Jejak Rekam Anang Adenansi di Mata Putra Sulungnya, Anang Rosadi

0

BUAH jatuh tak jauh dari pohonnya. Adagium ini terasa pas menggambarkan dua sosok berawal Anang. Ya, Anang Adenansi dan Anang Rosadi Adenansi, sang ayah dan anak ini dikenal kritis, vokal, bahkan ada yang melabelnya arogan. Benarkah? Dua tokoh yang sama-sama dibesarkan dari organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan mewarnai dinamika pergerakan Banua.

FAM Anang, salah satu silsilah keluarga Banjar identik dengan keturunan Candi Agung Amuntai, yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Negara Dipa. Dalam berbagai literatur seperti Suluh Sedjarah Kalimantan (1953) karya Amir Kiai Hasan Bondan, menyebut bahwa anak cucu orang sepuluh merupakan sepuluh pambakal (kepala desa) yang berjasa kepada Kesultanan Banjar, karena menggagalkan penyerangan laskar pro Pangeran Surya dan Pangeran Ahmad, saudara tiri Sultan Tahmindullah II.

Atas jasa 10 datu ini, penyerangan kebun lada milik sultan di Amuntai pada 1785, masa Sultan Sulaiman berhasil diblokir, hingga para pemberontak bisa dihalau ke perbatasan negeri Paser.

Nama 10 datu seperti terekam dalam buku Suluh Sedjarah Kalimantan adalah Datu Kabul/Tibul/Ayan Iberun/Abu, Datu Bahala Kiai Miara Tjiara (Kiai Maja Tjetra), Datu Subul, Datu Wira Laksana, Datu Miskin/Maskar/Masakar, Datu Muhul/Bamail, Datu Uda Pati/Depati, Datu Rukul Sutakun/Sutaperana, dan Datu Djahang/Djulang. Mereka pun mendapat hak istimewa dibebaskan dari pajak oleh Kesultanan Banjar, hingga dipertahankan di era kolonial Belanda.

Dari trah Raden Adipati Danuraja, cucu 10 dari jalur Datu Kabul, Anang Adenansi yang kini namanya diabadikan menjadi nama jalan pengganti Jalan Kamboja, dikenal kritis terhadap rezim Orde Baru dengan patronnya, Soeharto.

Dibesarkan dari dunia aktivis dan wartawan, Anang Adenansi pun menjelma menjadi salah satu tokoh Banua. Tercatat, Anang Adenansi merupakan pemuda pertama yang menakhodai Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kalimantan Selatan. Anang Adenansi juga memimpin Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalsel, hingga melalui Golkar melaju ke Senayan Jakarta menjadi anggota DPR RI.

Sebagai tokoh Kalsel yang menasional, Anang Adenansi pun bersahabat dengan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad. Dia juga yang pertama kali meletakkan batu pertama pendirian Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar Kalsel. Berlatar belakang aktivis 66, Anang Adenansi juga malang melintang dalam gerakan seperti pernah melakukan demonstrasi tunggal ke Kotamadya Banjarmasin terkait kebijakan KTP pada tahun 1975.

Dengan mengenakan baju khas angkatan 66, Anang Adenansi lantang bersuara menentang kebijakan Balai Kota. Termasuk, memperjuangkan nasib para eks pedagang Pasar Gelora ketika hendak dipindah ke Pusat Perbelanjaan Pangeran Antasari (P3A) yang kini berganti menjadi Pasar Sentra Antasari di Jalan Jati (kini Jalan Pangeran Antasari).

Namun, kritik keras yang disuarakan Anang Adenasi terhadap Soeharto, mengakibatkan karier politik harus tenggelam. Kritikan Anang Adenansi menyoal kepemimpinan Soeharto yang seakan tak tergantikan. Padahal, Soeharto adalah orang yang paling berkuasa di negeri ini, serta menjabat posisi tertinggi di Golkar selaku ketua dewan pembina.

“Ucapan ayah saya itu sebetulnya logis kalau dihayati. Beliau mengeritik Soeharto karena terlalu lama memimpin yang akan condong otoriter. Bahkan, beliau sempat berucap kekuasaan Soeharto seakan melebihi kepemimpinan Rasulullah SAW di zamannya,” cerita Anang Rosadi Adenansi, putra sulung Anang Adenansi kepada jejakrekam.com, Kamis (25/4/2018).

Rupanya, pernyataan Anang Adenansi ini sampai ke telinga Soeharto. Termasuk, komentar Anang Adenansi soal kekejaman aksi penembakan misterius (petrus), pungutan 10 persen proyek alias pungutan ‘Bu Tien’ dari proyek pemerintah, alih fungsi hutan di Kalsel, serta penentangan atas kepemimpinan militer di jabatan sipil, membuat Anang Adenansi harus berhadapan dengan Soeharto.

Meski karier politik Anang Adenansi diawali sebagai pengganti antar waktu (PAW) anggota MPR/DPR RI Pangeran Mohammad Noor pada 1977, namun terjegal saat Pemilu 1992. Anang Adenansi memang tetap masuk dalam daftar calon anggota legislatif tetap (DCT) Golkar daerah pemilihan Kalsel, namun ditaruh di nomor urut sepatu.

“Namun, bagi saya, apa yang diperjuangkan ayah saya seperti supremasi sipil dalam pemerintahan adalah tuntutan demokrasi sebenarnya,” tutur Anang Rosadi.

Buktinya, gerakan yang dilakoni Anang Adenansi dan kawan-kawan di Kalsel, berhasil menempatkan orang-orang sipil menjadi pemimpin daerah, bukan lagi dicomot dari seorang perwira karier militer. Sebut saja, HM Said mengawali kalangan sipil menjabat Gubernur Kalsel periode 1985-1995, serta HA Makkie menjabat Bupati Tapin dan lainnya.

“Tapi gara-gara komentar ayah saya bahwa yang bisa merecall Soeharto itu hanya Allah Taala, membuat penguasa negeri ini marah. Apalagi, Anang Adenansi merupakan politisi Golkar, yang seharusnya taat dengan Soeharto yang menghimpun tiga jalur ABRI, Birokrasi dan Golkar (ABG). Makanya, dalam Pemilu 1992, ayah saya dimasukkan dalam DCT Golkar nomor urut 11. Ini jelas sebuah penghadangan politik,” tutur Anang Rosadi. Hingga, Anang Adenansi pun tutup usia pada 13 Oktober 1992, dengan membawa segala warisan perjuangannya.

Lantas bagaimana dengan Anda? Apakah tetap mewarisi ruh perjuangan seorang Anang Adenansi? Bagi Anang Rosadi, sosok ayahnya tetap menjadi suri teladan dalam meniti pengabdian hidup. Apalagi, Anang Rosadi sendiri dibesarkan dari pendidikan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Universitas Jayabaya Jakarta, hingga menggeluti organisasi kepemudaan lainnya seperti Gerakan Pemuda Islam (GPI) dan KNPI Kalsel.

“Jujur ayah saya adalah guru bagi saya. Menjaga marwah perjuangan merupakan amanat dari ayah saya,” ucap Anang Rosadi. Mantan anggota DPRD Kalsel yang dikenal kritis dan vokal ini mengakui banyak pihak mengecapnya sosok arogan dan ekstrim.

Hal ini tergambar saat dialog terbuka antara GPI ketika dipimpin Syahrani Ambo Oga dengan anggota DPR RI dapil Kalsel di Aula Gedung Wanita Kayutangi, pada 1990. Saat itu, Anang Rosadi sempat berbeda pendapat dengan sang ayah, Anang Adenansi dan anggota DPR RI lainnya, dengan merobek kliping koran yang memuat berita pendirian pasar modern Hero di Banjarmasin.

Anang Rosadi berpendapat ketika itu, Banjarmasin sepatutnya lebih menitikberatkan pada pengembangan dan pemberdayaan para pedagang pasar tradisional, bukan mematikan dengan mengizinkan berdirinya pasar modern. Robekan kliping koran itu dihambur-hamburkan di depan para wakil rakyat terhormat dari Senayan Jakarta itu.

Predikat ekstrim, tak mau kompromi, arogan dan lainnya tak dipungkiri Anang Rosadi selalu terdengar di kupingnya. Apalagi, ketika Anang Rosadi melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) duduk menjadi anggota DPRD Kalsel periode 2004-2009. Perjuangan Anang Rosadi untuk menjadi eks Pekuburan Kamboja menjadi ruang terbuka hijau (RTH) berhadapan dengan Walikota Banjarmasin HA Yudhi Wahyuni. Termasuk, gugatan perdata ke PN Banjarmasin atas pembangunan Tugu Batas Kota di Jalan Achmad Yani Km 6 segede Rp 6,5 miliar itu.

Anang Rosadi pun mengancam akan kembali menggali tulang-tulang penghuni eks Pekuburan Nasrani Kamboja di Pulau Beruang, dan kemudian menaruhnya di Balai Kota, jika kawasan bekas pemakaman itu tak dijadikan areal bagi kepentingan publik. Pun, Anang Rosadi bersama koleganya di DPRD Kalsel seperti Gusti Perdana Kesuma, H Sajeli Abdis dan lainnya juga harus berhadapan dengan sang sepupu, Gubernur Kalsel Sjachriel Darham dalam beberapa kebijakannya yang tak pro rakyat.

Bahkan, Anang Rosadi dan rekannya di DPRD Kalsel menggugat ruislag (tukar guling) eks Kantor Dinas Kesehatan Kalsel, Jalan Brigjen H Hasan Basri (kini menjadi Gedung Samsat Banjarmasin II) ke Kemendagri. Sebab, saat itu, Gubernur Sjachriel Darham ingin menukargulingkan bekas kantor untuk biaya pembangunan Siring Sudirman kepada pihak ketiga, namun bisa digagalkan.

Dalam karier politiknya, Anang Rosadi pernah dua kali gagal dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada Pemilu 2009 dan 2014. Termasuk, kegagalannya juga dialami saat pemilihan Walikota-Wakil Banjarmasin pada 2010, melalui jalur independen.

Teranyar adalah ketika Anang Rosadi mengadukan pihak RSUD Ansari Saleh serta para dokter yang dinilainya tak profesional dalam menangani pasien. Meski bukan lagi berlabel wakil rakyat, Anang Rosadi mengungkapkan sebuah pengabdian itu bisa di mana saja berada.

Bagaimana dengan kepemimpinan Gubernur Kalsel Sahbirin Noor di era sekarang? Anang Rosadi mengatakan tak ada istilah lawan politik, karena ketika hendak berbuat terbaik bagi Banua, adalah sejalan dan seperjuangan. Kritikan yang disampaikan, menurut Anang Rosadi adalah bentuk kepedulian warga Kalsel terhadap perbaikan Banua.

“Apa yang saya lakukan semata-mata untuk tetap berada di jalur amanat rakyat. Silakan orang memandang saya buruk atau menafsirkan berbagai macam label, tapi saya punya keyakinan apa yang diperbuat itu benar,” ucap Anang Rosadi yang juga merilis lagu-lagu kritikan terhadap para pemimpin negeri.

Menjelang Pemilu 2019, disinggung soal kiprahnya di dunia politik kembali, Anang Rosadi mengatakan masih menunggu waktunya. Apakah tak ingin mendaftar menjadi calon anggota DPD RI atau mengincar kursi legislator di DPR atau DPRD? Anang Rosadi hanya menjawab dengan senyum.

“Tunggu saja, tanggal mainnya. Partai mana yang jadi kendaraan politik, lihat saja nanti,” imbuhnya.(jejakrekam)

 

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2018/04/25/jejak-rekam-anang-adenansi-di-mata-putra-sulungnya-anang-rosadi/
Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.