Neraca Demokrasi Zaman Now

Oleh : Rifqi Novriyandana SE., M.Acc., MM., Ak.

0

INHEREN konstelasi Pemilihan Kepala Daerah terbentuk suatu mekanisme yang jelas baik aturan perundang-undangan yang diatur oleh negara dan mekanisme komunikasi internal antar calon kepala daerah, masyarakat, dan partai politik.

UNTUK calon yang memilih maju tanpa partai maka memilih untuk fokus mencari masyarakat pemilih sebagai pendukung sesuai dengan syarat minimal yang diatur dalam perundangan (jalur independen). Sedangkan bagi calon kepala daerah yang memilih untuk menggunakan partai maka akan berusaha untuk melakukan komunikasi secara formal melalui penjaringan yang dilakukan oleh partai politik melalui mekanisme survey dan lain-lain. Serta partai politik akan melakukan komunikasi internal dengan beberapa calon potensial. Secara ideal terlihat kondisi ini baik-baik saja dan wajar sesuai aturan.

Problem Zaman Now

Partai politik diilustrasikan sebagai perahu dimana kedepannya anggota partai politik ini yang masuk dalam lembaga legislatif dan akan membantu kepala daerah terpilih sesuai tugas dan fungsinya untuk membuat perundang-undangan dan pengawasan pemerintah. Tugas ini serta merta akan memberikan dampak baik positif maupun negatif, apabila seorang kepala daerah sejalan dengan legislatif maka segala kebijakan akan saling didukung satu sama lain untuk kepentingan masyarakat. Tetapi, apabila kurang harmonis hubungan antara legislatif dan pemerintah (eksekutif) hal ini akan berdampak pada kebijakan yang sulit untuk menghasilkan win-win solution untuk kepentingan masyarakat/daerah.

Hal ini terjadi berawal dari mekanisme sistem pemilihan kepala daerah yang dijalankan dari sejak pencalonan kepala daerah sampai dengan terpilihnya seorang kepala daerah. Seorang kepala daerah yang terpilih dari banyak partai pengusung yang dominan dalam legislatif biasanya akan mengikuti dan bersinergi dengan kepala daerah terpilih tetapi sebaliknya apabila kepala daerah terpilih berasal dari usungan partai politik yang tidak dominan dan bahkan tanpa partai (independen).

Ini tentu saja memerlukan kerja extra bagi kepala daerah terpilih untuk melakukan upaya pendekatan tertentu dengan anggota legislatif dari partai politik yang dominan dalam struktur lembaga legislatif. Ini juga akan berdampak akhirnya pada kebijakan yang akan dijalankan oleh kepala daerah sesuai dengan visi misi yang ditawarkannya pada masyarakat pada saat proses pencalonan.

Ini akan menjadi starting point/ titik awal kekuatan yang dibangun oleh eksekutif dalam mendominasi kekuatan legislatif dan ada juga upaya untuk  menyelaraskan posisi eksekutif dan legislatif, apabila berhasil maka akan mudah bagi eksekutif untuk menjalankan programnya, tapi apabila tidak maka akan mengakibatkan dampak berantai yaitu kepala daerah tidak mampu menjalankan programnya dan masyarakat (pemilih) menjadi korban semua janji yang disampaikan dalam visi misi saat kampanye dan itu semua hanya menjadi harapan yang tak pernah terwujud.

Selama ini kejadian ini terus menerus terjadi dalam setiap kepemimpinan, untuk itu perlu kesadaran baik dari eksekutif dan legislatif dalam menyeimbangkan kepentingan tidak secara normatif tetapi terukur secara realita serta bahkan pada proses ini perlu untuk memaksimalkan peran yudikatif dan lembaga penegakan hukum (kepolisian dan KPK) dalam menjalankan dan menengahi terkait kondisi ini.

Ini perlu menjadi perhatian khusus dalam supremasi good corporate governance yang menjadi salah satu tujuan bersama negara dan untuk menjunjung tinggi kepentingan masyarakat banyak serta tercapai tujuan negara untuk menjalankan sila kelima dalam Pancasila secara nyata dan terukur.

Persoalan kedua muncul akibat mekanisme pemilihan kepala daerah dan kepala negara yaitu pada proses komunikasi dengan partai politik. Kenyataan yang terjadi adalah partai politik menunjukan kekuasaannya dan power partainya dalam menentukan calon kepala daerah dan kepala negara yang diusung. Bisa saja partai politik melupakan segala proses penjaringan yang dilakukan, karena ada hal yang lebih diutamakan yang dijadikan alasan untuk membesarkan partai politiknya dan melupakan aspirasi dari ranting partai sampai dengan perwakilan pengurus partainya dari tingkat kabupaten dan provinsi.

Ini juga menjadi momok yang terjadi sampai saat ini. Untuk menyikapi hal ini perlu kesadaran elit partai politik dalam mengukur kepentingannya dalam membesarkan partainya serta perlu kesadaran partai politik juga bahwa Negara ini bukan milik partai politik karenasampai saat ini partai politik merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai kekuasaan tertinggi di Negara ini. Ini perlu disadari sebagai satu kesatuan bangsa yang perduli terhadap kesatuan Negara Republik Indonesia yang utuh dan seutuhnya untuk kemaslahatan semua Warga Negara Indonesia.

Refleksi Demokrasi Kekinian

Negara ini besar bila setiap wilayah yang ada di Indonesia baik dari tingkat kabupaten, provinsi, pusat mampu untuk memilah antara kepentingan partai politik dan kepentingan masyarakat seutuhnya. Sangat sulit bagi  Negara untuk bisa memajukan Negara apabila ternyata semua kepala daerah mampu diatur oleh partai politik untuk kepentingan golongannya saja. Sehingga apa yang perlu diubah sudah jelas yang menjadi tolak ukurnya dan pokok permasalahannya, apabila kita mengetahui sumber penyakit sehingga seorang ahli tau bagaimana untuk menyembuhkannya step by step.

Analoginya seperti seorang dokter dengan sungguh-sungguh merawat pasien kanker stadium 4 sampai menemukan obat untuk menyembuhkannya sesuai dengan keinginan semua keluarga. Negara Indonesia sakit: Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati sebagai Dokternya dan Warga Negara Indonesia adalah keluarga besarnya yang mengharapkan kesembuhan dari Ahlinya. Pesan moralnya tetaplah cinta terhadap tanah air dan uang bukan segalanya dan uang bukan tujuan untuk menjadi pencapaian tertinggi dalam hidup.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Sekretaris Pusat kajian Anti Korupsi dan Good Governance (PARANG) Universitas Lambung Mangkurat

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.