Antara Demokrasi Prosedural dan Demokrasi Substantive

Catatan Kritis Pilkada Serentak 2018 dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

0

DETIK-detik perhelatan akbar pesta demokrasi sudah di depan mata. Besok pagi, Rabu 27 Juni 2018 adalah jilid ketiga Pilkada Serentak yang diikuti oleh 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten dengan total anggaran: KPU Rp 11,9 triliun, Bawaslu Rp 2,9 triliun, dan untuk pengamanan TNI-Polri Rp 339,9 miliar. Ini suatu gambaran bahwa betapa besarnya ongkos demokrasi di negeri ini untuk membaptis calon penguasa daerah melalui Pilkada Serentak jilid ke-3.

SEBAGAI konsekuensi negara memilih jalan demkorasi, suka atau tidak suka bahwa ini realitas demokrasi di tengah transisi politik pasca berakhirnya pemerintahan Orde Baru telah melahirkan liberalisasi demokrasi dan pragmatisme politik. Liberalisasi demokrasi dan pragmatisme politik telah berdampak bagi perjalanan demokrasi di negeri ini. Beberapa catatan penting dari dampak tersebut, antara lain: semakin menguat politik oligarki, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), korupsi politik (political corruption).

Hal tersebut sebagai konsekuensi mahalnya ongkos demokrasi karena sistem domokrasi telah terperangkap dalam demokrasi kapitalitik (democratic capitalism). Demokrasi kapitalistik tidak terhindari karena para elit politik dalam perebutan kekuasaan tidak lagi mengedepankan political ethics atau moral politics sebagai spirit untuk mencita-citakan demokrasi substantive.

Demokrasi substantive seperti yang diteorisasikan Prof Willian Case adalah bekerjanya instumen demokrasi dan partai politik yang memberikan pencerahan pagi warga negara dan warga akan faham mengenai hak dan kewajiban secara rasional dan kebebasan dalam menentukan pilihan politik.

Celakanya, perjalanan demokrasi dari Pilkada ke Pilkada yang terjadi justru adalah proses pembodohan politik yang tidak memiliki nilai pencerahan secara ideologi politik dan rakyat pun terjerat dalam kubangan permainan politik dan rakyat tidak faham secara rasional bahwa untuk apa melakukan “sedekah suara” dalam Pilkada. Di tengah pragmented people (keliaran politik), intervensi kapital menjadi arena kesempatan bagi praktik politik  dan modus-modus lainnya yang dimainkan sang kandidat beserta tim sukses atau  komparador politik

Pilkada dan Pasar Gelap Demokrasi

Pasar gelap demokrasi terjadi dalam Pilkada karena adanya relasi antara partai politik dan kandidat serta pemiliki modal seperti dijelaskan oleh Silke Pfieffer (2004) dalam bukunya Vote Buying and Its Implication for Democracy: Evidence from Latin America. Selanjutnya Silke menjelaskan bahwa intervensi pemilik modal dalam perebutan kekuasaan politik yang dimainkan antara pemilk modal, elit partai dan calon penguasa dalam kontestasi elektoral.

Politik uang (money politics) juga akan terjadi pada relasi antara partai politik, calon penguasa dan pemilih (voters). Dalam kasus ini beberapa tulisan yang cukup menarik mengenai praktik politik uang dalam perebutan kekuasaan politik, Frederic Schaffer (2007) dalam Election for Sale: The Causes and Consequences of Vote Buying. Edward Aspinall (2007), Vote Buying in Indonesia: Candidate Strategy, Market Logic and Effectiveness.

Hal tersebut menggambarkan bahwa perilaku politik masih menempatkan kuasa uang dari pada rasionalitas politik. Suatu perilaku politik sebagai upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau jual beli suara pada proses politik dengan melakukan pembagian uang, baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters).

Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang (public goods) kepada seseorang karena mimiliki kepantingan politik yang tersembunyi dibalik pemberian itu. Praktik seperti ini sesungguhnya menggambarkan pasar gelap demokrasi (black market of demokrasi) atau kejahatan demokrasi untuk sekedar membabptis sang calon penguasa daerah.

Fenomena seperti ini dari Pilkada ke Pilkada sebagai ritualisme politik dengan hiruk-pikuk yang tentu saja mengundang panas-dingin sang kandidat yang telah berbelanja dalam pasar politik dengan biaya demokrasi yang dangat mahal. Seiring hal itu, masyarakat pun sudah lelah secara politik mendengarkan “jualan kecap” para kandidat yang telah mengkapitalisasi kata-kata manis dan publik pun telah faham apa makna semua itu.

Pertarungan perebutan kekuasaan politik dalam Pilkada Serentak 2018 ini dengan cara permain politik uang, hanya calon yang memiliki dana besar yang dapat melakukan kampanye atau mendatangkan sejumlah artis ibukota.

Inilah sisi gelap demokrasi pasca pemerintahan orde Baru sebagai masalah yang membahayakan bagi moralitas bangsa dan bangsa depan demokrasi karena dangat rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan setelah berkuasa atau berhasil terpilih dalam Pilkada.

Lalu, demokrasi model apa yang akan dihasilkan dalam Pilkada Serentak Jilid Ketiga ini dengan biaya demokrasi yang sangat mahal. Liberalisasi demokrasi yang diiringi pragmatisme politik tidak sedikit penguasa daerah sebagai hasil Pilkada yang terjerat kasus korupasi. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa praktik abuse of power, oligarki kekuasaan, dan patronase politik sebagai imbas mahalnya ongkos demokrasi di negeri ini. Praktik-praktik sontoloyoisme demokrasi akan berkembang dan menjadi struktur kesempatan bagi pemilik modal menguasai panggung demokrasi.

Mencermati praktik demokrasi saat ini sekedar memberikan ruang bagi para oligark-predator politik melakukan konsolidasi kekuatan politik dan ekonomi dan belum tentu merefleksikan kehendak rakyat yang telah “bersedekah suara” dalam Pilkada Serentak 2018 ini. Arena Pilkada Serentak bisa juga menjadi arena kalkulasi kekuatan politik 2019 datang untuk bagi arena pertarungan perebutan kekuasaan politik yang sesungguhnya.

Hiruk-pikuk Pilkada Serentak akan menjadi laboratorium pembacaan politik bagi para elit politik dan para penguasa partai politik untuk kepentingan kepemimpinan nasional 2019 datang.(jejakrekam)

Penulis adalah Pendiri dan Peneliti Institute of Politics and Public Policy Studies

Staf Pengajar S2 Magister Administrasi Publik Uniska Banjarmasin

 

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2018/06/26/antara-demokrasi-prosedural-dan-demokrasi-substantive/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.