SK Walikota Pencopotan Sementara Sekdakot Banjarmasin Berpotensi Cacat Prosedur

0

DASAR pencopotan sementara Hamli Kursani dari jabatan Sekretaris Daerah Kota (Sekdakot) Banjarmasin melalui surat keputusan (SK) Walikota Banjarmasin bernomor 880/002-KUM.DIS/BKD,DIKLAT/2018, tertanggal 10 April 2018 itu diteken Walikota Ibnu Sina, dinilai masih membuka celah cacat prosedural.

PENGENAAN dugaan pelanggaran indisipliner aparatur sipil negara (ASN) juga menjadi konsideran dalam SK Walikota Banjarmasin terdapat dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN) Nomor 5 Tahun 2014, terutama Pasal 3 huruf (b), Pasal 4 huruf (d), huruf (g) dan huruf (k) dan Pasal 5 ayat (2) huruf (i) dan huruf (h), serta Pasal 107 huruf (c) angka 5 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS serta PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Dispilin PNS.

Pengamat hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Ahmad Fikri Hadin mengakui dasar hukum yang dipakai dalam kasus pembebasan sementara Hamli Kursani sebagai Sekdakot Banjarmasin adalah UU ASN Nomor 5 Tahun 2014.

Namun, menurut Fikri, karena masih dalam masa peralihan dan mengacu ke ketentuan peralihan, maka PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih berlaku, sepanjang sepanjang tidak bertentangan dan belum terbitnya PP yang baru.

“Jika membaca SK Walikota Banjarmasin, secara seksama dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, terutama Pasal 7 ayat (4), berarti sanksi yang diberikan kepada Hamli Kursani dalam terminologi PP tersebut tergolong pelanggaran berat berupa pembebasan jabatan,” ucap Fikri Hadin kepada jejakrekam.com, Selasa (17/4/2018).

Namun, Fikri mengingatkan masih dalam PP Dispilin PNS itu juga mengatur tata cara pemanggilan, pemeriksaan, penjatuhan dan penyampaian hukuman disiplin oleh pembinaan kepegawaian dalam hal ini kewenangannya memang berada di tangan walikota, selaku pembina kepegawaian.

“Memang secara subtansi dan kewenangan memang dimiliki walikota. Namun, untuk mengukur keabsahan sebuah tata usaha negara atau keputusan pejabat negara, minimal ada tiga variabel yang harus dipenuhi dan mutlak hukumnya, yakni substansi, kewenangan dan prosedur. Salah satu saja tidak terpenuhi, maka SK itu tidak absah,” ujar magister hukum jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Nah, menurut Fikri, dalam kasus pembebasan sementara Hamli Kursani sebagai Sekdakot Banjarmasin, justru unsur prosedurnya belum terpenuhi atau dilaksanakan, sementara SK sudah terbit terlebih dulu. “Jika tidak memenuhi tiga unsur itu atau cacat prosedur, secara mutadis mutandis maka SK Walikota Banjarmasin bisa dikatakan tidak sah atau tidak absah,” tegasnya.

Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance (Parang) Unlam ini mengatakan dalam optik hukum administrasi, melalui pendekatan peraturan perundang-undangan dan lainnya, maka SK Walikota Banjarmasin ini bisa dikatakan telah cacat prosedur. “Jadi, wajar saja, jika nantinya Pak Hamli Kursani akan mengajukan gugatan ke PTUN Banjarmasin, karena itu lumrah dalam sengketa kepegawaian, SK walikota ini diperkarakan oleh yang bersangkutan,” tandasnya.(jejakrekam)

 

 

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.