Haruskah Gandut Dihapus dari Local Wisdom Urang Banjar?

Mencari Makna dan Mencoba Mengikis Stigma Negatif Gandut

0

SAMA dengan sebagian besar seni daerah, Gandut mulai dikategorikan sebagai budaya daerah di ambang kepunahan.

GANDUT tenggelam dalam kesan negatifnya. Para pemangku kebudayaan seakan terdiam dan tidak mampu melihat sisi positif dari Gandut ini.

Dalam diskusi yang digelar Sabtu (17/3/2018) malam, di Taman Budaya Kalsel, pemantik dan peserta diskusi sepakat bahwa Gandut sudah mendekati pintu kepunahan.

Kepunahan sendiri karena munculnya stigma negatif Gandut, minimnya Panggandutan, dan banyak generasi sekarang ini, yang tidak bisa melihat secara langsung seni Gandut, dan minim dokumentasi, baik catatan, gambar, atau film terkait Gandut, serta tidak ada penerus Panggandutan.

Sudah terlalu banyak kesenian Banjar yang hilang tanpa ada kabar beritanya, tenggelam karena persoalan stigma yang membungkusnya. Padahal Gandut bisa dipertahankan menjadi sesuatu bagian dari Local Wisdom atau kearifan lokal urang Banjar.

Gandut dalam perjalanannya memunculkan stigma negatif karena laki-laki yang turun ke arena Gandut banyak mencoba memegang Panggandutan. Selain itu, ada pula “oknum Panggandutan” yang duduk di pangkuan laki-laki. Panggandutan adalah perempuan.

Adanya aksi saling pegang dan interaksi langsung antara laki-laki dan Panggandutan, memunculkan stigma negatif telah dilanggarnya nilai-nilai moral Urang Banjar yang religius.

Selain dari nilai-nilai, Gandut sendiri memiliki kontroversi dari asal mulanya. Seperti anggapan bahwa Gandut asalnya dari kesenian Ronggeng dari Jawa, kemudian ada pula pendapat bahwa Gandut mengikuti keberadaan Mamanda, Gandut berasal dari Tonil, atau Gandut berasal dari tradisi lama Urang Banjar atau dari Babangsai dan Bakanjaran.

Pamong Budaya Taman Budaya Kalsel Mukhlis Maman (Julak Larau) mengatakan, Panggandutan harus pandai beladiri dan pandai menyanyi.

“Anda boleh turun ke arena Gandut, tapi harus bisa merebut sapu tangan yang dipegang oleh Panggandutan,” kata Julak Larau.

Makin ke depan, lanjutnya, Gandut kehilangan pakemnya, di mana lebih mengeksploitasi kaum hawa. “Hal ini yang memunculkan kesan negatif Gandut. Padahal, saya berpendapat pada awalnya Gandut adalah kesenian yang sangat menjunjung tinggi nilai moral. Laki-laki yang ingin mendapat pasangan harus melalui kerja keras dan perjuangan,” tuturnya.

Mengenai asal usul Gandut, Julak Larau berpendapat Gandut lahir dari tradisi lama Urang Banjar, dan kesenian yang didasarkan karena adanya keramaian, misalnya saat ada pesta perkawinan atau setelah panen padi. “Dan biasanya digelar saat musim kemarau karena Gandut harus dilakukan di lapangan terbuka,” bebernya.

Ada beberapa bagian dari Gandut, baik lagu atau tarian, bebernya, seperti Mangandangan, Manunggul, Mandung-mandung, dan Karoncongan. Dimana, masing-masing memiliki gerakan tersendiri. “Jadi, bisa dikatakan Gandut ada empat, dan masing-masing bagian memiliki gerakan tersendiri dan berbeda satu dengan lainnya,” imbuhnya.

Untuk nama Gandut, ia mengakui tidak menemukannya di kamus. “Saya sudah membuka beberapa kamus, tidak ada definisi khusus bagi Gandut,” katanya.

Namun, ia berpendapat, berdasarkan pendekatan linguistik, ada perubahan aksen dalam penyebutan Gandut, yang dari awalnya huruf H menjadi G.

Menurutnya, ada banyak kata dalam bahasa Banjar yang berubah aksennya, karena penggantian huruf. “Jadi, bisa saja awalnya adalah Handut berubah jadi Gandut. Di sini, H menjadi G. Handut sendiri bisa diartikan sebagai wadah atau tempat,” katanya.

Mengenai masa jaya Gandut, menurutnya ada di kisaran tahun 1950-an hingga tahun 1960-an. “Kemudian, mulai tahun 1970-an hingga sekarang, Gandut mulai hilang. Dapat dikatakan diambang kepunahan,” katanya.

Praktisi Seni Tradisional Abdul Rasyid berpendapat, Gandut hadir berbarengan dengan kemunculan seni Mamanda, jelang atau di awal abad XX.

“Awalnya sebagai bentuk kegembiraan dan berkumpulnya masyarakat di suatu keramaian. Dan, keberadaannya benar-benar sebagai tempat menjalin silaturrahmi dan bergembira. Pada tahun 1950-an, Gandut masih ditampilkan,” katanya.

Mengenai pemberian uang atau saweran bagi Panggandutan, bebernya, pada masa dulu uang ditempatkan di suatu tempat khusus.

“Tapi hal ini bergeser dari masa ke masa. Uang pemberian tidak lagi ditempatkan di suatu tempat, tapi langsung ke tangan, bahkan ke dada Panggandutan. Inilah yang akhirnya memunculkan pandangan negatif bagi Gandut karena dinilai amoral,” katanya.

Pendapat lainnya, Bagandut merupakan sebuah kesenian yang menjadi pusat berkumpulnya pemuda-pemudi Banjar beradu kepiawaian menari dan terkadang juga beradu keahlian bermain pencak silat atau kuntau.

Puluhan tahun yang lalu masyarakat di Pahuluan (merujuk pada daerah hulu Kalsel, terdiri dari enam kabupaten, yakni Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong) mengenal sebuah kesenian yang menjadi wadah ekpresi diri, hiburan, bahkan sampai persoalan mencari jodoh. Kesenian yang sangat kuat dimensi kebersamaan ini bernama Gandut.

Kesenian ekspresif ini menghadirkan beberapa Panggandutan (penari perempuan) yang tidak hanya lihai menari namun juga mahir kuntau. Tari-tari gandut seperti Tirik, Lalan, Mandung-Mandung dan Mangandangan menjadi sarana penghubung antar  Panggandutan dan para lelaki yang berani turun ke Sarubung  (tenda tradisional masyarakat Banjar). Tidak sembarang lelaki yang berani turun gelanggang Gandut, karena mereka harus memiliki kemampuan menari yang mumpuni agar tidak kalah langkah dengan para  Panggandutan.

Gandut menjadi salah satu sarana pergaulan namun karena keintiman dan keleluasaan gerak yang akhirnya sangat mudah bersentuhan, membuat tarian ini menjadi dipandang tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Banjar yang religius.(jejakrekam)

Penulis Andi Oktaviani
Editor Amdi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.