Gas 3 Kilogram Subsidi Dicabut, Bukti Kezaliman Penguasa?

Oleh : Miranda Anugrah Usman

0

BEBERAPA hari ini, di tengah ributnya masyarakat Indonesia mengomentari permainan sepak bola dalam laga Piala Dunia 2018 di Rusia, Pemerintah seakan ingin membuat kehebohan baru. Bagaimana tidak, kebijakan yang dilakukan dengan menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) serta meluncurkan produk baru berupa gas elpiji 3 kilogram nonsubsidi sontak saja membuat heboh banyak kalangan.

SALAH satu alasan yang menjadi alibi PT Pertamina meluncurkan gas elpiji 3 kg nonsubsidi ini adalah permintaan pasar, di mana banyak kalangan masyarakat yang tergolong mampu namun dalam kegiatan keseharian hanya membutuhkan gas elpiji 3 kg, tetapi dia tidak berasal dari kalangan yang berhak menerima subsidi pemerintah. Juga banyaknya kalangan pengusaha pabrikan yang memanfaatkan gas elpiji 3 kg subsidi ini dalam kegiatan usahanya.

Sekilas kita seakan dapat melihat dampak positif yang ditawarkan, di mana negara akan menghemat anggaran APBN untuk subsidi dan program subsidi pemerintah benar-benar akan terlaksana sesuai sasaran yaitu gas elpiji yang di subsidi hanya untuk kalangan masyarakat miskin/tidak mampu.

Namun faktanya, golongan masyarakat tidak mampu dalam pandangan pemerintah sangat jauh dari kata wajar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 lalu menyebutkan bahwa batas garis kemiskinan penduduk Indonesia adalah pengeluaran sebesar rata-rata Rp 387.160/kapita per bulannya. Dengan kata lain, masyarakat yang pengeluarannya diatas dari angka tersebut untuk sebulan, sudah tidak dikatakan sebagai masyarakat miskin. Dan dengan dasar angka itulah pemerintah menghitung jumlah penduduk dan Rumah Tangga miskin di Indonesia.

Padahal, jika kita melihat keadaan di lapangan, jangankan untuk memenuhi kebutuhan pelengkap apalagi kebutuhan mewah, untuk memenuhi kebutuhan dasar (primer) dengan uang 300ribu-an/bulan tidaklah cukup.

Di tengah keadaan ekonomi yang bergejolak, tingginya harga bahan pokok di masyarakat belum lagi ditambah kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti bahan bakar, dengan tegas saya katakan angka tersebut sangat jauh dari kata wajar. Sehingga sangat jelas bahwa faktanya jumlah penduduk dan rumah tangga miskin di Indonesia jauh lebih banyak dari yang di sebutkan pemerintah melalui data BPS tersebut.

Ironisnya, pemerintah seakan menutup mata akan hal ini. Kebijakan politik yang diambil seolah bukan di dasari atas kesejahteraan rakyat. Melainkan atas kemakmuran golongan tertentu. kebijakan politik yang terjadi mengharuskan terciptanya kegiatan “jual-beli” antara pemeritah dengan masyarakat. Salah satunya adalah dalam sektor bahan bakar dan migas.

Sungguh lucu, sebuah negara yang dikelilingi oleh kekayaan alam seperti minyak,gas batubara dan lain-lain secara bersamaan juga merupakan negara yang rakyatnya selalu mengalami kelangkaan serta mahalnya harga gas/bahan bakar. Pemerintah seharusnya menjadi lembaga yang menyediakan bukan malah menjadi pedagang yang menjual hasil bumi  kepada rakyatnya sendiri.

Tentu saja, akan sangat jauh berbeda jika konsep tata negara menggunakan konsep Islam. Dimana konteks perolehan kepemilikan diatur dengan mekanisme yang sangat rinci dan solutif. Sistem ekonomi Islam melarang sumber daya alam yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu/swasta. Sehingga, negaralah yang akan bertanggungjawab dalam mengelola sumber daya alam ini sehingga dapat betul-betul disalurkan secara cuma-cuma  kepada masyarakat baik dari kalangan mampu ataupun tidak mampu. Karena negara yang berparadigma Islam tidak akan membiarkan ada pihak manapun baik personal maupun negara adidaya yang berniat menarik keuntungan dan menzalimi masyarakatnya sendiri.

Islam memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga masyarakat,berupa sandang,pangan dan papan. Demikian juga Islam telah menjamin terselenggaranya penanganan masalah pendidikan,kesehatan dan keamanan. Dijadikannya semua itu sebagai kewajiban negara dan bagian dari tugasnya sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Negaralah yang melaksanakan dan menerapkannya berdasarkan syari’at Islam.

Sebab Islam memandang penguasa dalam hal ini pemerintah sebagai imam yang memiliki tanggungjawab besar untuk mengurusi urusan rakyat. Rasulullah SAW bersabda : Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya; ia akan dimintai pertanggungjawab terhadap rakyatnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Maka jelaslah aturan Islam yang bersumber dari aqidah Islam mewajibkan setiap hamba Allah tak terkecuali penguasa untuk selalau terikat dengan hukum syara’ termasuk ketika pemimpin mengurusi urusan rakyatnya. Wallahu’alam bi ash swahab.(jejakrekam)  

Penulis adalah Mahasiswi Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.