Membedah UU Jaskon, Mampukah Memberdayakan Pengusaha Konstruksi Daerah (2)?

Oleh : Ir H Subhan Syarief, MT

0

HAL kewenangan pemerintah daerah terkait penguatan antara lain ada di Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Jaskon) yang menggantikan regulasi lama UU Nomor 18 Tahun 1999, yakni untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf A.

DALAM pasal itu disebutkan bahwa gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah memiliki kewenangan antara lain : ayat (1) huruf A, memberdayakan badan usaha jasa konstruksi dan juga di ayat (1) huruf E, memfasilitasi kemitraan antara badan usaha jasa kontruksi di provinsi dengan badan usaha dari luar provins.

Dari pasal ini terlihat bagaimana melalui UU Nomor 2 Tahun 2017, terdapat tanggung jawab atau tepatnya pemberian wewenang kepada pemerintah daerah/gubernur dalam meningkatkan pemberdayaan bagi badan usaha jasa konstruksi. Bahkan, memfasilitasi hal kemitraan dalam pelaksanaan kegiatan jasa konstruksi di daerahnya.

Dengan adanya hal ini maka bisa diharapkan kedepan peluang kerja semakin terbuka. Pemberdayaan tersebut semakin menguat apabila dikaitkan ke Pasal 24 ayat (1) dan (2) berikut penjelasannya, pada Pasal 24 tersebut diungkapkan bahwa dalam hal penyelenggaraan jasa konstruksi menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta memenuhi kriteria berisiko kecil sampai sedang, berteknologi sederhana sampai dengan madya, dan berbiaya kecil sampai dengan sedang, pemerintah daerah provinsi dapat membuat kebijakan khusus (Pasal 24 ayat 1).

Sedangkan di bagian penjelasan UU ditegaskan pada pasal tersebut dikatakan tujuan dari kebijakan khusus dimaksudkan untuk mengembangkan badan usaha jasa konstruksi dan tenaga kerja konstruksi yang berdomisili di provinsi dengan tetap mengedepankan prinsip persaingan sehat.

Selanjutnya terkait dengan hal “kebijakan khusus” diperinci pada pasal 24 ayat (2) yang berbunyi bahwa kebijakan khusus yang dimaksud pada ayat (1) meliputi :

  1. Kerjasama operasi dengan badan usaha konstruksi daerah; dan/atau
  2. Penggunaaan subpenyedia jasa daerah.

Dengan aturan beberapa pasal  di UU ini tentu bisa dijadikan ‘strategi’ dalam pengembangan, pembinaan dan bahkan perlindungan bagi badan usaha serta tenaga kerja konstruksi di daerah. Bahkan peluang bagi setiap pemerintah daerah /gubernur untuk menyiapkan kebijakan khusus yang bisa mendorong perkuatan keterlibatan pengusaha dan pekerja daerah untuk melaksanakan pekerjaan di daerahnya wajib diwujudkan agar para pengusaha daerah serta pekerja konstruksi daerah tetap akan menjadi tuan rumah dalam kegiatan jasa konstruksi di daerahnya.

Yang paling terutama adalah penguatan pada kelompok usaha di level kecil dan menengah yang berjumlah ada di kisaran 90 % untuk di seluruh Indonesia. Tentu dengan  jumlah yang tidak sedikit ini kemudian dengan keberadaan mereka tersebar di hampir setiap pelosok negeri, bisa dikatakan ini merupakan potensi besar yang harusnya diperhatikan dan diperkuat. Karena dasarnya mereka adalah “ujung tombak” dalam mengulirkan sektor usaha jasa konstruksi negeri.

Bila kita kembali ke Kalimantan Selatan dengan melihat gambaran kondisi jumlah dan komposisi badan usaha yang ada berjumlah kurang lebih 4.408 perusahaan, kemudian dibandingkan atau dikorelasikan dengan total jumlah paket pekerjaan yang tersedia dengan yang totalnya ada di kisaran sebesar Rp 3 triliun per tahun. Maka apabila mengacu ke hal tersebut, tentu prospek kerja di bidang ini belumlah bisa memberikan hasil yang menjanjikan dan  berkesinambungan.

Ini karena antara jumlah paket dan nilai besaran dana paket tersebut dikaitkan dengan jumlah badan usaha yang akan terlibat atau mendapatkan pekerjaan mengerjakan paket-paket pekerjaan tersebut tidak seimbang. Masih lebih banyak jumlah badan usahanya dibanding jumlah paket pekerjaannya.

Tentu harapan dan optimisme tetap harus ada. Dengan keberadaan regulasi UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang baru  ini terutama terkait dengan beberapa pasal yang mengatur wewenang pemerintah daerah dalam aspek ‘pemberdayaan’. Tentu sangat memungkinkan untuk dijadikan atau di tindak lanjuti dengan memunculkan sebuah ‘strategi / kiat’ dalam kegiatan penguatan ataupun peningkatan peran pengusaha daerah untuk melaksanakan pekerjaan di daerahnya.

Tentu sepanjang tetap dalam koridor kesuaian dengan apa yang diatur oleh UU tersebut, maka peluang untuk membuat kebijakan khusus, seperti antara lain mengacu pada makna Pasal 6 Ayat (1) di mana gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah memiliki kewenangan memberdayakan badan usaha jasa konstruksi sekaligus dapat memfasilitasi kemitraan antara badan usaha jasa konstruksi di provinsi dengan badan usaha dari luar provinsi.

Melalui Pasal 24 ayat (1) berikut penjelasannya ini diungkapkan juga bahwa dalam hal penyelenggaraan jasa konstruksi menggunakan APBD serta memenuhi kriteria berisiko kecil sampai sedang, berteknologi sederhana sampai madya dan berbiaya kecil sampai dengan sedang, pemerintah daerah provinsi dapat membuat kebijakan khusus. Nah, kebijakan khusus dimaksudkan untuk mengembangkan badan usaha jasa konstruksi dan tenaga kerja konstruksi yang berdomisili di provinsi dengan tetap mengedepankan prinsip persaingan sehat.

Tentu terkait dengan aturan tersebut peluang membuat kiat dan strategi semakin di mungkinkan, apalagi bila mengacu melalui penegasan pada Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi bahwa kebijakan khusus yang dimaksudkan meliputi kerjasama operasi dengan badan usaha konstruksi daerah dan/atau penggunaan subpenyedia jasa daerah.

Langkah awal memperkuat hal UU Nomor 2 Tahun 2017 ini , ternyata telah disikapi oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Surat Edaran Nomor  17/SE// 2017 tertanggal  10 OKTOBER 2017. Dalam hal ini, Menteri PUPR telah membuat surat edaran kepada gubernur, dan walikota/bupati seluruh Indonesia tentang perjanjian antara penyedia jasa dengan subpenyedia jasa dalam pelaksanaan pekerjaan jasa konstruksi.

Ini bisa diartikan bahwa pemberdayaan dan penguatan peran serta pengusaha daerah dalam melaksanakan kegiatan konstruksi di daerah semakin mendapat tempat dan perlindungan. Jadi, tinggal bagaimana semua pihak terutama pihak yang terkait langsung dengan kegiatan proyek menyikapinya. Tentu saja, bisa menerapkan hal tersebut secara tepat guna , konsisten dan transparan.

Kalau ini hanya sekadar surat edaran tanpa disertai pengawasan dan adanya sanksi apabila tidak taat atau menerapkan aturan tersebut , terutama  terhadap pihak terkait langsung dengan kegiatan proyek pekerjaan konstruksi tersebut. Maka, mungkin saja ini tidak menjadi manfaat, dan bahkan menjadi kontraproduktif dalam hal penguatan usaha kecil atau menengah di daerah.

Ada hal lain yang kadang banyak terlupakan dalam penyelenggaraan jasa konstruksi. Padahal, hal ini adalah sebuah prospek dalam penguatan usaha jasa konstruksi di daerah, terutama untuk usaha kecil. Terkait dengan adanya peluang peningkatan dan penguatan peran pengusaha lokal juga bisa muncul melalui penanganan  terhadap sektor swasta yang saat ini belum tergarap atau tersentuh oleh piranti aturan.

Banyak proyek konstruksi di sektor swasta yang belum mengacu kepada aturan UU jasa kontruksi. Sejak era UU Nomor 18 Tahun 1999 hadir , aturan tersebut belum menyentuh secara maksimal potensi di sektor swasta. Padahal, kewajiban semua aktivitas konstruksi wajiblah taat UU tersebut. Akibatnya peluang ini tidak bisa menjadi pasar pengusaha konstruksi yang legal sesuai UU tersebut.

Dan dalam hal ini bila ditengok di aturan UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi , maka potensi pasar sektor swasta diharapkan bisa terbuka dan semakin dapat di maksimalkan untuk tergarap. Peluang untuk menggarap sektor swasta ini dikarenakan regulasi pada pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) mengungkapkan setiap badan usaha yang mengerjakan jasa konstruksi wajib memiliki sertifikat badan usaha yang diterbitkan melalui proses sertifikasi dan registrasi oleh menteri.

Padahal, fakta yang terjadi banyak pekerjaan konstruksi di sektor dana swasta  yang tidak mewajibkan pelaksana kegiatannya tersebut dilakukan oleh badan usaha yang memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU)  seperti halnya di proyek pemerintah.

Tentu akhirnya, berbagai celah peluang aturan yang ada dan menguntungkan bagi kepentingan usaha jasa konstruksi , terutama usaha jasa konstruksi daerah haruslah semakin dimunculkan serta diperkuat untuk bisa ditampilkan ke permukaan. Agar bisa dijadikan acuan dalam mengatur aktivitas usaha jasa konstruksi di daerah. Terutama untuk memberdayakan sekaligus memperkuat posisi dan peran serta para pengusaha daerah terkhusus usaha kecil dan menengah untuk mengerjakan paket pekerjaan yang ada di lingkungan daerahnya.

Bahkan mereka para pengusaha kecil yang rata rata berjumlah sekitar 90 %  dari total badan usaha jasa konstruksi yang ada di daerah sudah sepantasnya bahkan wajib untuk menjadi tuan rumah.

Ujungnya yang paling penting dan menjadi langkah awal adalah terletak pada sikap dan pikiran serta tindakan para pihak legislatif dan eksekutif yang sedang berkuasa didaerah untuk bisa memanfaatkan regulasi tertinggi tersebut secara optimal dan tepat guna.

Hal aturan kebijakan khususyang menjadi wewenang pemerintah daerah /gubernur seperti yang diatur makna berbagai pasal dan ayat yang terdapat pada  UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi perlu segera ditindak lanjuti melalui dibuatnya piranti aturan daerah. Aturan yang bisa saja berupa peraturan daerah (perda) atau dalam bentuk cukup peraturan gubernur (PERGUB), yang berisi berbagai hal untuk mengatur aspek pemberdayaan , perkuatan dan pembinaan usaha jasa konstruksi  daerah.

Tentu hanya melalui adanya “payung hukum” yang jelas dan tegas maka tujuan untuk memajukan dan menjadikan usaha daerah agar memiliki daya saing , profesional , akuntabel serta memberi manfaat bagi peningkatan pendapatan masyarakat akanlah bisa terlindungi dan tercapai.

Terkait dengan hal tersebut, maka tidak bisa tidak, ini menuntut diperlukan langkah strategis oleh pemerintah provinsi melalui kebijakan gubernur untuk segera memanfaatkan moment hadirnya UU Nomor 2 Tahun 2017. Salah satunya,  dengan mengeluarkan regulasi daerah sebagai turunan yang sejalan dan tidak bertentangan dengan yang diatur oleh UU Nomor 2 Tahun 2017 tersebut. Tentu dengan tujuan agar adanya payung hukum sebagai pegangan  yang kuat dalam membuat berbagai kebijakan dan program dalam memberdayakan dan memperkuat peran pengusaha daerah untuk mengerjakan berbagai proyek yang ada didaerahnya.

Ya, ke depan usaha kecil dan menengah sudah seharusnya menjadi pemain utama dan ujung tombak yang memiliki kemampuan keprofesionalan, keandalan dan memiliki daya saing dalam melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi di negeri ini. Ujung-ujungnya adalah ketahanan konstruksi daerah dan nasional bisa mampu membendung dan bersaing dengan para pengusaha dari mancanegara. Bahkan, mampu unggul masuk kenegara lain dalam melaksanakan usaha jasa konstruksi.

Hal mendasar yang mungkin paling penting dan menjadi tanda tanya kita adalah apakah pemerintah pusat dan pemerintah daerah mau serius melaksanakan apa yang menjadi kandungan makna perintah pasal dan ayat pada UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Terutama, berkaitan dengan kebijakan khusus, khususnya lagi penerapan sebuah kebijakan khusus untuk lebih memberdayakan dan memperkuat peran para pengusaha kecil yang ada di tiap daerah di negeri ini.

Apabila kita belajar pada regulasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 juga berbagai aturan di bawahnya, di mana semua aturan tersebut telah hampir berusia 20 tahun. Justru, dalam payung hukum itu mengatur penguatan melalui kemitraan yang sinergis antara usaha kecil menengah dan besar.

Sayangnya, bila terkait dengan penerapan penguatan dan pemberdayaan usaha kecil masih belum berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan. Yang terjadi terasa masih banyak hanya sekadar retorika, masih asyik dikata dan lupakan makna atau wujud nyata.

Hal penguatan dan pemberdayaan masih belum terbentuk wujud nyata atau bisa dikatakan masa depannya terasa buram bahkan mungkin suram. Tentu akhirnya, harapan kita adalah semoga melalui kandungan makna, dari kehadiran UU Nomor 2 Tahun 2017 sebagai penyempurna  dari UU yang lama yang digantikannya dapat disikapi pemerintah pusat dan daerah agar tepat guna dan tepat sasaran. Terutama lagi, dalam  membenahi hal terkait dengan penguatan serta pemberdayaan usaha di daerah supaya memiliki daya saing.

Ya, tentu dalam hal ini lebih terkhusus diperuntukan bagi usaha kecil, karena usaha kecil di tiap daerah adalah pilar utama dalam pengembangan usaha jasa konstruksi Indonesia kedepan dan bahkan menjadi pertahanan terakhir dalam menjaga ketahanan konstruksi negeri dari serbuan luar.(jejakrekam/habis)

Penulis adalah Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Provinsi Kalsel

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.