Harapan atas Kegiatan Ijtima Ulama Nasional di Banjarbaru Terhadap Draf RKUHP

Oleh: Dr H Mispansyah, SH MH

0

APABILA ada yang mengatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu sesuai dengan nilai Bangsa Indonesia, atau sangat Pancasilais, maka orang tersebut tidak tahu sejarah KUHP. KUHP ini sebenarnya berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) diberlakukan pada zaman Hindia Belanda dengan stbl 1915 No.732, pada zaman penjajahan Jepang 8 Maret 1942 WvS masih diberlaku sampai 17 Agustus 1945. Pada zaman Jepang  WvS Hindia Belanda masih berlaku.

SETELAH kemerdekaan dengan spirit “nasionalisme” keinginan keluar dari cengkeraman Penjajahan Belanda, maka melalui Peraturan Presiden No.2 Thn 1945 memberlakukan WvS sebagai hukum Pidana Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 kemudian dijadikan ditetapkan dengan ada “pembaharuan” beberapa ketentuan dihapus dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946  menjadi KUHP.

Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia mulai dilakukan sejak dibentuknya Lembaga Pembaharuan Hukum Indonesia (LPHN) tahun 1958 komisi Hukum Pidana antara lain Prof. Satochid l, kemudian diadakan seminar Nasional Ke-1 tahun 1963 dengan hasil resolusi mendesak agar KUHP Nasional diselesaikan dalam waktu singkat. Akhirnya, Draf RKUHP konsep  Buku I berhasil dibuat pada tahun 1964, konsep draf Buku II dan III tahun 1977,  konsep RKUHP yang terakhir sampai  Prolegnas di DPR RI saat ini adalah Draf Tahun 2015.  Jadi sejak kemerdekaan upaya pembaharuan RKUHP sudah 73 tahun, apabila ditambah masa penjajahan Hindia Belanda sejak di bawa dari Perancis tahun 1915 maka sudah sekitar 103 tahun.

Pada awalnya pemberlakuan KUHP ini sebenarnya bersifat sementara, karena kita akui KUHP yang ada meskipun mengalami pembaharuan dengan menghapus sebagian pasal dan menambah Pasal lainnya, namun sebagian besar isinya berjiwa penjajah, dan jiwa maupun ruh/filosofis KUHP berasal dari Belanda (Barat), nilai yang dikandung adalah Nilai-nilai Kebebasan (Liberalisme) dan Pemisahan Agama dari Kehidupan (Sekularisme).

Adapun bangsa Indonesia  didirikan berdasarkan pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa (nilai Ketuhanan), Nilai Kemanusiaan Yang Maha Esa (Nilai Kemanusiaan), Nilai Persatuan, Nilai Musyawarah Mufakat, Nilai Keadilan Sosial.

Beberapa waktu lalu disebuah media nasional baik cetak maupun online berita penggerebekan prostitusi terhadap anak dan hampir 100 orang anak laki-laki menjadi korban. Setelah itu di media sosial bermunculan akun penawaran dari kalangan Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender (LGBT), reaksi masyarakat bergama bermunculan menolaknya, termasuk dari umat Islam, tidak ketiggalan Kalimantan Selatan. Dan permintaan untuk mengkriminalisasi perbuatan persetubuhan yang dilakukan oleh kalangan LGBT.

Muncul polemik mengenai pengaturan LGBT, sebagian besar menginginkan agar perbuatan persetubuhan ataupun perbuatan cabul yang dilakukan kalangan LGBT diatur dalam KUHP.

Dalam perspektif ajaran agama Islam, LGBT termasuk kemaksiyatan dan diharamkan, karena perbuatan ini dilarang di al Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Perbuatan LGBT kalau disebarluaskan  akan mengancam kelangsungan perkembangan manusia di dunia. Karena secara kondrat perkembangan manusia dapat berlangsung karena dipasangkannya wanita dan pria melalui pernikahan, dari hasil pernikahan lahirlah keturunan dan berkembanglah umat manusia.

Di dalam KUHP larangan hubungan  persetubuhan sesama jenis tidak ada pengaturan yang tegas, Pasal 292 KUHP hanya mengatur mengenai Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Jadi KUHP hanya dapat menjerat pelaku LGBT yang melakukan perbuatan cabul terhadap korbannya anak-anak.

Termasuk, mengenai zina yang diatur di dalam Pasal 284 KUHP hanya bagi pasangan yang terikat pernikahan atau salah satu pihak terikat pernikahan. Jadi bagi mereka yang status tidak terikat pernikahan tidak dipidana. Nilai ini jelas bukan dari nilai bangsa Indonesia, tetapi dari nilai  kebebasan (liberal) dan nilai sekularisme. Ketika pemberlakuan KUHP tahun 1945 sebenarnya dengan semangat keinginan merdeka dari segala  penjajahan, termasuk di bidang hukum haruslah terus dikobarkan tanpa henti.

Kemudian para ahli hukum menggodok RKUHP sejak tahuan 1958 sampai draf RKUHP Tahun  2015. Dalam Draf RKUHP memperluas makna zina dan pencabulan di bagian keeempat tentang zina dan perbuatan cabul , tepatnya Pasal zinah di pasal 484 s/d 490 perbuatan zina diperluas dan dikualifikasi sampai memasukan benda ke dalam duburpun dimasukan dalam kategori zina, kemudian pengaturan perbuatan pencabulan Pasal 482- Pasal 500 diperluas konsep  zina termasuk pasangan yang tidak terikat pernikahan, termasuk perbuatan zina dengan melakukab perbuatan yang dilakukan melalui jalan belakang. Begitu juga pencabulan terhadap orang baik anak- ataupun dewasa. Konsep perbuatan zina dan cabul terlihat mengakomodir nilai agama sesuai dengan nilai Berketuhanan.

Dengan begitu kegiatan Ijtima  Ulama Nasiobal yang dilaksanakan di Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan sudah seharusnya juga membuat konsep dan masukan untuk Pembaharuan Hukum Pidana di masa mendatang, dengan membuat draf sesuai dengan Syariat Islam mengenai pengaturab sistem Uqubat dan sanksi yang dijatuhkan ke dalam RKUHP.

Hal ini penting karena RKUHP sendiri dalam drafnya mengakomodir nilai yang hidup dalam masyarakat hal ini tertuang dalam Pasal 774.  Jadi, hasil Munas  ijtima Ulama Nasional, kita harapkan menyampaikan konsep ajaran Islam, termasuk memperkuat arus penguatan pemidanaan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh kalangan LGBT.

Kita berharap nilai-nilai Syariat Islam dan Agama Islam yang menjadi  menjadi ruh dalam membangun Bangsa Indonesia yang kita cintai jangan sampai menapikan atau bahkan mengkriminalkan ajaran Islam. Termasuk dalam RKUHP sesuai nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, jadi sudah saatnya nilai Bangsa Indonesia yang beragama menggantikan  KUHP yang berasal dari WvS Belanda, kalau Pembentuk UU (legsilatif) memiliki rasa jiwa cinta tanah air dan Bangsa Indonesia, maka mereka tentu harus segera memerdekakan diri dari hukum warisan kolonial Belanda, kalau tidak berarti kita masih terjajah dalam bidang hukum.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI) Daerah Kalsel

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.