Nasib Buruh di Hari Buruh

Oleh: Wati Umi Diwanti

0

May Day atau Hari Buruh Sedunia bermula dari peristiwa bentrok antara aparat dan buruh di Chicago, Amerika Serikat pada 1886. Saat itu, kapitalisme Eropa Barat dan Amerika berkembang pesat. Ketika itu, jam kerja buruh ditetapkan hingga 19-20 jam per hari. Sementara kesejahteraan mereka teramat memprihatinkan. Maka mereka turun ke jalan untuk menuntut kesejahteraan dan pengaturan jam kerja. (Wikipedia.org)

HAMPIR dua abad sudah, Hari Buruh Internasional terus-menerus diperingati hampir di semua negeri. Termasuk di Indonesia. Sejak Orde Lama, hari buruh diperingati tiap tahun. Sempat terhenti sejenak di era Orde Baru karena dianggap gerakan suversif yang dikonotasikan pada ideologi komunis. Namun kembali diperingati sebagai hari besar nasional sejak 2007 lalu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga sekarang.

Pertanyaannya adalah, dengan adanya hari buruh sedunia apakah nasib buruh membaik? Ibarat pepatah “jauh panggang dari api”.  Apa yang kehendaki tak kunjung terjadi. Justru semakin hari nasib buruh semakin memprihatinkan. Apalagi selepas munculnya Perpres TKA bulan Maret 2018 lalu. Masalahnya tak lagi sekadar upah buruh yang semakin tak mencukupi. Bahkan bisa jadi kehilangan kesempatan untuk menjadi buruh itu sendiri.

Pandangan Islam Masalah Perburuhan

Kontrak kerja dalam Islam disebut ijarah. Orang yang bekerja dengan mendapat imbalan disebut ajir. Yang memberi imbalan dan mengambil manfaat dari pekerja disebut musta’jir. Buruh termasuk dalam golongan ajir. Akad ijarah haruslah jelas di awal. Apa saja yang dikerjakan, berapa upah yang dibayarkan dan konsekuensi lainnya harus disepakati sebelum dijalani.

Jika terjadi permasalahan saat berlangsung atau setelah berakhir akad, kedua pihak diperbolehkan merundingkan ulang. Jika tidak ada titik temu, urusan ini bisa diadukan pada seorang qhadi. Yaitu  seorang hakim yang memutuskan berdasar Alquran dan Sunnah. Apa yang diputuskan qhadi wajib dipatuhi oleh kedua belah pihak. Menjadi kebaikan bagi keduanya. Dorongan iman dan amal sholih membuat perkara dunia kerja dalam Islam mejadi simpel dan terhindar dari berbagai polemik.

Simalakama Musta’jir dan Beban Hidup Ajir

Saat ini, banyak pengusaha selaku musta’jir, khususnya kelas menengah ke bawah harus bertarung hebat memperebutkan pasar dengan pengusaha kakap. Menekan harga adalah salah satu strategi untuk bisa bertahan. Menambah upah berarti menambah modal. Sebaliknya, menekan harga otomatis mengurangi laba. Belum lagi tarikan pajak semakin galak. Benar-benar membuat pengusaha menjadi simalakama.

Sedangkan, para ajir sendiri saat ini mengalami peningkatan kebutuhan hidup yang semakin pesat efek penerapan ekonomi kapitalis. Penguasa pun perlahan melepaskan diri dari penyelenggaraan pelayanan publik. Alhasil, semua kebutuhan hidup totaliltas ditanggung pribadi masing-masing. Semua bergantung pada gaji. Kemana lagi buruh menagih jika bukan pada musta’jirnya.

Solusi Masalah Perburuhan

Dalam sistem Islam masalah perburuhan dikembalikan kepada hukum asal ijarah. Jika di awal berakad semua sepakat maka tak boleh ada tuntutan di luar akad. Mengenai kesejahteraan, ini sebenarnya perkara lain. Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan terdapat jalur nasab dan jalur negara. Jika hasil maksimal menjadi pekerja tak jua mampu memenuhi kebutuhan keluarga, maka keluaga jalur perwalian wajib membantu. Jika sama-sama tak mampu, negaralah yang berkewajiban memenuhi kebutuhannya.

Adapun masalah kebutuhan kolektif seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan ini sudah paten menjadi tanggung jawab negara. Ini adalah hak rakyat secara cuma-cuma apapun posisinya. Ajir maupun musta’jir. Kaya maupun miskin. Muslim ataupun non muslim. Sehingga kebutuhan ajir terhadap kesehatan tetap terjamin tanpa musta’jir harus mendaftarkannya pada lembaga asuransi. Yang pastinya menambah pengeluaran musta’jir.

Selanjutnya negara juga harus menghentikan tarikan pajak. Ini juga salah satu yang secara otomatis menambah biaya produksi. Alokasi dananya memberi peluang musta’jir untuk menambah upah para ajirnya. Perlu diketahui, dalam Islam, pajak hanya boleh ditarik dalam kondisi khusus dan hanya berlaku pada orang khusus serta tidak terus menerus.

Demikian juga penguasa wajib menjaga persaingan pasar dalam negeri. Tidak boleh asal memasukkan pengusaha  dan produk asing. Jikapun dipandang perlu, ini benar-benar melalui hasil pengkajian berdasarkan syariat demi kepentingan masyarakat. Pasar bebas sejatinya merupakan alat penjajahan ekonomi oleh negara pengusung kapitalis.

Dengan demikian kesejahteraan warga negara termasuk para ajir terjamin pemenuhannya. Akad yang sudah jelas di awal menutup peluang perselisihan. Jikapun terjadi juga, bisa segera diatasi dengan adanya qhadi. Hilanglah masalah mendasar dalam perburuhan.

Untuk itu yang harus dilakukan baik oleh ajir maupun musta’jir dan kita semua adalah memahami buhul masalah perburuhan ini. Yakni ditinggalkannya aturan Islam dalam tataran aturan kehidupan seutuhnya. Tak hanya di dunia kerja saja.

Selanjutnya bersama memperjuangkan yang mampu memberi penyelesaian. Mengembalikan semua pengaturan kehidupan pada ketetapan Islam. Maka semua warga negara apapun posisinya pasti turut merasakan kesejahteraan dan kenyamanan. Karena Islam memang diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Surat Al-A’raaf : 96). (jejakrekam)

Penulis adalah Pengasuh MQ.Khadijah Al-Kubro, Revowriter Kalsel

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.