Pancasila, Remittance dan Mudik Lebaran

Oleh : Taufik Arbain

0

MUDIK lebaran tahun ini berbeda dengan mudik lebaran tahun-tahun sebelumnya. Isu-isu mudik sebelumnya masih dalam tataran soal infrastruktur pendukung mudik, layanan dan hadirnya para volounter mudik, bingkisan dan zakat mudik untuk kerabat di kampung hingga sepanjang jalan spanduk para kandidat elit politik yang menyapa setiap perempatan dan pertigaan jalan. Inilah fenomena sosial mudik lebaran ala Indonesia.

MUDIK selama ini dipahami sekadar dalam konstruksi bergeraknya sekelompok orang yang meninggalkan daerah rantau menuju daerah asal  dalam momentum  lebaran Idul Fitri (Arbain, 2004). Mudik hadir sebenarnya implikasi dari ketidakseimbangan lokasi geografis faktor produksi yang mempengaruhi volume migrasi (Myer, 1977). Kata mudik hari ini tidak seperti pemaknaan masa lalu yang menempatkan syarat geografis adanya hulu dan hilir dan bebas momentum. Tetapi mudik hari ini menempatkan mudik dengan momentum dan ikutan lainnya.

Tanpa disadari mudik memiliki “prestise” tersendiri pada masyarakat berkembang seperti Indonesia. Mudik adalah  panggung yang memberikan pesan, bahwa sang pemudik masih memiliki sanak kerabat  masih banyak di kampung, selain pesan-pesan lain sebagaimana motif mainstream bermudik.

Para pemudik ini adalah kelompok migran yang keras kepala (radikal) untuk membangun jiwa solidaritas sosial dan kebersamaan kebahagiaan dengan sanak kerabat di kampung meski menempuh jarak jauh dan letih diperjalanan. Mereka mudik memiliki motif selain soal solidaritas, juga membangun image baru perubahan yang semula pergi dengan bermodal “sapuluh jari”, datang dengan perubahan kebendaan, perubahan status sosial, dan perubahan perilaku yang cenderung urbanize.

Dalam teori-teori migrasi (Conel, 1980) cenderung membawa remittance, tidak sekadar kebendaan, tetapi berita dan informasi yang dikirim dan dibawa ke kampung asal. Kemampuan mengkomunikasikan remitan ini bagian dari bangunan image baru sang perantau untuk membuat pembeda simbol kesuksesan di kota atau daerah rantau.

Tidaklah mengherankan sekelompok pemudik kelas tertentu sanggup beranjak dari kendaraan yang satu ke kendaraan yang lain. Atau bergerak dengan kendaraan sendiri dengan segala aksesoris penciri sebagai pemudik. Jiwa-jiwa pemudik ini memiliki keteguhan dan kekuatan hati tersendiri dalam  mengorbankan waktu, keletihan dan dana untuk menggapai segala motif dan tujuan yang telah dikonstruksi sebelumnya. Bertemu keluarga dan berbagi dengan orang sekampung adalah kemerdekaan monumental yang berimplikasi pada terbangunnya kebangkitan semangat baru bak pejuang.

Dalam perspektif  Pancasila harus diakui pemudik sebagai kelompok yang bergerak mencapai pemerataan pembangunan dan keadilan sosial baik yang dimobilisasi negara (transmigrasi) ataupun kesadaran sendiri karena ketidakcukupan hidup di daerah asal. Pemudik sebenarnya duta atau agency yang membawa bekal-bekal keadilan sosial dan pemangunan sosial melintasi batas geografis dan sosiologis.

Tanpa tersadarkan pemudik membawa serta nilai-nilai Pancasila yang tidak dibebani kepentingan elektroal Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019. Remitan yang mereka bawa memberikan kabar kepada sanak saudara ada ruang-ruang kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia di kawasan yang lain, dan dapat digapai dengan modal persatuan Indonesia, persaudaraan dan gotong royong.

Tujuan mudik adalah momentum lebaran bagian dari kebersyukuran atas nikmat rezeki dan perwujudan religius Ketuhanan Yang Maha Esa. Mudik sebagai realisasi balik kampung untuk menegaskan identitas suku bangsa yang ingin merasakan nostalgia “rasa kampung” dalam balutan kultural entitas etnis untuk menegaskan Indonesia yang berbhineka itu masih ada. Terlalu sering makan ketupat tumis, ingin pula menikmati ketupat Kandangan buatan nenek. Terlalu lama mencicipi Soto Lamongan ingin pula menyantap lahap Soto Banjar. Inilah paham minimalis momentum mudik lebaran  bagi para pemudik.

Ferdinand Tonnies melihat hubungan antar warga demikian sangat menentukan kehidupan sosialnya dalam hubungan sosial gamienschaft dan gasellschaft.  Kekuatan hubungan sosial ini menjadikan jejaring kesolidan entitas di Indonesia tetap permanen terbangun yang mengajarkan kebhinekaan.   Termasuk terbangunnya solidaritas yang dirancang berbulan-bulan untuk mengambil keputusan bermudik. Bukanlah perkara gampang menyiapkan rasa solidaritas sosial bagi pemudik dengan segala keterbatasan.

Para pemudik ini tanpa disadari  pembawa prinsip-prinsip Pancasila dengan semangat radikal yang didasarkan motif membangun solidaritas sosial, berbagi kesuksesan, perwujudan rasa berimanan dan mendorong perubahan sosial kepada sanak saudara dalam mengejar kesejahteraan. Memungkinkan bagi sebagian pihak mudik dianggap pemborosan dana luar biasa  dan membuang waktu  serta produktifitas yang mereka miliki.

Cara mereka mereka mungkin mirip para ekstremis oleh penjajah masa lalu yang keras hati melepaskan penjajahan. Namun inilah cara pemudik sebagai liburan yang berbalut dengan nuansa religius dan solidaritas momentum kemerdekaan lebaran.

Remitan lain, bahwa pemudik adalah penyumbang pemasukan usaha-usaha negara dan swasta hingga ekonomi rumah tangga keluarga migran. Dalam persepktif kebijakan, pemudik sebenarnya aktor-aktor implementatif kebijakan sosial.  Para ahli dari Inggris berpendapat, permasalahan sosial akan bisa dipecahkan dengan kebijakan sosial sebagai model pembangunan yang cocok dengan negara-negara berkembang dengan administrasi publik prismatik. Karena syarat kebijakan sosial adanya jaringan komunikasi untuk penyebaran inovasi, informasi, rasa senasib sepenanggungan (Roges, 1986;Henry,1992).

Pembangunan sosial ini berkaitan memgubah masyarakat menjadi masyarakat baru atau peradaban baru yang belum pernah mereka tinggali dan rasakan. Remitan para pemudik bagian dari testimoni menuju perubahan sosial, terhadap isu kemiskian dan isu kualitas masyarakat dari kurang berpendidikan menjadi lebih terdidik dan berpengetahuan, semangat malas menuju semangat kerja keras dan meminimalkan individualis menuju gotong royong. Teori-teori migrasi pasca remitan memungkinkan para pemudik mengajak sanak saudara menuju ke daerah tujuan dari hubungan sosial lewat momentum mudik lebaran.

Pada aras lain, kesiapan dan dukungan infrastruktur dari satu kawasan ke kawasan lain memberikan pesan bahwa Negara menghadirkan diri melayani rakyatnya memastikan para pemudik sedari berangkat sampai ke rumah selamat pun bagian dari pembuktian pengejahwantahan nilai-nilai Pancasila, termasuk jumlah hari libur yang relatif lama.

Kita rindu spanduk yang berjejer dilintasi pemudik bukan spanduk berkaitan dengan beban elektoral Pemilu Legislatif  dan Pemilu Presiden 2019, tetapi senyatanya pemudik melihat pesan utama ke-Indonesiaan dan Pancasila yang tidak membonceng kepentingan dari  kelompok dan aktor manapun. Sebab pemudik melakukan mudik dengan segala semangat, kekuatan hati yang keras (radikal) dalam tujuan dan menyampaikan pesan perubahan sosial adalah bagian dengan pengejawantahkan Pancasila yang gratis kepada sesame  menurut versi mereka. Selamat bermudik dengan Pancasila!!!(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Pusat Kajian Kebijakan Publik Universitas Lambung Mangkurat).

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.