The Banjarmasin Secret : Berburu Harta Karun BJ Haga, Gubernur Borneo Tahun 1938-1942 (2)

Oleh : Mansyur 'Sammy'

0

DALAM tulisan Pramudya Handoko terungkap bahwa pada 25 Januari 1942, Gubernur Borneo Dr Bauke Jan Haga, menggelar rapat tertutup dengan seluruh pejabat penting Belanda (diambil dari catatan Van delf selaku ajudan rumah tangga Gubernur Haga, Van delf atau Bransen pada sekitar tahun 1970 pernah menjabat jadi Kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Tanjung, Kalimantan Selatan.

KEMUDIAN, pada 26 Januari 1942, Gubernur Dr Bauke memanggil S. Raden Soesilo, Antiro Santeago Pereira, Hausman Baboe, Makaliwij, Oe Ley Koey, Phoa Hok Tjwan, M. Seman, Anang Sarwani dan beberapa orang lainnya.  Menurut catatan, pertemuan Dr Bauke Jan Haga dengan orang-orang tersebut adalah untuk melakukan perang gerilya melawan pendudukan Jepang di Kalimantan.

Pembagian wilayah Raden Soesilo dan Makaliwij bergerak ke Kalimantan Barat. Kemudian Hausman Baboe, Antiro Santeago Pereira dan Phoa Hok Tjwan, bergerak ke pedalaman Kalimantan. Sementara M. Seman, Anang Sarwani dan Oe Ley Koey, bergerak di wilayah Kalimantan Selatan.

Tanggal 29 Januari 1942, Pontianak berhasil diduduki oleh Jepang. Tanggal 1 Februari 1942, hari Minggu, Gubernur Bauke Jan Haga melihat situasi sudah tidak terkendali, segera memanggil Walikota Banjarmasin Van der Meulen dan Kepala Javasche Bank Konig serta beberapa pejabat penting seperti resident, Kapitan Cina, untuk bertahan di Banjarmasin dan menugaskan mereka untuk menyerahkan Kota Banjarmasin kepada Jepang.

Tanggal 3 Februari 1942, Samarinda diduduki tentara Jepang. Berikutnya pada 5 Februari 1942 lapangan terbang Samarinda dikuasai tentara Jepang. Kekuatan tentara Belanda lumpuh total, dan jalan menuju Banjarmasin semakin terbuka. Pada hari Kamis, 5 Februari 1942, tengah malam Gubernur Bauke Jan Haga bersama istri dan seluruh pejabat tinggi Belanda, berangkat meninggalkan Kota Banjarmasin menuju Kuala Kapuas. Rombongan diperkirakan berjumlah lebih dari 100 orang, termasuk beberapa perwira tinggi dan serdadu KNIL. Rombongan berangkat dengan kapal besar diikuti dua kapal kecil. (De delegatie vertrok met een groot schip in te vullen twee kleine boten).

Dari penelusuran, memang terdapat sumber tertulis yang menjelaskan hal tersebut. Seperti tulisan Doetje van Velden, De Japanseinterneringskampenvoor burgers gedurende de tweedewereldoorlog, J.B. Wolters, 1963.

Handoko selanjutnya menuliskan bahwa dari data catatan rombongan Bauke Jan Haga bukan bersandar di kuala Kapuas, melainkan (tertulis) Boentoi. Rombongan tiba disana tanggal 6 Februari 1942, jam 06.30 pagi. Satu jam kemudian Gubernur Bauke Jan Haga dan istri disertai beberapa orang menaiki kapal kecil yang bermuatan 10 orang berangkat menuju ke suatu tempat. Rombongan yang berada di kapal besar menunggu dengan penuh ketegangan.

Sekitar jam 13.00, rombongan Bauke Jan Haga datang, muatan bertambah dengan 6 orang, terdiri dari 1orang perwira berpangkat letnan dan 5 orang serdadu KNIL, pakaian mereka penuh dengan lumpur. Jam 14.00 kapal berangkat memutar arah melalui sungai Moeroeng tembus ke Moentalat menuju Moewara Teweh. Setibanya di Muara Teweh, rombongan dibagi tiga.

Kapal besar menuju Sungai Boesang, dua kapal kecil ada menuju Sungai Kiawang, Long Merah dan ada yang menuju Kota Maniak, Gunung Batu Rajah. Tidak ada catatan resmi ke mana arah Gubernur Bauke Jan Haga pergi, hanya dari catatan sejarah disebutkan berangkat menuju Puruk Cahu. Pelarian Gubernur Dr Bauke Jan Haga bersama rombongan ke pedalaman Kalimantan, menimbulkan berbagai macam spekulasi.

Menurut catatan, selama di pedalaman, Bauke Jan Haga sering melakukan pertemuan dengan beberapa orang pribumi yang datang dari Banjarmasin melalui Kelua, Buntok, Muara Teweh. Catatan tersebut tidak menyebutkan apa maksud dan tujuan dari pertemuan. Pada sumber lain dituliskan bahwa pada 8 Februari 1942, terbetik kabar Jepang sudah memasuki wilayah utara Kalimantan bagian selatan melalui Desa Bongkang. Gubernur Haga pun terpaksa meninggalkan Banjarmasin yang sebelumnya dibumihanguskan.

Haga mengungsi ke pedalaman Sungai Barito (sebagai rencana merebut kembali Banjarmasin dengan perang gerilya) melalui Kuala Kapuas menuju Puruk Cahu diiringi staf, rombongan tentara, pegawai sipil, dan para wanita kulit putih yang tertinggal dalam evakuasi ke Pulau Jawa sebelumnya.

Hal ini juga dipaparkan dalam sumber tertulis yakni H.W. van den Doel, dalam Het Rijkvan Insulinde: opkomst en ondergang van eenNederlandsekolonie, Prometheus, 1996; Selanjutnya pada tulisan Nederlands-Indie Contra Japan, volume 5, Dutch East Indies, KoninklijkNederlandschIndisch Leger, GeneraleStaf, KrijgsgeschiedkundigeSectie, 1957.

Masuknya tentara Jepang dari Muara Uya ke Amuntai, membuat AVC (Algemene Vernielings Corps) mengambil lang kah-langkah yang bertentangan dengan kebijakan Van der Meulen. Pada 8 Februari 1942, hari Minggu, malam hari AVC melakukan  pembumihangusan di tempat-tempat vital agar tidak bisa dipergunakan oleh pihak musuh, Kota Banjarmasin sangat mencekam. Rakyat menjadi panik, Pasar Sudimampir, dan Pasar Lima dirusak dan dibakar.

Fort Tatas yang dipergunakan untuk menyimpan karet dan beras untuk tentara, ikut dibakar. Api berkobar menerangi Sungai Martapura. Pelabuhan, gedung-gedung, dan pusat listrik juga dirusak. Percetakan Suara Kalimantan dan Bumi Putera juga habis dilalap api.

Penyimpanan bahan-bakar di Benua Anyar dan Bagau dimusnahkan. Semua kendaraan militer dikumpulkan di Sungai Bilu, untuk dihancurkan satu per satu. Jembatan Coen, satu-satunya jembatan untuk menyeberangi Sungai Martapura, diledakkan dengan dinamit, suaranya terdengar di sekitar Kota Banjarmasin.

Pemerintah Belanda tidak bisa berbuat apa-apa, di seluruh kota terjadi penjarahan besar-besaran. Pasar Lama yang tidak ikut terbakar diserbu rakyat. Isi gudang-gudang dan toko-toko milik orang Cina, Belanda, dan pribumi dirampas rakyat. Tanggal 9 Februari 1942, pembakaran dan penjarahan terus berlanjut, hingga tidak ada yang bersisa.

Tentara Jepang memasuki Kota Banjarmasin pada hari Selasa, 10 Februari 1942, tidak ada perlawanan dari serdadu KNIL. Melihat kerusakan pada tempat-tempat vital,  Komandan Rikugun yang dikenal dengan sebutan “Cap Bintang“ menjadi murka. Kesalahan ditimpakan pada Van der Meulen dan beberapa orang lainnya, mereka dibunuh di hadapan warga Banjarmasin. Untuk mengembalikan keamanan di wilayah Banjarmasin, Jepang segera membentuk Panitia Pemerintahan Civil (PPC), diketuai Mr. Rusbandi, sebagai pemerintahan sementara yang anggota-angotanya pemuka-pemuka rakyat dan tokoh tokoh pergerakan.

Menghilangnya Dr. Bauke Jan Haga berserta petinggi Belanda, menyebabkan W. Okomoto, selaku pucuk Pimpinan di Banjarmasin menjadi berang. Intelijen disebar, Dr. Bauke Jan Haga harus ditangkap hidup-hidup. Terciumnya, rencana perlawanan terhadap Jepang di balik pelarian Dr. Jan Bauke Haga, diketahui setelah Sasuga didatangkan langsung dari Jepang. Reputasi Sasuga di bidang Intelijen tidak diragukan lagi.

Pihak Jepang melakukan blokade untuk memutus lintas informasi maupun bantuan makanan dan obat-obatan. Cara ini efektif, pada hari Minggu, 8 Maret 1942, Dr. Bauke Jan Haga mengirim utusan yang dipimpin Kapten Van Epen ke Banjarmasin untuk melakukan perundingan. Kapten Van Epen bersama rombongan ditangkap dan dipaksa menunjukkan persembunyian Gubernur Bauke Jan Haga beserta rombongannya.

Tentara Jepang membawa Kapten Van Epen ke Puruk Cahu. Sasaran pertama adalah melucuti persenjataan dan penyerahan diri pihak Militer Belanda. Sedangkan, sasaran kedua adalah penyerahan diri pihak Pemerintah Sipil Hindia Belanda. Tanggal 17 Maret 1942, Dr. Bauke Jan Haga resmi menyerahkan diri dan ditahan di Benteng Tatas Banjarmasin.

Sasuga terus melakukan perburuan terhadap pengikut Dr. Bauke Jan Haga, pertemuan-pertemuan rahasia yang dilakukan Bauke Jan Haga dengan kelompoknya di daerah pedalaman menjadi perhatian serius dari Sasuga. Penekanan Sasuga bukan kepada rencana perlawanan terhadap Jepang tetapi fokusnya darimana “biaya perang gerilya“ tersebut berasal dan siapa yang membiayainya. Sasuga sangat paham bagaimana cara “membongkar“ kasus ini.

Orang-orang dekat Bauke Jan Haga, istri, ipar, staf, pejabat militer dan pejabat pemerintah diinterogasi, disiksa dengan kejam. Tidak tahan dengan siksaan yang kejam, banyak yang mengaku bahwa atas perintah Gubernur Bauke Jan Haga, terutama informasi harta kekayaan pejabat militer, pejabat pemerintah, saudagar Cina, Arab dan hasil tambang emas di Gunung Mas, Pengaron, Muara teweh, Intan di Cempaka, dikumpulkan dan disimpan di suatu tempat.

Di mana harta tersebut disembunyikan, semuanya tidak ada yang tahu. Seperti dijelaskan sebelumnya, Gubernur Bauke Jan Haga sudah memperhitungkan hal-hal yang terburuk. Semua orang, termasuk istrinya tidak ada yang tahu di mana harta tersebut disembunyikan.

Interogasi dan siksaan yang kejam terhadap Gubernur Bauke Jan Haga dilakukan siang dan malam, hasilnya nihil. Bauke Jan Haga tetap bungkam. Sebelum diadili, Bauke Jan Haga meninggal dunia karena siksaan yang sangat kejam. Sasuga tidak putus asa, penangkapan terhadap komplotan Bauke Jan Haga terus dilakukan. Banyak yang dibunuh.

Dari penelusuran Handoko, berdasarkan catatan Enrico Pareira, salah seorang yang ikut dalam pelarian Bauke Jan Haga ke daerah pedalaman, menuliskan: “voordat Bauke Jan Haga overgegeven, in de avond zag ik hem bellen Leutnant Steine Boom met 5 KNIL- militairen, als ik me goed herinner was het deze mensen die uit Boentoei, Kuala Kapuaswerden gebracht” (sebelum Bauke Jan Haga menyerahkan diri, malam harinya saya melihat dia memanggil leutnant Steine Boom bersama 5 orang tentara KNIL, seingat saya orang-orang inilah yang dibawa dari Boentoei, Kuala Kapuas”).(jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Staf Pengajar Prodi Sejarah FKIP ULM

Sekretaris Pusat Kajian Budaya dan Sejarah Banjar Universitas Lambung Mangkurat

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan

Pencarian populer:Harta karun bernoe kemana semua pergie

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.