Tergusur dari Teluk Kelayan, Terpaksa Jadi Penghuni Kolong Jembatan Antasari

0

PEMBEBASAN lahan di kawasan Teluk Kelayan, yang akan segera dibangun siring plus rumah susun sederhana sewa (rusunawa) tengah digenjot Pemkot Banjarmasin. Usai rata dengan tanah pada Mei 2018 lalu, di bekas pemukiman warga di Jalan Teluk Kelayan, Kelurahan Kelayan Luar, kemana perginya para penghuninya?

SEBAGIAN warga memang memilih perumahan atau permukiman terdekat. Namun, ada beberapa warga Teluk Kelayan yang tergolong tak mampu memilih ‘menginap’ di bawah Jembatan Antasari.

Walau sebelumnya pernah dibersihkan Satpol PP Kota Banjarmasin, namun sekarang mereka kembali karena tak punya tempat tinggal. Sedikitnya, ada 11 bilik yang digunakan sejumlah warga eks Teluk Kelayan.

“Ya, terpaksa kami berdiam kembali. Di sini memang ada pekerjaan seperti mengangkut kelapa, ya dicukup-cukupkan untuk biaya hidup,” ucap Masnah kepada jejakrekam.com, belum lama tadi.

Wanita yang sudah berusia 65 tahun ini mengaku terpaksa tinggal di bawah kolong Jembatan Antasari, karena tak mampu menembus atau menyewa rumah kontrakan baru, usai tergusur dari Teluk Kelayan yang akan disulap jadi kawasan siring dan dibangun rusunawa.

Menariknya, ternyata para penghuni kolong jembatan yang kabarnya berusia ratusan tahun adalah pengantong e-KTP Banjarmasin, serta memiliki kartu prasejahtera. Dari pengakuan sejumlah penghuni kolong Jembatan Antasari ini justru belum mendapat sentuhan dana pemerintah, khususnya Pemkot Banjarmasin.

Terpaksa, selain menjadi buruh angkut kelapa, beberapa warga penghuni kolong Jembatan Antasari ini berprofesi sebagai pengemis. Mereka pun berpencar di pasar-pasar yang ada di Banjarmasin, seperti Pasar Sentra Antasari, Pasar Sudimampir Raya, Pasar Harum Manis dan Pasar Lima. Atau, mereka membagi diri ke sejumlah perumahan atau pusat keramaian publik.

“Ya, uang dari hasil mengemis bisa jadi modal dagang. Dikumpulkan sedikit demi sedikit, disisihkan untuk modal kerja,” kata seorang penghuni kolong Jembatan Antasari ini.

Fenomena ini dinilai sosiolog FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Nasrullah menjadi potret buram kota dalam penanganan masalah sosial. “Bisa jadi, Pemkot Banjarmasin abai, karena terbukti mereka itu memiliki kartu identitas warga Banjarmasin. Nah, ketika rumah mereka dibebaskan di kawasan Teluk Kelayan, seharusnya pemerintah kota memberikan solusi, agar mereka tak kembali menghuni kolong Jembatan Antasari,” tutur Nasrullah kepada jejakrekam.com, Minggu (15/7/2018).

Sosiolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengakui pilihan untuk bermukim di tempat yang tak layak itu, karena pertimbangan jarak dan mudahnya mendapatkan uang. “Tidak mungkin, mereka pindah jauh dari lokasi mata pencahariannya. Nah, ketika nanti misalkan dibangun rusunawa, ternyata sewanya mahal, dan tak mampu dijangkau mereka, maka pilihan terakhir adalah kolong jembatan,”  kata Nasrullah.

Dia menyarankan agar Pemkot Banjarmasin, terutama instansi terkait agar tak menerapkan pendekatan pola sanksi seperti penggusuran atau sejenisnya, namun lebih mengutamakan sisi kemanusiaan dalam menangani masalah pengemis atau warga yang tergusur itu.

“Walau keberadaan mereka dianggap jadi problema kota. Tapi, harus tetap dipecahkan dengan pendekatan humanis. Pembinaan patut dilakukan pemerintah kota. Pertanyaannya adalah apakah program yang ada di Pemkot Banjarmasin tak menyasar mereka? Ini harus bisa dijawab,” pungkasnya.(jejakrekam)

 

Penulis Arpawi
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.