun, hal demikian bukan merupakan alun-alun yang sebenarnya. Jadi alun-alun bisa di desa, kecamatan, kota maupun pusat kota/ kabupaten.

Pada awalnya Alun-alun merupakan tempat berlatih perang (gladi yudha) bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah (sabda) raja kepada kawula (rakyat), pusat perdagangan rakyat, juga hiburan seperti Rampokan macan yaitu acara yang menarik dan paling mendebarkan yaitu dilepaskannya seekor harimau yang dikelilingi oleh prajurit bersenjata.

Perkembangan alun-alun sangat tergantung dari evolusi pada budaya masyarakatnya yang meliputi tata nilai, pemerintahan, kepercayaan, perekonomian dan lain-lain. Zaman Hindu-Budha, alun-alun telah ada (Buku Negara Kertagama, menyatakan di Trowulan terdapat alun-alun) asal usulnya ialah dari kepercayaan masyarakat tani yang setiap kali ingin menggunakan tanah untuk bercocok tanam, maka haruslah dibuat upacara minta izin kepada “dewi tanah”. Yaitu dengan jalan membuat sebuah lapangan “tanah sakral” yang berbentuk “persegi empat” yang selanjutnya dikenal sebagai alun-alun.

Dalam fungsi administrasi, maka fungsi alun-alun sangat penting. Yakni, ketika masyarakat berdatangan ke alun-alun untuk memenuhi panggilan ataupun mendengarkan pengumuman atau melihat unjuk kekuatan berupa peragaan bala prajurit dari penguasa setempat.

Sedangkan, fungsi sosial budaya dapat dilihat dari kehidupan masyarakat dalam berinteraksi satu sama lain, apakah dalam perdagangan, pertunjukan hiburan ataupun olahraga. Untuk memenuhi seluruh aktivitas dan kegiatan tersebut alun-alun hanya berupa hamparan lapangan rumput yang memungkinkan berbagai aktivitas dapat dilakukan.

Nah, begitu masa masuknyaajaran  Islam, bangunan masjid dibangun di sekitar alun-alun. Alun-alun juga digunakan sebagai tempat kegiatan-kegiatan hari besar Islam termasuk Shalat Idul Fitri. Pada saat ini banyak alun-alun yang digunakan sebagai perluasan dari masjid seperti Alun-alun Kota Bandung.

Konsep alun-alun menurut Islam adalah sebagai ruang terbuka perluasan halaman masjid untuk menampung luapan jamaah dan merupakan halaman depan dari keraton. Siar Islam telah membawa perubahan dalam perancangan pusat kota, sehingga alun-alun, keraton dan Masjid berada dalam satu kawasan yang di dekatnya terdapat jalur transportasi.

Pada periode berikutnya kehadiran kekuasaan Belanda di Nusantara, ikut memberi warna bentuk baru dalam tata lingkungan alun-alun. Hal ini terlihat dengan didirikannya bangunan penjara pada sisi lain alun-alun, termasuk di Alun-alun Yogyakarta. Pendirikan bangunan-bangunan untuk kepentingan Belanda sekaligus mengurangi fungsi simbolis alun-alun, kewibawaan penguasa setempat (penguasa pribumi).

Kemudian, periode zaman kemerdekaan, banyak alun-alun yang berubah bentuk. Salah satunya alun-alun Malang. Faktor pendorong pertumbuhan ini macam-macam di antaranya kebijakan pemerintah, aktivitas masyarakat, Perdagangan dan Pencapaian.

Jo Santoso dalam Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa (2008), menjelaskan betapa pentingnya alun-alun karena menyangkut beberapa aspek. Pertama, alun-alun melambangkan ditegakkannya suatu sistem kekuasaan atas suatu wilayah tertentu, sekaligus menggambarkan tujuan dari harmonisasi antara dunia nyata (mikrokosmos) dan universum (makrokosmos). Kedua, berfungsi sebagai tempat perayaan ritual atau keagamaan. Ketiga, tempat mempertunjukkan kekuasaan militer yang bersifat profan dan merupakan instrumen kekuasaan dalam mempraktikkan kekuasaan sakral dari sang penguasa.

Penjelasan di atas tentu saja masih harus ditambahkan bahwa keberadaan alun-alun berfungsi pula sebagai ruang publik terbuka di mana rakyat saling bertemu dan fungsi pengaduan rakyat pada raja. Sebagai ruang publik, alun-alun adalah tempat pertemuan rakyat untuk bercakap-cakap, berdiskusi, melakukan pesta rakyat dan lain-lain.

Bahkan istilah Plaza yang saat ini menjadi ikon modernitas di setiap kota, disinyalir oleh Romo Mudji Sutrisno dalam bukunya, Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace (2010) sebagai bentuk ruang publik yang telah mengalami pergeseran makna yang dahulunya adalah alun-alun[4]. B. Herry Priyono dalam bukunya Republik Tanpa Ruang Publik (2005) memberi peringatan akan dampak pergeseran makna Plaza yang semula adalah Alun-alun sebagai aktivitas ruang publik yang dinamis sebagai berikut:

“Ketika ruang publik telah menjelma menjadi komoditas komersial suatu masyarakat, maka pemaknaan ‘kewarganegaraan’ sebagai makhluk sosial, telah berganti menjadi pemaknaan bahwa masyarakat itu adalah konsumen belaka”.

Sebagai tempat pengaduan rakyat, alun-alun berfungsi sebagai tempat curhat dan protesnya masyarakat terhadap sebuah kebijakan pemerintahan dalam hal ini raja atau istana. Di alun-alun Yogyakarta pada zaman kolonial, tepat di mana berdirinya wringin kurung (pohon beringin yang dibatasi pagar) jika seseorang mengalami keberatan atau sebuah kebijakkan maka mereka akan duduk bersila seharian di sana dengan menggunakan tutup kepala putih dan pakaian putih. Tata cara ini disebut dengan pepe. Jika raja melihat keberadaan orang tersebut maka raja akan memerintahkan untuk membawa orang tersebut menghadap dan mengadukan persoalannya secara langsung.

Tentang Alun-Alun di Kota Banjarmasin

Banjarmasin adalah kota sungai yang tidak mengenal adanya alun-alun. Perbedaan mendasar penekanan aktifitas kota ini dengan kota di pulau jawa seperti penjelasan di atas yaitu pusat pergerakan ada di sungai. Benteng pertahanan dan kantor/markas perjuangan ada di sekitar Sungai Martapura/ barito. Sehingga tidak ditemukan sejarah penempatan alun di kota ini.

Namun kini, masyarakat melalui stakeholder banyak menyuarakan perlunya penambahan sarana ruang terbuka hijau dengan fungsi mirip alun-alun di Kota Banjarmasin. Beberapa tempat yang dapat dijadikan sebagai RTH antara lain yakni di kawasan Sungai Gampa di Kelurahan Sungai Andai dan Pulau Bromo, Mantuil, Banjarmasin Selatan.

Bicara  kebutuhan kota akan ruang terbuka sangat vital dalam menopang aktivitas warga untuk rekreasi atau bersosialisasi sesama warga kota. Untuk itu, Pemkot Banjarmasin harus bisa menjaga momentum penambahan ruang terbuka hijau, jangan sampai terlalu fokus pada pembangunan RSUD Sultan Suriansyah, sehingga tidak menganggarkan penambahan luasaan RTH di kota ini.

RTH yang asetnya sudah dimiliki oleh Pemkot Banjarmasin, dapat dikelola bersama dengan pihak swasta melalui program CSR seperti yang sudah dilakukan di kota-kota besar di Indonesia. Besar harapan masyarakat kepada walikota periode saat ini untuk dapat meningkatkan kualitas dan jumlah RTH di Banjarmasin.

Dengan luas Banjarmasin mencapai 98,46 kilometer persegi, idealnya RTH publik yang tersedia di Kota Seribu Sungai ini mencapai minimal 19,69 kilometer persegi. Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Banjarmasin tahun 2015, tercatat RTH publik sebesar 3 persen atau 2,95 kilometer persegi. Sehingga kekurangan RTH di kota ini sebesar 16,74 kilometer persegi. Maka harus ada rencana aksi dan komitmen dari pemerintah kota terhadap kekurangan luasan ini. Apakah akan dipenuhi dalam 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun atau 20 tahun ke depan.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua DPP Intakindo Kalsel

Planolog Universitas Brawijaya (UB) Malang

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.