Jati Diri yang Telah Terlupakan, Banjarmasin Sebenarnya Kota Seribu Kanal

0

IDE pembangunan lima tahun (pelita) di era Orde Baru diduga membuat kanal-kanal yang tercipta di masa Kesultanan Banjar hingga kolonial Belanda tergantikan dengan orientasi darat ketimbang memperhatikan sungai. Lahan pertanian menghilang, kanal dilupakan. Semua dianggap sama dengan sungai, meski Banjarmasin berjuluk Kota Seribu Sungai.

KENANGAN lama itu coba diceritakan kembali dosen senior sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Dr Bambang Subiyakto.  “Dulu saya keluar dari sini, pakai perahu lalu keluar lewat Sungai Martapura. Tapi ini bukan sungai, sebetulnya handil yang dibuat, sekarang sudah hilang semua. Lha, ini Sungai Benawa. Ini, dan ini, sekarang sudah tidak ada. Yang besar saja hilang, apalagi yang kecil. Dulu, belakang ini sawah-sawahnya orangtua teman-teman saya,” ucap Bambang Subiyakto kepada kru jejakrekam.com, saat ditemui di ruang dosen FKIP ULM Banjarmasin, Sabtu (28/4/2018) lalu.

Magister Sains Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menunjukkan peta Kota Banjarmasin era kolonial Belanda yang begitu asri dan masih menonjolkan multifungsi dari kanal-kanal baik dibangun orang Banjar maupun lewat sentuhan pemerintah masa penjajahan.

“Bandingkan dengan kondisi kota kekinian. Dalam perkembangan Kota Banjarmasin sekarang hampir semua wilayah mengalami alih fungsi lahan. Ini sudah berlangsung ratusan tahun. Dulu, lahan pertanian perlahan hilang akibat program-program pembangunan,” papar Bambang.

Menurut doktor jebolan UPI Bandung ini, Banjarmasin dibangun di daerah tepian Sungai Barito, tepatnya di Sungai Kuin dan Alalak sehingga masyarakat yang mendiaminya disebut Urang Banjar. Bambang mengatakan Banjarmasin dibelah banyak sungai dengan sungai terbesar adalah Sungai Martapura. “Sungai ini tepat mengalir dan melintasi pusat kota, dan bermuara ke  Sungai Barito,” katanya.

Dengan posisi itu, menurut Bambang, wilayah sebelah Barat berada di tepi muara Sungai Barito, sehingga Banjarmasin terletak di persilangan kedua sungai itu.  Di sisi wilayah tepian utara Kota Banjarmasin berada di daerah tepian Sungai Nagara yang juga bermuara ke Sungai Barito. “Intinya, wilayah geografis Kota Banjarmasin dikelilingi oleh sungai-sungai besar yang sangat vital fungsinya bagi pelayaran sungai. Belum lagi, sungai-sungai besar itu beranak pinak hingga memiliki ratusan anak cabang,” papar Bambang.

Tentu saja, kata Bambang, keadaan alamnya dialiri banyak jalur air dan menciptakan gerak air pasang surut. Ya, Banjarmasin merupakan sebuah kota yang suatu waktu dipenuhi banyak air sehingga anak-anak bisa berenang di sekitaran rumah mereka, tetapi di waktu lain air itu surut tanpa kabar.

“Kondisi ini, membuat hubungan Urang Banjar dengan sungai begitu erat sejak mulanya. Tak hanya sungai, yang juga menjadi bagian penting dari jalur air Kota Banjarmasin adalah kanal. Bagi Urang Banjar membangun kanal adalah kebiasaan dan suatu keahlian yang diwariskan secara menurun. Jadi, sungai termasuk kanal-kanal di sini sangat multifungsi,” ucap Bambang.

Ia mengisahkan mulanya kanal dibangun sebagai upaya perluasan jangkauan aliran air. Untuk fungsi transportasi, pengairan sawah/irigasi, atau bahkan fungsi domestik seperti mandi cuci kakus, perikanan, bahkan air bersih. “Fungsi kanal itu masih berlanjut sekitar tahun 1990-an. Memang tak diketahui secara pasti, sejak kapan Urang Banjar mulai berhasil membuat kanal,” kata Bambang lagi.

Dalam artikel yang ditulis Bambang Subiyakto di buku Sejarah Kota Lama Kota Baru, dikutip pendapat para ahli seperti Vergouwen (1921), Schophuys (1969) dan Collier (1980) yang meyakini bahwa kebiasaan orang Banjar dalam pembuatan kanal sudah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu.

“Jadi, sejak lama Urang Banjar berhasil memikirkan dan memanfaatkan adanya gerak air pasang surut. Upaya mereka adalah meluaskan pengaruh itu ke lahan pertanian dengan membangun kanal. Kanal-kanal itu dibangun hanya dengan kekuatan tangan menggunakan sundak. Panjangnya mampu mencapai puluhan kilometer,” papar Bambang.

Ada sedikitnya tiga macam kanal yang dikenal Urang Banjar. Pertama disebut anjir, yaitu saluran primer yang menghubungkan dua sungai. Anjir ini bersifat untuk kepentingan umum dengan titik berat fungsinya untuk sistem pertanian dan transportasi.

Kedua handil, semacam saluran sekunder yang bermuara di anjir. Handil lebih kecil dari Anjir. Dibuat untuk menyalurkan air ke daerah daratan, yang berupa lahan pertanian. Sifatnya milik kelompok.

Kemudian, saka merupakan saluran tersier yang bersifat pribadi atau milik keluarga. Saka ini dibangun untuk jalur pengangkutan dan menyalurkan air ke daerah-daerah pertanian hanya digunakan oleh pemilik dan kerabatnya.

“ Jadi, saka ini banyak dibangun oleh keluarga-keluarga petani Banjar dengan lebar antara dua dan empat meter serta kedalaman tidak lebih dari 2,5 meter. Panjang saka bervariasi dari satu kilometer sampai dengan sepuluh kilo meter,” tutur Bambang.

Dosen yang juga peneliti sejarah ini mengungkapkan istilah kanal yang dikenal dalam tradisi Banjar adalah tatah. Lazimnya dimaksudkan untuk menyebut kanal berupa handil/saka, sedangkan anjir biasa disebut antasan. Dari sisi banyaknya istilah yang mereka miliki menunjukkan Banjar memiliki kebudayaan sendiri dalam hal kanal.

Ia menjelaskan seperti pada fungsi dan posisi jalan di suatu wilayah atau kota, demikian pula gambaran jalur-jalur air di Banjarmasin. Jalur-jalur itu seperti sungai besar dan sedang, serta anjir berfungsi sebagai jalan raya. Dan lain pihak anak sungai, handil dan saka menyerupai jalan-jalan kecil atau gang. “Pada kedudukannya yang demikian itu setiap hari terlihat penduduk yang sibuk hilir mudik melayari satu sungai ke sungai kecil atapun kanal kemudian ke luar menuju ke sungai yang lebih besar,” ungkap Bambang.

Walhasil, anjir, handil dan saka mempunyai fungsi utamanya sebagai irigasi pertanian dalam arti luas dan prasarana transportasi. Sedangkan, saka dan handil, hubungannya dengan transportasi terbatas, baik untuk jenis sarana transportasinya maupun tujuan. “Sarana yang digunakan pada jalur terbatas ini biasanya perahu kecil (jukung) dan bertujuan untuk keperluan kegiatan pertanian, termasuk juga perikanan. Namun, seiring perkembangan kota Banjarmasin, kanal itu berubah fungsi menjadi lebih pada kepentingan transportasi. Terutama yang lingkungannya telah menjadi bagian dari pusat kota atau permukiman,” kata Bambang lagi.

Penulis buku sejarah ini mengungkapkan pada masa kolonial Belanda hingga awal kemerdekaan Republik Indonesia, kanal-kanal ini masih diperhatikan di Banjarmasin. Bahkan, pembangunan, perbaikan, dan pembersihan tetap dilakukan atas dasar prakarsa pemerintah. “Pembangunan-pembangunan kanal sepenuhnya menggunakan cara kerja dan tenaga Urang Banjar sendiri. Misalnya pembangunan Anjir Serapat yang menghubungkan dareah Banjarmasin dan Kapuas sepanjang 28 kilometer yang digagas oleh J.J. Meijer (1880) yang baru dilaksanakan oleh W. Broers berhasil diselesaikan 1890,” ungkap Bambang.

Hingga 45 tahun kemudian, pada masa Morggenstorm, penguasa ketika itu melakukan perbaikan dan pembersihan terhadap Anjir Serapat. Kemudian,  Morggenstrorm kemudian membangun sebuah kanal lagi yang disebut Anjir Tamban sepanjang 32 kilometer.

“Dari kedua anjir itu begitu besar pengaruhnya untuk membuka daerah baru dan berfungsi sebagai sistem pengairan pertanian dan transportasi. Antara tahun 1940-1950, ratusan handil dan saka dibangun oleh masyarakat dari kedua anjir itu,” ucap Bambang.

Sebagai rujukan, Bambang menyebut pemandangan di atas jalur-jalur air sekitar tahun 1950 dan 1960-an tampak dari masyarakat yang melakukan kegiatan berdagang, mencari ikan, ke kantor, ke sekolah, ke pasar, rekreasi, bertani dan rupa-rupa kegiatan kehidupann sehari-hari merupakan keistimewaan sistem transportasi di Kota Banjarmasin sungai.

Sedangkan, masih menurut dia, Sungai Martapura, yang membelah kota ini, merupakan sungai utama yang menjadi pusat permukiman. Hampir seluruh perkampungan di Kota Banjarmasin dapat dicapai dengan pelayaran anak cabang sungai ini. “Anak sungai dan kanal berfungsi seperti lorong atau gang yang menjangkau sampai ke jarak paling dekat dengan tempat tujuan,” kata Bambang.

Bahkan, upaya pengerukan dan pembersihan terhadap jalur-jalur air seperti handil dan saka pernah dilakukan pada  tahun 1963 dan 1967. Jadi, Banjarmasin hingga tahun 1980 an, masih banyak dijumpai kanal-kanal. “Saat itu, permukiman selalu berjejer di tepi-tepi jalur air. Daerah yang lebih dalam atau jauh dari jalur air besar, hanya bisa dijangkau oleh saka hampir semua dimanfaatkan untuk lahan pertanian padi sawah,” ujar Bambang.

Dia mencontohkan saat masih duduk di bangku SMA tahun 1975-an, daerah Pengambangan, Banua Anyar, Kantor DPR, masih ada sawah-sawah. Bahkan, antara Belitung, masih ada sawah-sawah. Termasuk, kawasan kampus Unlam atau sekarang ULM ini dulu daerah pertanian sawah.

Hanya saja, menurut dia, banyak hal berkembangnya Kota Banjarmasin,  diiringi pembangunan infrastruktur di sektor transportasi darat yang pesat sejak memasuki era Orde Baru. Era pemerintahan ini justru menitikberatkan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di sektor pertanian tampaknya agak terabaikan. “Ketidakseimbangan antara pemeliharaan dan persoalan-persoalan yang dihadapi jalur-jalur air mengisyaratkan makin hari makin merosotnya aktivitas pelayaran sungai,” paparnya.

Sejak 1980-an, ketika pelaksanaan program Pelita yang lebih berorientasi darat ketimbang berorientasi sungai mulai mengubah wajah Banjarmasin. “Ketika itu, Akbar Tanjung membangun program perumahan rakyat yang tak sesuai dengan karakteristik wilayah daerah Kota Banjarmasin. Lahan pertanian padi sawah menjadi menyempit. Saya berpikir pembangunan yang dilaksanakan betul-betul darat oriented. Program itu secara nasional pukul rata berlaku. Pulau Jawa, Kalimantan, dan daerah lain disamaratakan. Tidak dispesifikasi. Meskipun harusnya ada undang-undang yang spesifik agar bisa melindungi daerahnya, tapi kan tidak,” keluh Bambang.

Hasilnya, program pembangunan Kota Banjarmasin yang berorientasi darat ini mulai membuat generasi-generasi muda lupa, bahwa mereka adalah masyarakat yang telah berabad lamanya hidup mesra bersama kanal.

Bambang berpendapat secara fisik memang sulit dibedakan antara jalur air sungai buatan dan yang alami. Terutama bila jalur buatan itu telah terjadi cukup lama. “Generasi baru dengan melihat begitu banyak jalur air di Kota Banjarmasin, kemudian dengan ringan menyebutnya sebagai sungai. Barangkali, berawal pengertian semacam ini Banjarmasin diberi predikat sebagai Kota Seribu Sungai,” katanya.

“Itu dampaknya dari pembangunan yang mengabaikan lingkungan berorientasi sungai. Pelita yang pukul rata ternyata tidak ramah untuk daerah seperti Banjarmasin. pembangunan-pembangunan yang dilakukan membuat generasi muda menjadi lupa dengan jati diri dan kearifan lokal mereka. Sekarang, lihat Banjarmasin diuruk,  ada berapa gunung yang digunakan untuk menguruk Banjarmasin,” tutur Bambang lagi.

Dia menjelaskan, apa yang terjadi di Banjarmasin hari ini sama kasusnya seperti di Jakarta. Banjarmasin memiliki karakteristik wilayah yang sama dengan Jakarta, yaitu wilayah yang sangat terpengaruh dengan pasang surut. “Pembuatan saluran drainase untuk mengalirkan air adalah langkah yang salah. Menurut saya, kalau mengalirkan air tidak tepat untuk daerah air lebih tepat untuk daerah seperti Bandung dan Semarang yang notabene merupakan daerah pegunungan,” ungkapnya.

Sedangkan, menurut dia, Banjarmasin merupakan daerah pasang surut, harus diciptakan saluran distribusi dan danau. “Jelas, ketika itu Belanda sudah mempersiapkan itu, seperti di daerah Mulawarman, itu sengaja agar airnya menyebar rata. Sekarang, sistem saluran drainase tidak bisa diterapkan karena Banjarmasin memiliki kontur permukaan yang rata. Pembangunan dan perawatan kanal-kanal merupakan langkah yang tepat, untuk mengimbangi gerak pasang surut. Airnya bisa lebih terdistribusi,” saran Bambang.

Dengan kondisi sekarang, Bambang justru mengatakan ikon Banjarmasin sebagai Kota Seribu Sungai tidak tepat. “Sebenarnya, Banjarmasin itu adalah Kota Seribu Kanal,” tegasnya.

Menurut Bambang, dalam perkembangan lebih jauh lagi, hingga kini tahun 2000 ke atas, kanal-kanal mulai hilang. Fungsi kanal yang tersisa, hampir bergeser sepenuhnya.Tidak lagi untuk irigasi pertanian padi sawah, tapi secara umum hanya untuk kepentingan transportasi. “Itupun terbatas dan tidak seakses dulu.Ya, begitulah proses. Orang kita kan biasa ganti pemimpin, ganti kebijakan, ganti juga program. Begitupula, Banjarmasin,” kata sarjana sastra UGM.

Menurutnya, hal semacam itu juga terjadi di Kota Banjarbaru yang telah dirancang bagus sedemikian rupa sejak awalnya, namun pada perkembangannya begitu ditangan pemerintah daeerah menjadi tidak karu-karuan.  “Begitu sifat kita, manusia, tata ulang lagi, langgar lagi,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis Siti Nurdianti
Editor DidI G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.