Mimpi Buruk Bagi Pengguna BPJS Kesehatan

Oleh : Fitriani, S.Sos

0

JAGAT  maya pada Jumat (27/7/2018), ramai dengan berbagai unggahan warganet yang mempertanyakan informasi pencabutan tiga penjaminan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Setelah sebelumnya muncul kabar bahwa BPJS Kesehatan akan menjalankan kebijakan cost sharing untuk sejumlah penyakit kronis  sekarang  berupaya memangkas biaya yang harus ditanggung untuk tiga layanan meliputi penjaminan pelayanan katarak, persalinan dengan bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medik dengan alasan melakukan penghematan biaya (Kompas.com).

PADAHAL ketiga jenis pelayanan kesehatan itu sangat dibutuhkan masyarakat kecil, kalau memang tidak ada dana lebih baik tidak mewajibkan semua orang/ badan usaha membayar BPJS, biarkan mereka memilih asuransi sendiri yg lebih kredibel dan bisa mengcover semua penyakit. Apalagi mereka yang sudah rela bayaran iuran pendaftara, bulanan sekarang akan dipangkas, tentu ini sangat merugikan.

“Setelah obat-obatan kanker, tiga layanan kesehatan terancam ditiadakan demi efisiensi biaya. Sebenarnya seperti apa sih hubungan BPJS Kesehatan dgn peserta jaminan kesehatan? Mengapa keputusan-keputusan ini sering diambil secara sepihak, padahal masyarakat bayar iuran dan katanya sifatnya adalah kerja sama?

Kebijakan inipun menuai polemik dari pelaku dibidang kesehatan, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memprotes kebijakan ini. IDAI menilai langkah BPJS Kesehatan mengatur kembali pelayanan kesehatan bayi yang baru lahir akan merugikan masyarakat peserta BPJS. Sebab, nantinya biaya persalinan tidak menyertakan biaya perawatan bayi yang baru lahir.

Hal ini berpotensi baru yang memunculkan masalah terkait kesehatan dan keselamatan bayi yang baru lahir. Ketua IDAI juga meminta untuk meluruskan masalah ini dan meminta pencabutan rencana itu.

Sebelumnya kita juga menemukan kasus-kasus sebagai bukti bahwa JKN tidak berhasil membawa kebaikan bidang kesehatan malah kesengsaraan. Mulai dari kasus pasien yang seharusnya dirawat di rumah sakit harus pulang dengan kepedihan atau bisa disebut pasien yang “ditolak” karena kartu BPJS yang baru didaftarkan belum bisa digunakan, padahal sakit menimpa tanpa terduga dan tak mungkin bisa ditunda, atau karena tidak sanggup membayar iuran.

Banyak rumah sakit yang over capacity sehingga pasien dirawat di lorong-lorong rumah sakit padahal mereka adalah peserta JKN. Beberapa kali ditemukan pasien kritis meninggal karena keterlambatan dalam memberikan pertolongan, karena rumitnya alur pelayanan BPJS Kesehatan yang berjenjang. Sebelum ke rumah sakit, peserta wajib terlebih dulu ke faskes tingkat pertama, yaitu puskesmas.

Rujukan lembaga jasa kesehatan yang ditunjuk BPJS Kesehatan juga terbatas dan tidak fleksibel. Peserta BPJS hanya boleh memilih satu fasilitas kesehatan untuk memperoleh rujukan dan tak bisa ke faskes lain meski sama-sama bekerja sama dengan BPJS. Keterbatasan itu menyulitkan orang yang sering bepergian dan bekerja di tempat jauh.

Masalah lain  adalah banyak peserta BPJS mengeluhkan pembayaran biaya pengobatan yang tak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS. Harusnya sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS seharusnya menyelenggarakan sistem jaminan sosial berdasar asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia termasuk dalam hal ini rencana pemangkasan biaya persalinan ini seharusnya tidak akan pernah ada. Inilah mimpi buruk bagi pengguna kartu BPJS yang berkedok “Jaminan” padahal “Asuransi”.

Para pengamat sudah mengingatkan jauh-jauh hari bahwa BPJS hanyalah nama lain kapitalisasi kesehatan. BPJS akan menjadi perusahaan asuransi raksasa yang bersifat layaknya perusahaan asuransi lain. Semakin bertambahnya peserta maka pendapatan yang dapat diraup akan semakin besar, sementara klaim yang mereka bayarkan lebih rendah.

Hampir 4 tahun berlalu, tampaknya analisis di atas bukan omong kosong. Beberapa kebijakan yang ada mengindikasikan JKN yang dikelola BPJS betul-betul berorientasi komersil, bukan seperti yang teramanatkan lewat nama indahnya, Jaminan Kesehatan Nasional. Kebijakan masa tunggu adalah salah satunya. Kalau memang ingin memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyat, tak seharusnya ada regulasi yang menjebak seperti itu. Kebijakan ini adalah ciri khas perusahaan asuransi yang tak mau perusahaannya rugi.

Kebijakan  ini hanyalah “pemalakan” terhadap rakyat berkedok jaminan sosial. Namanya memang terdengar bagus, Jaminan Kesehatan Nasional, tetapi isinya ternyata hanya mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Artinya, ini hanyalah nama lain dari upaya privatisasi pelayanan sosial khususnya di bidang kesehatan. Derita tak berkesudahan pasien miskin khususnya dan masyarakat pada umumnya pada kebutuhan dasar kesehatan mereka adalah keniscayaan, selama komersialisasi pelayanan kesehatan tetap dijadikan  fondasi kebijakan.

Hal ini karena harga pelayanan kesehatan yang terus melangit merupakan keniscayaan saat pelayanan kesehatan tunduk pada kepentingan pasar. Karena BPJS adalah sebuah perusahaan yang tentu mencari profit adalah tujuan mereka, bukan good service.  Ketika terjadi defisit anggaran tentu saja cara satu-satunya adalah mengurangi pengeluaran yaitu berupa mengurangi jasa pelayanan untuk pengguna kartu BPJS.

Pada aspek inilah rekonstruksi total bangunan kebijakan pelayanan kesehatan merupakan keharusan yang tak dapat ditawar lagi. Kembalikan hak pelayanan kesehatan publik.   Caranya, campakkan sistem kehidupan kapitalistik sang biang derita, dan kembali pada pangkuan kehidupan Islam.  Pelayanan kesehatan dalam islam dibangun di atas paradigma, bahwa kesehatan merupakan kebutuhan pokok publik, siapapun dia, miskin-kaya, rakyat-penguasa, muslim-non muslim, dan demikianlah faktanya.

Jaminan sosial khususnya bidang kesehatan sudah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan ajaran Islam. Anggaran jaminan sosial bukan dari iuran masyarakat. Jaminan sosial ini sepenuhnya ditanggung oleh negara Islam. Tidak ada sepeser pun uang yang ditarik dari setiap individu. Dalam Islam, negara mempunyai tanggungjawab penuh terhadap penghidupan rakyatnya.

Sabda Rasulullah Saw “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanyakan mengenai apa yang kalian pimpin. Seorang pemimpin bertanggungjawab terhadap rakyatnya. (HR. Bukhari Muslim).

Memberikan kesehatan gratis dan pemeliharaan kesehatan yang layak adalah merupakan tanggung jawab negara Islam terhadap semua warganya. Artinya, dengan alasan apapun, negara tidak berwenang merampas (mengkomersilkan) hak publik tersebut, sekalipun ia orang yang mampu membayar pelayanan kesehatan. Hal ini karena Negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.

Subhanallah, konsep kebijakan pelayanan kesehatan gratis lagi berkualitas dalam Islam bagi setiap inidividu masyarakat sungguh benar-benar implementatif, baik dari segi kosep dan metodologis (pelaksanaan) maupun fakta empirik (sejarah). Dari segi fakta sejarah, tercatat pada masa kegemilangan peradaban Islam, hampir di setiap kota, termasuk kota kecil sekalipun, terdapat rumah sakit, berikut dengan tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dan lain-lain) berkualitas lagi memadai.  Disamping tercukupi peralatan medis dan obat-obat yang dibutuhkan.

Sejarah mencatat di Kordoba saja, yang luasnya lebih sedikit dari Provinsi Banten (Kordoba:13.550 km2, Banten: 8.234,69 km2), memiliki lebih dari 50 rumah sakit. Bila Kordoba dibagi menjadi 7 Kabupaten, maka setiap kabupaten terdapat 7-8 rumah sakit.  Indonesia (1.906.240 km2) yang luasnya 2.000 kali luas Kordoba, hanya memiliki 1.320 rumah sakit (DepKes, 2009), 1/76 jumlah yang dimiliki Kordoba, idealnya 100.000 RS.

Tidak hanya itu, rumah sakit keliling tersedia untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan individu masyarakat di pedesaan, jauh dari perkotaan, atau kesulitan mendatangi rumah sakit di perkotaan.  Rumah sakit ini diangkut sejumlah unta, bahkan sampai empat puluh unta. Para dokter rumah sakit keliling mengunjungi pasien satu per satu, dari rumah ke rumah, demikian pula para bidan yang memberikan pelayanan bagi Ibu-Ibu hamil dan bersalin.

Lebih jauh lagi, di kota-kota besar, terdapat sejumlah rumah sakit yang didesain untuk pelayanan pasien dan pendidikan. Seperti RS Al Dhudi, di Baghdad, didirikan Adhdu Daulah Ibnu Buwaih, 371 H.  Luar biasa, rumah sakit ini mampu memberikan pelayanan kepada 4000 pasien perhari, bandingkan dengan RSCM, Rumah Sakit Rujukan Nasional, hanya mampu memberikan pelayanan maksimal 2000 pasien perhari.

Rumah sakit umum seperti Bimaristan al-Mansuri, didirikan di Kairo pada tahun 1283, mampu mengakomodasi 8.000 pasien. Ada dua petugas untuk setiap pasien yang melakukan segala sesuatu untuk diri pasien agar mendapatkan kenyamanan dan kemudahan dan setiap pasien mendapat ruang tidur dan tempat makan sendiri.

Para pasien baik rawat inap maupun rawat jalan di beri makanan dan obat-obatan secara gratis. Ada apotik dan klinik berjalan untuk perawatan medis bagi orang-orang cacat dan mereka yang tinggal di desa-desa. Khalifah, Al-Muqtadir Billah, memerintahkan bahwa setiap unit apotik dan klinik berjalan harus mengunjungi setiap desa dan tetap di sana selama beberapa hari sebelum pindah ke desa berikutnya.

Selain itu, rumah sakit-rumah sakit negara islam benar-benar didesain untuk kesembuhan pasien.  Ruangan pelayanan yang nyaman, sejuk, asri dan beraroma segar.  Para pasien dilayani oleh para tenaga kesehatan yang kompeten, professional, berpegang teguh pada etik kedokteran Islam yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Aspek insaniah setiap pasien benar-benar terpenuhi.

Jangankan individu yang benar-benar sakit, yang berpura-pura sakit saja diberikan pelayanan yang pantas bagi seorang manusia.  Para pasien, sekalipun gratis, dihormati dan dimuliakan layaknya menghormati dan memuliakan tamu agung.

Perawatan kesehatan juga berlaku untuk anak-anak. Selama masa pemerintahan Khalifah Umar, ada kebijakan untuk memberikan upah setiap kali seorang anak selesai masa menyusui. Namun, suatu hari Umar (ra) mendengar seorang bayi menangis kemudian dia meminta kepada ibu anak itu untuk “Bertakwalah kepada Allah SWT atas bayi Anda dan rawatlah dia”.

Kemudian ibu itu menjelaskan bahwa dia berhenti menyusui anaknya lebih awal agar dia bisa menerima upah dari Negara. Keesokan harinya, setelah fajar, Umar merevisi kebijakan itu dengan membayar upah pada saat kelahiran. Umar (ra) takut Allah SWT akan meminta pertanggung jawabannya dan dia berkata sambil menangis “bahkan atas bayi-bayi ya Umar!” -yang berarti bahwa ia akan diminta pertanggungjawabkan karena tindakannya merugikan anak-anak.

Inilah fakta sejarah hasil kebijakan pelayanan kesehatan dalam Islam.  Insya Allah, akan hadir kembali dalam waktu dekat, mengembalikan hak pelayanan kesehatan publik yang terampas.(jejakrekam)

Penulis adalah Staf Administrasi Umum BAZ Kabupaten HSU

Tinggal di Amuntai

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.