Sultan Muhammad Ali: Dibuang ke Banjarmasin Gara-Gara Puasa

Oleh : Mansyur 'Sammy'

0

SEJARAH telah mencatat, para Sultan Nusantara terdahulu sangat menghormati Bulan Ramadhan. Bulan mulia, penuh rahmat dan ampunan. Bahkan rela kehilangan jabatan duniawi daripada meninggalkan kemuliaan sang bulan suci. Hal inilah yang dilakoni Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga), Sultan Pasir yang memerintah tahun 1876–1898 di era hegemoni Hindia Belanda.

KEJADIAN ini berawal dari tindakan Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga), yang memberikan kelonggaran kepada menteri kerajaan dan pegawainya beribadah di bulan Ramadhan. Penguasa tertinggi sang Residen, di Karesidenan Borneo Bagian Selatan dan Timurpun murka. Sultan pun dimakzulkan dan rela dibuang ke Banjarmasin.

Raja bergelar Sultan Muhamad Ali Khalifatul Mukmininsangat memuliakan Ramadhan. Dalam tulisan Finandar dkk (1983/1984), sultan memang dikenal sebagai seorang yang taat beragama. Finandar juga memaparkankan, pada bulan puasa menteri kerajaan dan pegawainya diberikan keringanan dalam menjalankan urusan pemerintah. Oleh karena itu sering perintah residen dari Banjarmasin tidak mendapat layanan dari Sultan.

Residen tidak senang atas kebijaksanaan Sultan. Residen semakin bertambah marah mendengar laporan-laporan dari bawahannya, bahwa Sultan Muhamad Ali menaruh simpati terhadap perjuangan Pangeran Antasari dan melindungi pemberontak-pemberontak Kesultanan Banjar yang bersembunyi di wilayah kerajaannya. Asisten Residen pun dengan secara diam diam langsung menyelidiki hal itu. Dari rakyat Pasir ia mengetahui peristiwa itu.

Asisten Residen akhirnya meminta agar Sultan Muhamad Ali bersama-sama ke Banjarmasin untuk mempertanggung-jawabkannya kepada Residen. Sultan tidak menanggapi permintaan Asisten Residen dan menyatakan ia belum bersedia meninggalkan Pasir selama bulan puasa. Begitu besar upaya beliau memuliakan Bulan Ramadhan. Mendengar laporan itu, Residen sangat marah.

Sebulan kemudian Residen sendiri dengan sepasukan tentara datang ke Pasir. Setibanya di Pasir, Residen Belanda menyatakan, bahwa Sultan tidak cakap, tidak dtaat kepada peraturan Gubernemen dan suka melawan pemerintah. Mendengar pembicaraan Residen yang tidak sopan itu, Sultan Muhammad Ali menjadi marah. Beliau menjawab, bahwa sebagai Sultan ia berhak menentukan kebijaksanaan sendiri dalam kerajaannya.

Baru sekali inilah seorang Sultan berani menentang terus terang seorang Residen Belanda di kerajaan Pasir. Residen dengan paksa membawa Sultan ke Banjarmasin. Kemudian Sultan Ali dimakzulkan Belanda dan menentukan Banjarmasin sebagai tempat pembuangannya.Sultan Muhamad Ali meninggal dalam pembuangan di Banjarmasin. Sebagai penggantinya diangkat Sultan Abdurrahman, putra almarhum Sultan Adam (Pasir).

Koran De locomotief, Samarangsch Handels en Advertentie-blad, edisi 23 Oktober 1896, menuliskan bahwa urusan negara dalam kondisi tidak menguntungkan selama bertahun tahun di bawah pimpinan Sultan Pasir, Mohamad Ali Adil Chalifat’oel Moeminin yang memerintah di wilayah ini. Pemerintahannya tidak membawa perubahan apa pun ke arah yang lebih baik untuk Hindia Belanda.

Oleh karena itu pada bulan September 1896, Residen berangkat ke Pasir atas nama Gubernur Jenderal untuk mengadakan pertemuan dengan Sultan pasir. Sekaligus membatalkan pengangkatan Sultan Pasir (dimakzulkan) dan diganti dengan Raja Moeda. Kalau kedudukan Sultan tetap dipertahankan,dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak di kemudian hari. Setelah pemakzulan, Sultan Pasir akan dipindahkan ke Banjarmasin.

Demikian juga dilansir koran Bataviaasch Nieuwsblad, edisi 21 Oktober 1896, Residen berangkat dari Banjarmasin ke Pasir dengan pengawalan satu detasemen tentara, dari garnisun. Kemudian dikawal Kapal Perang “Soembing” dan Kapal Api milik Pemerintah Hindia Belanda, “Glatik” dalam rangka melaksanakan otorisasi pemindahan Sultan Pasir ke Banjarmasin.

Sementara, kapal uap pemerintah lainnya, “Barito” juga berpartisipasi dalam pelayaran untuk kepentingan transhipment. Pada pagi hari tanggal 15 September 1896, Residen kembali ke Banjarmasin. Dalam rangkaian ini sekaligus memindahkan Sultan Mohamad Ali dan keluarganya ke tempat pemindahan (pembuangan) yakni wilayah Banjarmasin.

Berita dalam kedua koran sebelumnya, juga terbit dalam koran Hindia Belanda lainnya dengan konten berita hampir sama. Pertama pada Koran Java-Bode: Nieuws, Handels- en Advertentieblad voor Nederlandsch-Indie (edisi 21 Oktover 1896). Kemudian padaProvinciale Overijsselsche en Zwolsche Courant, yang menerbitkannya pada edisi 25 November 1896.

Terdapat versi lain dari keterangan keturunan Raja Pasir, Adjie Benni. Sepeninggalnya Sultan Sepuh, karena terjadinya perebutan kekuasaan menjadi sultan maka pada waktu itu terdapat dua sultan di kerajaan Pasir, yaitu Sultan Abdurrachman yang dinobatkan rakyat di Benua dan Sultan Adjie Mohammad Ali yang dinobatkan Belanda di Muara Pasir. Berhubung dengan keadaan ini maka selalu timbul pertempuran kecil antara pengikut Sultan Adjie Mohammad Ali dengan pengikut Sultan Abdurrachman.

Pada akhirnya pihak Sultan Adjie Mohammad Ali mendapat kemenangan, dan Sultan Abdurrachman meninggal dunia dengan tiba-tiba. Versi lain menuliskan, Sultan Abdur Rahman Alamsyah (Adjie Timur Balam) pada tahun 1874 tersingkir, setelah ditangkap pihak Belanda dan meninggal dunia secara mendadak. Demikianlah pada tahun 1874 pemimpin-pemimpin dari pihak Sultan Abdurrachman yang dikepalai oleh Saijid Taha Alsegaff bergelar Pangeran Polisi ditangkap oleh alat kekuatan Sultan Adjie Mohammad Ali, yaitu Belanda dan diasingkan ke Pulau Laut.

Akan tetapi Sultan Adjie Mohammad Ali hanya sempat menjadi sultan dari seluruh kerajaan Pasir hanya beberapa tahun lamanya. Pihak Belanda memfitnah dengan mengatakan bahwa Sultan Adjie Mohammad Ali telah merencanakan suatu pemberontakan terhadap Belanda. Demikianlah pada akhirnya Sultan Adjie Mohammad Ali sekeluarga dan sejumlah pengikutnya pada tahun 1876 ditangkap dan diasingkan ke Banjarmasin.

Dari penelusuran pegiat Sejarah Banjar dan tokoh komunitas Tim Pencari Makam Lelulur (Timpakul) Banjarmasin, Ibrahim Syaharani mengatakan, lokasi makam Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) sekarang berada di dekat Turbah Sungai Jingah Banjarmasin.(jejakrekam)

Penulis adalah Staf Pengajar Prodi Sejarah FKIP ULM

Sekretaris Pusat Kajian Budaya dan Sejarah Banjar Universitas Lambung Mangkurat

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.