Lampu Merah Caleg Napi Koruptor

Oleh : Ahmad Fikri Hadin

0

POLEMIK Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Pendaftaran Calon Anggota Legislatif yang nantinya melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon legislatif (caleg), menunjukkan langkah progresif dalam upaya pemberantasan korupsi dan menciptakan pemilu yang bersih dan berintegritas, namun langkah ini masih menjadi perdebatan hangat, salahkah tindakan KPU?

PASAL 240 ayat (1) poin (g) UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Norma aturan ini menyatakan “bakal calon anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia yang harus memenuhi persyaratan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih kecuali secara terbuka dan jujur mengumumkan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.

Berdasarkan aturan tersebut, KPU membuat aturan turunan untuk pelaksanaannya. KPU memperluas tafsir aturan tersebut dengan menerapkan larangan untuk mantan narapidana untuk kejahatan luar biasa seperti pedofilia dan narkoba. Selain itu KPU juga memasukkan aturan terkait mantan narapidana korupsi.

Argumentasi Hukum

Perdebatan lahirnya PKPU tidak bukan dan tidak lain mengenai penafsiran lanjut mengenai Undang-Undang tentang Pemilu. Penulis berupaya menafsirkan dengan menggunakan Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (statute approach) yang dikenal dalam Metode Penelitian Hukum. Rancangan pasal 8 huruf J PKPU pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota.

Aturan itu bernorma “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, kabupaten dan kota adalah warga negara Indonesia yang harus memenuhi syarat, antara lain bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual dan korupsi”.

Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa lembaga seperti KPU mempunyai kewenangan membentuk aturan sendiri berdasarkan kewenangannya sebagai penyelenggara pemilu. Selain itu berkaca dalam Putusan MK No.92/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa proses konsultasi rancangan PKPU tidak boleh mengikat KPU, karena berpotensi merusak kemandirian lembaga penyelenggara pemilu.

Berdasarkan aturan tersebut, KPU membuat aturan turunan. KPU memperluas tafsir aturan tersebut dengan menerapkan larangan untuk mantan narapidana untuk kejahatan luar biasa seperti pedofilia dan narkoba. Menurut Wahyu Setiawan merupakan salah satu komisioner KPU mengatakan “KPU menyadari, mantan koruptor tidak termasuk dalam mantan narapidana yang melakukan kejahatan luar biasa.

Namun, KPU ingin mewujudkan pemerintahan yang bersih dan baik secara jangka panjang. Koruptor sudah melakukan kejahatan luar biasa yang juga harus mendapatkan perlakuan khusus. Meski kami menghormati aturan bahwa yang berhak mencabut hak politik itu adalah pengadilan, tetapi kami mendorong agar pemerintahan ini jadi pemerintahan bersih,” (republika.co.id).

Di lain sisi rencana larangan napi koruptur dalam PKPU tidak dipayungi oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Dalam UU Pemilu mantan koruptor tidak termasuk sebagai pihak yang dilarang menjadi caleg karena secara eksplisit yang dilarang adalah pelaku pedofilia atau narapidana kasus narkoba. Terdapat dua pertentangan norma yang terjadi dalam peristiwa ini. Dalam penyelesaian konflik norma dikenal dalam Ilmu Hukum dengan penyelesaian menggunakan asas preferensi hukum.

Secara kasat mata dapat dilihat bahwa pertentangan norma yang terjadi adalah di level Undang-Undang sehingga dalam penyelesaian nanti dapat menggunakan asas lex specialis de rogat lex generalis. Namun perdebatan dikalangan para pakar tidak akan mengikat seperti putusan pengadilan karena seyogianya konflik norma akan terjawab dan mempunyai kekuatan hokum tetap apabila dengan putusan pengadilan.

Lampu Merah

Inisiatif KPU yang berencana melarang mantan narapidana korupsi maju jadi calon legislatif banyak diapresiasi berbagai kalangan. Salah satu pendapat menyatakan bahwa PKPU yang akan diterapkan KPU untuk membatasi hak mencalonkan mantan napi korupsi bertujuan untuk menyelamatkan proses penyelenggaraan dari ditangkap tangannya calon karena terbiasa melakukan politik uang sehingga mengganggu proses pemilu. Pengaturan yang dibuat oleh KPU ini tidak bisa dilihat dari pendekatan pembatasan hak politik warga negara.

Lebih jauh dari itu, pengaturan ini merupakan langkah preventif yang tujuannya adalah memperbaiki kualitas pemilu dan pemerintahan yang dipilih melalui proses pemilu. Selain itu, Usulan KPU ini sama sekali tidak bertentangan dengan UU Pemilu, karena larangan mencalonkan mantan napi korupsi diberikan kepada parpol. Artinya, parpol yang tidak boleh mencalonkan mantan napi korupsi.

Arus lalu lintas sebenarnya berada di partai politik sendiri. Selama ini partai politik masih memberikan lampu hijau untuk para napi koruptor menjadi kader dan caleg di partainya. Gagasan PKPU ini agar kedepannya partai politik menyalakan lampu merah agar napi koruptor tidak dapat masuk dalam caleg yang di usulkan. Selain itu dari data yang ada dominasi para tersangka yang tersandung korupsi adalah anggota legislatif.

Tujuan KPU untuk menjaga kualitas pemilu patut di apresiasi dan kita sepakat agar partai tidak mempunyai kader yang koruptor lagi, namun tujuan mulia ini jangan sampai melanggar hak konstitusional warga negara serta agar menyudahi polemik apabila PKPU telah resmi dikeluarkan KPU pasti akan banyak pihak menggugat dan harus mendapatkan putusan hakim agar berkepastian hukum.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum ULM, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance (PARANG) ULM)

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.