Ini Bukti Warisan Kesultanan Banjar Itu Kaya Raya, Sayang Rakyat (Belum) Sejahtera?

0

MENELUSURI aset kekayaan yang melimpah ruah di ranah Borneo, seperti tak berujung. Tak mengherankan, jika para sejarawan dan arkeolog, termasuk para pemburu harta karun tentunya, terus mencari posisi koordinatnya.

“IBARAT pepatah itu, ayam mati di lumbung padi. Inilah kondisi sebenarnya yang terjadi di Kalimantan, terkhusus Kalimantan Selatan,” ucap sejarawan asal FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Yusliani Noor dalam makalah sebuah diskusi sejarah, beberapa waktu lalu.

Pernyataan sang dosen ilmu sejarah terbilang wajar. Yang tersisa dari harta karun itu hanya dongeng, mitos, hingga data yang tersaji dalam buku-buku lawas. Seperti yang dibeberkan Kiai Amir Hassan Bondan. Sejarawan Kalimantan ini menghimpun hasil risetnya dari buku berjudul Suluh Sedjarah Kalimantan, terbitan Fadjar Banjarmasin tahun 1953.

Amir Hassan Bondan yang juga seorang wartawan gaek di era kemerdekaan ini, menyebutkan dalam Istana Kesultanan Banjar sedikitnya akan dijumpai kursi emas, payung tinggi bersalut emas, payung ubur-ubur, keris Naga Selira bersarung emas, keris Baru Lembah Panduk yang bertabur intan. Kemudian, tombak si Maruta, tombak Kala Marcu, tombak si Sasa, tombak Kalontaka, dan tombak si Macan.

Tak hanya itu, Amir Hassan Bondan juga menginventarisir pusaka lainnya seperti teming emas, teming perak, gong Menah, gamelan si Rancakan, batung Pakasam Babi, meriam si Gantar Bumi, intan 120 karat dan 70 karat, bokor emas, hingga paludahan emas.

Bahkan, Amir Hassan Bondan lebih merinci bagaimana sumber kekayaan para sultan dan bangsawan Kesultanan Banjar itu berasal. Menurut Amir Hassan, mengacu dalam surat beslit (keputusan) Sultan Adam tertanggal 20 Rabiul Awal 1263 Hijriyah, atau 1843 Masehi, diputuskan pembagian hasil pungutan (apanage) bagi keluarga raja dan bangsawan di Kesultanan Banjar, terutama areal tambang intan yang tersebar di seluruh Kalimantan Selatan.

Seperti Ratu Syarif Abdullah Nata Kesuma (Ratu Kramat) yang mendapat jatah intan pendulangan rakyat dari kawasan Labuan Amas, hingga Muara Babirik. Kemudian, Pangeran Muhammad putera Pangeran Nuh boleh memungut apanage dari pendulangan intan di kawasan Matraman, hingga Pulau Dupa (Riam Kanan).

Sultan Adam juga tak melupakan keluarganya, Pangeran Prabu Anum yang diasingkan ke Pulau Jawa juga mendapatkan jatahnya, dan diserahkan kepada tiga puteranya, dari lobang-lobang intan yang ada di Tungkuran Nangka, Tamirung dan Cempaka Teluk Gunung. Sedangkan, pendulangan intan di Padang Mintawa Bincau menjadi jatah Pangeran Adipati Adipraja, saudara Sultan Tamjidillah.

Sementara, Sultan Tamjidillah menjadi penguasa pertambangan intan di kawasan Gunung Luwak (Riam Kiwa) hingga di Sungai Raya. Masih dalam buku Suluh Sedjarah Kalimantan, Amir Hassan juga mencatat Pangeran Hidayatullah turut menikmati apanage dari lobang-lobang intan yang ada di zona Rancah Sirang, Padang Sambungan, Sungai Tiung dekat Gunung Lawak, serta kawasan yang cukup luas.

Sedangkan, pungutan hasil perkebunan diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi. Dalam beleid Sultan Adam itu setidaknya 41 keluarga raja dan bangsawan Kesultanan Banjar yang berhak mendapat jatah pungutan baik dari tambang intan, emas hingga perkebunan yang berskala besar.

Melimpahnya kekayaan para pembesar negeri Banjar ini telah membuat decak kagum Kapten Daniel Beeckman. Perwira Kerajaan Inggris yang menjalankan misi perdagangan East India Company (EIC) dengan kapal layarnya, Eagle Galley seperti dikutip Victor T King dalam bukunya, Kalimantan Tempo Doeloe.

Hampir setahun mengarungi samudera dari London, Inggris pada 12 Oktober 1713, baru bisa berlabuh ke Banjarmasin pada 29 Juni 1714, Kapten Daniel Beekcman menceritakan sebelum membayar harga lada yang dibeli dari Pangeran Banjar yang berkedudukan di kawasan Pulau Tatas (kini kawasan Masjid Raya Sabillal Muhtadin).

Saat menyerahkan pembayaran dengan mata uang dolar Spanyol, atas 5.000 pikul lada. Sebelumnya, Beekcman menghadiahkan kepada sang pangeran jam tangan mewah dari perak. Namun, Beeckman justru tak habis pikir ketika memasuki kediaman sang pangeran, saat dijamu makan malam.

“Pangeran ini mengenakan pakaian khas daerah semacam mantel pas badan, tanpa kemeja. Di atasnya menggunakan cawat (kain yang dipasang di pinggang), dan menggantung hingga ke lututnya,” tulis Beeckman, dalam catatan hariannya. Walau, tangan, betis, dan kaki sang pangeran ini telanjang,

Beeckman justru melihat di sebelah kiri dalam ikat pinggang terselip keris berhiaskan berlian. Tak sampai di situ, Beeckman kembali takjub, ketika melihat semua perabot rumah sang pangeran itu terbuat dari emas. Wadah untuk menginang (panginangan, red) saja ditempa dari emas terbaik, bertabur batu mulia besar. “Sebagiannya dari berlian, selebihnya saya tak tahu,” ucap Beeckman.

Bagi Syarif Bistami, sejarawan asal Kuin Utara yang juga keturunan Khatib Dayan ini, kekayaan Kesultanan Banjar ini tak bisa ditera dengan kata-kata. Menurutnya, saat Sultan Hidayatullah atau Panembahan Susuhunan Batu Hirang itu membayar upeti kepada Sultan Agung di Kerajaan Mataram (penerus Kerajaan Demak Bintoro), hanya dengan sebiji intan sebesar telur itik.

“Dengan sebiji intan itu, berhentilah Kesultanan Banjar membayar upeti tiap tahun kepada penguasa Jawa,”  ucap Syarif Bistami, saat berdialog dengan penulis, beberapa waktu lalu.

Percaya atau tidak, menurut Syarif Bistami, seluruh harta karun Kesultanan Banjar memang sebagian masih dipegang keturunannya, namun sebagian besar lagi dibawa para penguasa Belanda. “Selebihnya lagi, ya  masuk ke alam gaib. Untuk membukanya, tentu perlu orang-orang yang mendapat kepercayaan dari mereka. Ya, bukan orang sembarangan,” tutur Syarif Bistami.

Sedangkan, bagi sejarawahYusliani Noor, seperti harta karun Borneo, khususnya dari tanah Banjar seperti batubara, ternyata tak bisa dinikmati secara adil bagi rakyat Kalsel. “Misteriusnya harta karun Banjar itu sama seperti Intan Trisakti sebesar 100 karat lebih yang ditemukan pada 1965 di Cempaka, Kabupaten Banjar, hingga kini tak jelas rimbanya.

Sekarang, di mana intan tersebut? Beda dengan Intan Kohi Noor yang ditemukan di India, begitupula Intan Cullinan dari Inggris yang masih bisa diketahui pemiliknya,” tutur Yusliani Noor.  Ia melihat begitu banyak harta karun Borneo yang terus digali dari perut buminya, tapi daerah penghasil tak mendapatkan keadilan yang setara. Sekarang, justru kerusakan alam yang menanti dan dirasakan hingga sekarang.(jejakrekam)

Pencarian populer:harta karun peninggalan kerajaan banjar
Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.