Jangan Hanya Mengejar Adipura, Banjarmasin Harus Mampu Entaskan Kemiskinan

0

POTRET buram kemiskinan masih masih menjadi warna di Banjarmasin.  Belum lama tadi meninggalnya seorang tunawisma di kawasan patung bekantan. Selain itu ada seorang guru ngaji yang tinggal di rumah yang tidak layak huni, dan manusia gerobak yang kerap kita jumpai di tengah padanya lalu lintas.

ANGGOTA Komisi IV DPRD Banjarmasin,  Sri Nurnaningsih merasa heran di tengah kota yang berjuluk seribu sungai yang  menuju kota metropolitan ini kemiskinan justru terjadi di depan mata.

“Pemkot Banjarmasin jangan hanya memoles fisik kota untuk mengejar Adipura, tapi juga memprioritaskan pengentasan kemiskinan jangan sampai ada lagi kejadian tragis karena kemiskinan,” tegas legislator Partai Demokrat ini.

Sri Nurnaningsih menilai seharusnya Pemkot Banjarmasin bekerja lebih keras lagi dalam melatih warga miskin agar mempunyai kemandirian ekonomi. “Waktu pembahasan anggaran Dinas Sosial berharap ada tambahan anggaran karena Dinas Sosial banyak bersentuhan dengan masyarakat tidak mampu,” katanya.

Dia  mengatakan, dengan anggaran Dinas Sosial Banjarmasin yang seret, sementara tugas bejibun membuat program pengentasan kemiskinan seperti berjalan di tempat.

Terpisah, Sosiolog FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Nasrullah menjelaskan fenomena kemiskinan di Kota Banjarmasin mesti dilihat dari dua pandangan, yakni sebagai kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural

“Kemiskinan struktural adalah orang atau komunitas masyarakat menjadi miskin karena mereka tidak mendapatkan akses baik pendidikan, pekerjaan, kesehatan bahkan akses transportasi. Dengan kata lain, orang yang masuk kategori kemiskinan seperti ini nereka dimiskinkan” ucap pengajar Prodi pendidikan Sosiologi dan Antropolofi FKIP ULM ini.

Jebolan Magister Universitas Gajah Mada (UGM) menuturkan, kemiskinan kultural tidak lain karena rendahnya pendidikan dan etos kerja. Pendidikan rendah bukan berarti sejak awal mereka tidak punya uang untuk melanjutkan sekolah atau kuliah, tapi keinginan atau kesadaran untuk menuntut ilmu sangat rendah.

“Giliran selanjutnya warga tidak mampu berkompetensi jika tolak ukurnya adalah secara keilmuan. Persoalan etos kerja juga penting. Kebanyakan kita sangat kuat motivasi ekonomi, meraup keuntungan sebanyaknya dengan usaha sedikit mungkin,” ucap Nasrullah.

Nasrullah berpendapat Banjarmasin sebagai ibukota propinsi, pusat perdagangan, pusat keramaian dan tempat untuk memenuhi mimpi urbanisasi tak dapat dihindari terutama untuk mendapatkan pekerjaan lebih layak.

“Ada yang datang tanpa modal,kemapuan maupun dari kalangan terdidik. Jadi semua tergantung daya serap kota untuk tenaga kerja. Artinya semakin banyak daya serap kota semakin berkurang jumlah penganguran,” imbuh magister sosiolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Fahriza

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.