Mengawal Demokrasi dan Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Oleh : Hervita Liana, SH

0

SAYA adalah seorang penyandang disabilitas sejak lahir,yang mempunyai keterbatasan fisik tidak ada tangan kiri. Melalui artikel ini, saya ingin berbagi cerita dan pengalaman pribadi menjadi Tim Pemantau Pemilu untuk Masyarakat Disabilitas berkerjasama dengan Jaringan Pendidik Politik untuk Rakyat (JPPR) di tiga daerah yakni Banjarmasin, Banjarbaru, dan Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan pada Pemilihan Presiden-Wakil Presiden 2014 lalu.

WALAUPUN saya disabilitas, saya harus bisa dan harus membuktikan kepada dunia bahwa disabilitas itu bisa berkarya dan mampu berjuangan dalam hidup dan berani. Mereka jugas bisa sukses dalam bidang apa pun yang dicita-citakan. Selalu bersyukur kapada Tuhan, percaya diri. Yakin dan selalu rendah hati, sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup ini. Doa dan usaha adalah kekuatan untuk menjadi kebanggan bangsa negara dan agama, menjadikan sebuah kesuksesan dalam hidup jadi berkah.

Di tahun 2018 dan 2019 disebut sebagai tahun politik, semua disibukkan dengan berbagai persiapan. Memasuki 2018 ini, masyarakat  banyak  disuguhkan dengan momentum besar. Dan pesta demokrasi pelaksanaan pilkada serentak di 171 daerah, mencakup 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten seluruh Indonesia serta prosesi persiapan menuju Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019.

Demokrasi dalam sistem pemerintahan negara Indonesia, kita kenal sebagai pemerintah yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Atau sebuah sistem sosial dan politik pemerintah diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan dibatasi hukum dan hak-hak perorangan warga negara.

Demokrasi sangatlah penting sebagai pilihan dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia melalui pemilihan umum (pemilu) sebagai saluran resmi kedaulatan rakyat yang jujur, adil serta langsung, umum, bebas, rahasia,baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan pengawasan pemilu (Bawaslu), termasuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai lembaga Mahkamah kode etiknya.

Pemilu harus bersifat netral dan tidak memihak komisi KPU tidak boleh dikendalikan oleh partai politik atau pejabat tertentu atau peserta/calon peserta pemilu dan juga tidak tergantung dan terpengaruh. terterpengaruh.

Partisipasi setiap warga negara dalam pemilu merupakan hak asasi yang harus dijunjung tinggi setiap warga negara berhak terlibat  dalam mengambil kebijakan politik dan negara wajib melindungi hak-hak tersebut.  Ketentuan tentang partisipasi secara aktif dalam kehidupan berpolitik terkandung dalam pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 28D ayat (3), pasal 28H ayat 2 dan pasal 28I ayat (1) dan (2) UU Nomor 39 Tahun1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Inti pasal-pasal tersebut antara lain setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan,baik kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Yakni, berupa dipilih dan memilih dalam pemilu maupun aksesibilitas untuk mendapatkan tersebut tanpa diskiminasi. Meskipun peraturan-peraturan tersebut diberlakukan dan KPU menjamin semua warga negara termasuk penyandang disabilitas berhak memberikan suaranya dalam pemilu. Kenyataannya justru hak berpolitik penyandang disabilitas masih dientengkan.

Rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang sistem,tahapan dan mekanisme pemilu mengakibatkan hak suara penyandang disabilitas rentan dimanipulasi. Adapun permasalahan-permasalahan yang pernah terjadi terkait kesulitan-kesulitan dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pemilih penyandang disabilitas antara lain:

  1. Meskipun KPU bekerjasama dengan LSM, sosialisasi dan simulasi pemilu masih sangat kurang. Pemilih penyandang disabilitas tidak memahami mekanisme dan teknis pengambilan suara.perubahan dari cara mencontreng ke menconblos  serta jumlah partai,nomor urut dan anggota calon legislatif yang banyak membingungkan para pemilih penyandang disabilitas terutama tuna netra. Sosialisasi terhadap petugas di lapangan juga terbatas. Pertugas banyak disabilitas seperti penggunaan alat bantu tunanetra. Petunjuk bagi tuna rungu dan tempat bagi pengguna kursi roda.
  2. Jumlah dan posisi pemilih penyandang disabilitas tidak terpetakan sehingga banyak pemilih penyandang disabilitas yang tidak terdaftar dalam daftar pemilihan tetap. Hal ini disebabkan petugas pendata untuk menanyakan jenis disabilitas kelompok yang didata dan kecurangan petugas pendata untuk tidak mendaftarkan pemilihan penyandang disabilitas.
  3. Banyak TPS  yang berlokasi di areal yang berumput tebal, becek, berbatu-batu, berlubang-lubang, berundak-undak menanjak dan di tempat yang tinggi sehingga sulit dijangkau oleh pemilih pengguna kursi roda.
  4. Alat bantu tunanetra hanya tersedia untuk lembar surat suara penyandang disabilitas tunanetra mesti didamping petugas atau anggota keluarganya.
  5. Alasan langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) tidak terjamin karena dalam memberikan suaranya pemilih tunanetra didamping oleh petugas,bukan orang yang dipilihnya sendiri.  Begitu pula dengan pemilihan pengguna kursi roda, suaranya diwakilkan karena aksesibilitas ke TPS kurang memadai.
  6. Surat suara berukuran 84×54 cm sangat menyulitkan pemilih penyandang disabilitas.Meskipun menggunakan alat bantu tunanetra membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit untuk memberikan suaranya.
  7. Tidak tersedianya petunjuk dan informasi tentang pemilu yang dikemas khusus dengan menggunakan bahasa isyarat untuk pemilih tunarungu/wicara, sehingga sering menimbulkan kesalahan persepsi pada saat pendaftaran peserta pemilu dan mendengar penjelasan petugas tentang pemungutan suara.
  8. Sistem mencoblos dikhawatirkan akan menghapus hak berpolitik pemilih penyandang disabilitas  tunanetra karena tanda mencoblos digambar beragam oleh para tunanetra yang tidak bisa melihat sejak lahir.

Belajar dari ketidakteraturan pemilu yang pernah terjadi sebelumnya, diharapkan pada pemilu mendatang pemerintahan lebih memfokuskan upaya-upaya pemenuhan hak berpolitik penyandang disabilitas tidak dilanggar dan asas pemilu luber dan jurdil bisa terwujud. Upaya-upaya tersebut antara lain:

  1. Sosialisasi dan simulasi pemilu harus diselenggarakan tidak hanya di kota-kota besar, namun juga di daerah-daerah terpencil dengan menggunakan metode dan cara yang sesuai dengan kebutuhan pemilihan tunanetra dan rungu/wicara
  2. Partisipasi dan kerjasama secara efektif dan penuh antara individu,masyarakat,lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah harus lebih ditingkatan agar sarana,prasaran,informasi,mekanisme dan materi pemilu mudah diakses dan dimanfaatkan oleh pemilihan penyandang disabilitas.
  3. Pemerintah harus meningkatkan anggaran penyediaan alat bantu tuna netra agar alat bantu tuna netra juga tersedia untuk lembar surat suara pemilihan anggota legislatif.
  4. Bawaslu yang bertugas mengawasi penyelenggaran pemilu harus menaruh perhatian khusus pada pelanggaran-pelanggaran terkait disabilitas sehingga hak berpolitik penyandang disabilitas tidak dirugikan.
  5. Yang terutama merevisi peraturan perundang-undangan terkait yang tidak berpihak pada kaum penyandang disabilitas agar pemenuhan hak-haknya lebih terjamin.

Harapan terhadap Penyandang Disabilitas atas Demokrasi 

Pemenuhan hak politik penyandang disabilitas dapat turut serta berperan secara menyeluruh dalam pemilu dan juga  dapat meningkatkan harga diri dan harkat martabat penyandang disabilitas dan khususnya di Provinsi Kalimantan Selatan sendiri sangat diharapkan proaktif mengadvokasi hak politik kami. Hal ini merupakan sesuatu kekuatan besar untuk mengadakan perubahan baik dalam organisasi atau komunitas disabilitas maupun masyarakat secara luar. Salam persahabatan buat semua, Wassalam.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua DPP Pusat Pemilihan Umum untuk Askes Penyandang Cacat (PPUA Penca) Kalse

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.