Transportasi Online, Apakah Perlu Dilarang?

Oleh: Ferry Irawan Kartasasmita

0

KEBERADAAN transportasi berbasis online masih mengalami penolakan keras di berbagai daerah di Indonesia, tak terkecuali di daerah kita.  Pada awal Januari lalu terjadi kejadian yang  terekam dalam video dan viral di media sosial, memperlihatkan sekelompok orang sedang mengejar seorang yang diduga pengemudi taksi online di area sekitar Bandara Syamsuddin Noor.

WALAUPUN sebelumnya telah terjadi kesepakatan bahwa taksi online boleh mengantarkan penumpang ke bandara, tetapi tak boleh mengangkut penumpang dari bandara. Tetapi tetap saja para pengemudi taksi konvensional masih waspada terhadap oknum pengemudi taksi online yang nakal dan nekat untuk menarik penumpang.Ditambah lagi, penghasilan mereka yang terus menurun semenjak hadirnya angkutan online ini.

Hal inilah yang mendasari kejadian beberapa hari yang lalu, sikap curiga para sopir taksi ini membuat mereka terkadang tidak rasional dalam bertindak. Melihat gelagat pengemudi mobil yang mencurigakan, mereka langsung mengambil tindakan yang cenderung represif. Pada akhirnya, seorang yang mereka curigai, mereka kejar seperti ingin menghakimi pelaku kriminal, padahal ia hanya ingin menjemput keluarganya. Akibatnya banyak komentar di media sosial yang takut dikira sopir taksi online ketika menjemput kerabat atau keluarga di bandara.

Rival Tak Terlihat.

Angkutan taksi biasanya enggan dianggap taksi ‘konvensional’ dan lebih memilih dengan sebutan taksi ‘resmi’. Tapi benarkah armada taksi resmi ini seakan mendapatkan musuh yang mesti ditolak kehadirannya ketika angkutan online telah menjamur di daerah ini.

Para perusahaan taksi kini seakan memiliki musuh yang besar, bukan berasal dari sesama perusahaan taksi tetapi dari pembuat aplikasi yang mempertemukan antara pemilik mobil dan konsumen yang membutuhkan jasa transportasi.

Saat ini, saya tidak ingin membahas mengenai keunggulan taksi online dengan taksi konvensional, kita semua tentunya sudah merasakan akan kemudahan dan ketejangkauan harga dari angkutan berbasis online ini.

Perusahaan transportasi online memang melejit begitu pesat beberapa tahun ini. Tercatat menurut Rhenald Kasali pada Juni 2016, Tech Crunch melaporkan kajiannya tentang valuasi perusahaan-perusahaan transportasi menyebutkan bahwa nilai valuasi untuk Go-Jek sebesar 1,3 miliar dolar (sekitar Rp 17 triliun) dan Grab sebesar 1,6 miliar dolar (Rp 20 triliun). Angka ini ternyata telah melampaui Garuda Indonesia yang sudah ada sejak 1947 dan mengoperasikan 197 pesawat dan hanya dihargai 12,3 triliun rupiah.

Sedangkan raksasa taksi di Indonesia, yaitu Blue Bird yang memiliki sekitar 27 ribu taksi reguler, ribuan taksi eksekutif hingga limousin hanya dinilai 9,8 triliun rupiah. Padahal kita ketahui bersama Go-Jek sama sekali tidak memiliki armada, perusahaan ini hanya bermitra dengan ratusan ribu pengemudi pemilik kendaraan pribadi di kota-kota besar.

Fenomena inilah yang saat ini dikenal dengan disruption. Hal ini bukanlah fenomena baru, kita sudah jauh mengalami berbagai fenomena perubahan ini. Situasi seperti ini seperti ketika produsen elektronik mematikan bisnis pabrik-pabrik es batu konvensional dengan lemari esnya. Es batu seukuran balok kayu saat itu tersingkir ketika setiap rumah berhasil memproduksi es batu sendiri.

Atau ketika moda transportasi sungai di Kalimantna mulai ditinggalkan ketika para penjajah membawa dan mengenalkan moda transportasi darat seperti sepeda motor dan oto mobil. Pada saat itu pabrik es konvensional tidak mengalami kebangkrutan akibat dari hadirnya pabrik es modern, tetapi dari hadirnya lemari es. Sesuatu hal yang sangat jauh berbeda dari bentuk dan model bisnis. Jukung tidak kalah bersaing dengan kapal yang lebih besar, canggih dan mudah bermanuver di sungai, tetapi oleh sepeda atau sepeda motor yang melewati jalanan darat.

Nokia yang merupakan raksasa handphone pada masa lalu merasa kebingungan kenapa perusahaan mereka mengalami kebangkrutan. “We Didn’t do anything wrong, but then we lost.” Ucap CEO Nokia. Dengan sistem symbian-nya Nokia tidak melakukan satu kesalahan apapun, tetapi kemudian perusahaannnya jatuh, produknya tak diminati lagi. Bukan karena kalah bersaing dengan perusahanan Symbian yang lain, tetapi oleh hadirnya sistem android dan ios.

Perusahaan besar tersebut tersingkir bukan karena kompetitor yang memiliki model bisnis yang sama, tetapi mereka kalah dengan sesuatu yang baru dan berbeda, yang tak mereka perhitungkan sebelumnya. Mereka seakan berhadapan dengan rival yang tak terlihat sebelumnya.

Terlambat Antisipasi

Perubahan akan terus terjadi seiring perkembangan zaman, seiring majunya teknologi informasi. Perubahan-perubahan tersebut menuntut para pemain lama untuk terus berinovasi dan tidak lengah terhadap angin yang melenakan di puncak kejayaan.

Setidaknya, dalam kasus transportasi online ini kita tak bisa menyalahkan akan hadirnya para perusahaan aplikasi tersebut. Tak mungkin mereka bertumbuh begitu cepat tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat sebagai pengguna jasa. Tak mungkin pula kiranya kita menolak kehadiran transportasi online saat ini, ketika masyarakat mendapatkan manfaat dari layanan transportasi, jasa pemesanan makanan, pengiriman barang yang mudah dan terjangkau.

Sekali lagi, menurut Rhenald Kasali, seorang pakar ekonomi dari Universitas Indonesia, terdapat berbagai alasan mengapa industri ini berkembang begitu cepat, mematikan dan menimbulkan kehebohan.

Yaitu: para regulator tidak mampu menyediakan aturan baru yang sepesifik untuk memisahkan kedua jenis industri ini. Harus diakui bisnis transportasi online memiliki platform tersendiri.  Minimnya pemahaman tentang disruption di kalangan pemain ‘lama’ menyebabkan para pelaku usaha menuntut perlakuan yang sama.

Aturan perundangan yang berlaku membuat usaha taksi konvensional harus berjalan dalam suasana yang kaku dan berbiaya tinggi. Mereka diwajibkan memiliki pool, mengadakan pelatihan, kendaraannya harus di-KIR, memakai plat nomor berwarna kuning, harus memiliki bengkel, pengemudi memiliki SIM A umum, daerah operasi yang dibatasi, ada tarif ambang batas bawah dan ambang atas, serta jika perusahaan ingin melakukan ekspansi harus mengajukan ijin kembali. Sebuah aturan yang rumit dan cukup berbelit,dan aturan inilah yang mesti pula dirasakan oleh transportasi online agar terjadi kesetaraan.

Ketiadaan atau belum adanya aturan baru dari regulator yang benar-benar final mengayomi kedua kepentingan industri transportasi inilah yang membuat pemain ‘lama’ dan pemain ‘baru’ berjalan menurut cara mereka sendiri-sendiri.

Kondisi di lapangan menjadi sukar diprediksi, masing-masing pelaku usaha memiliki prespektifnya sendiri melihat perubahan ini, sehingga gesekan antar pengemudi konvensional dan online akan mudah tercipta.

Tentunya, masyarakat tak dapat berbuat banyak, kita semua sama-sama ingin mencari rejeki yang halal. Tak ada yang salah dengan transportasi online, begitu pun sebaliknya. Saat ini, kita menunggu regulator menciptakan aturan yang benar-benar win-win solution antar kedua belah pihak, sehingga tercipta keharmonisan dalam menjalankan usaha.(jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Lingkungan.

Tinggal di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.