Tahun Politik, Politisasi Agama Diyakini Makin Meningkat Tajam

0

TAHUN 2018 dan 2019 merupakan tahun politik. Hal ini menjadi tantangan yang dihadapi elemen bangsa yang diprediksi tingginya politisasi agama. Hal ini dikupas Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) dalam buka puasa antar iman yang mengangkat isu politisasi agama di Aula Sasana Sehati, Gereja Katedral Banjarmasin, Senin (4/6/2018).

MAHASISWA S3 Australian National University, Muhajir bersama Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Wilayah Kalsel, Pendeta Kornelius Sukaryanto yang menjadi narasumber pun mengakui kondisi perpolitikan Indonesia yang akan diwarnai politisasi agama.

“Sebagai umat beragama tentu memiliki beberapa tantangan seperti adanya sekelompok orang punya nafsu politik yang luar biasa. Mereka mencari cara apa saja termasuk agama untuk memenangkan pertarungan politik,” ujar Muhajir.

Tantangan kedua, sebut dia, adalah orang yang pada dasarnya religius tetapi dia punya pikiran intoleran, hingga percaya kepada ajaran agama yang menyudutkan kelompok lain.  “Dia mengatakan bahwa yang lain itu pasti salah. Itu pada karakter yang pertama bahwa agama itu adalah sebagai alat mencapai tujuan. Yang kedua ini mungkin betul-betul percaya bahwa itu ajaran yang benar buat dia,” ucap dosen UIN Antasari ini.

Muhajir mengatakan, bangsa Indonesia sendiri punya karakter umat beragama yang malas untuk belajar agamanya sendiri. Nah, menurut dia, ketika ada isu-isu seperti ini, masyarakat menjadi bingung dan diancam apabila tidak memilih calon non muslim, maka matinya tidak dishalatkan.

“Jadi, hal ini persoalan kita juga, ada umat beragama yang belajar agamanya sendiri itu karena malas. Coba kalau belajar agama, mana ada seperti itu,” cetus Muhajir.

Dia sangat mengapresiasi jika ada pemuda yang menanyakan bagaimana generasi sepertinya bisa berkontribusi untuk masa depan di Indonesia. Bagaimana pun, menurut Muhajir, di tangan pemuda masa depan bangsa akan dipertaruhkan. “Jadi, saya kira sederhana saja. Kita tetap berteman seluas-luasnya, tetap belajar dan menerima ide-ide yang toleran. Bagi saya doktrin, baca buka dan mendengarkan ceramah itu penting,” tandasnya.

Sementara itu, Pendeta Kornelius Sukaryanto menyampaikan, bahwa dinamika dalam berpolitik sangat berpotensi adanya gesekan-gesekan di antara sesama bangsa dan saudara. “Jika hal ini tidak diantisipasi sejak dini, maka tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh pada sendi-sendi kehidupan,” ucap Sukaryanto.

“Yang patut kita cermati saat ini adalah pemanfaatan isu agama untuk mengambil keuntungan maksimal dalam tahun politik tanpa mempedulikan kerukunan dan kedamaian lingkungan. Terpenting bagi mereka adalah tercapainya tujuan politik individu dan golongan,” paparnya lagi.

Menurut Sukaryanto, sebagai bangsa yang agamis, masyarakat perlu mencermati tunggangan kepentingan politik secara bijak, agar tidak mudah dibenturkan oleh beberapa elit politik dengan mengatasnamakan agama,  untuk meraih tujuan yang bersifat indvidualistis maupun golongan.

“Oleh sebab itu, yang patut kita cermati sebagai bangsa agamis adalah tidak mendelegasikan untuk dipergunakan sebagai peraih kepentingan politik, tetapi lebih mendorong untuk mengambil peran partisipatif dalam menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara yang demokrasi,” ucap tokoh agama Kristen Protestan di Gereja Bethel Indonesia Banjarmasin ini.

Menurut dia, pada tahun politik ini memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sebagai bangsa yang beragam dalam bahasa, suku dan agama. Namun, kata Sukaryanto,, perbedaan itu jangan sampai dicampur adukkan dengan kepentingan politik yang berbeda pandangan dan pilihan.

“Sebab, perbedaan pandangan dan pilihan di tahun politik merupakan hal wajar yang seharusnya menjadi indikator kedewasaan sebagai bangsa yang menata nilai-nilai demokrasi yang sesuai dengan pandangan hidup sebagai bangsa Indonesia yang majemuk dan bermoral tinggi,” katanya.

Bagi Sukaryanto, menjaga stabilitas kerukunan merupakan tantangan yang harus dihadapi bersama dan seharusnya diimplementasikan sebagai sarana untuk memperkokoh pondasi kebangsaan dan kesatuan dalam wadah NKRI.

“Walau perbedaan pandangan dan pilihan di tahun politik semakin mengemuka, tetapi jangan kemudian kita mudah terpecah belah oleh pemahaman yang sempit,” katanya.

Sukaryanto  berharap, ungkapan dan pandangan singkat sebagai bagian dari umat beragama ini dapat menjadi bahan pemikiran dalam kehidupan yang harmonis, rukun dan damai dalam menjadikan agama sebagai penyejuk bagi naiknya skala suhu politik dan menjaga hati nurani bangsa agar tetap jernih, saling menghormati, bertoleransi dengan etika moral tinggi.

“Sehingga kegiatan pesta demokrasi di tahun politik ini tetap sebagai kegiatan yang menimbulkan sukacita dan kedamaian bagi seluruh pesertanya, bukan sebaliknya menjadi pesta demokrasi yang mencekam dan menakutkan,” imbuhnya.(jejakrekam)

 

Penulis Arpawi
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.