Cerita Keris Abu Gagang dan Pangeran Hidayatullah di Tanah Pengasingan

0

DENGAN kekuasan di Kalimantan Selatan hingga membentang sebagian Kalimantan Timur hingga Kalimantan Tengah, bahkan memasuki wilayah Kalimantan Barat, Kesultanan Banjar sedari dulu dikenal kaya raya. Tak mengherankan, jika legenda atau kisah istana bertakhtakan logam mulia dan batu permata menjadi sebuah keniscayaan.

CERITA yang cukup runut seperti dituturkan Kapten Daniel Beeckman. Perwira yang diutus kamar dagang Kerajaan Inggris, bernama East India Company (EIC) dengan kapal layarnya, Eagle Galley mencatat decak kagumnya terhadap kekayaan yang dimilik sang Sultan Banjar.

Pelayaran Kapten Daniel Beeckman yang mengarungi samudera bermula dari London, Inggris pada 12 Oktober 1713, baru bisa berlabuh di Pelabuhan Banjarmasin pada 29 Juni 1714. Ketika itu, dalam catatan hariannya, Kapten Daniel Beeckman menceritakan sebelum membayar harga lada yang dibeli dari Pangeran Banjar yang berkedudukan di kawasan Pulau Tatas (kini kawasan Masjid Raya Sabillal Muhtadin).

Nah, ketika menyerahkan pembayaran dengan mata uang dolar Spanyol atas 5.000 pikul lada, Beeckman sempat menghadiahkan sebuah jam tangan mewah terbuat dari perak kepada sang pangeran dalam sebuah jamuan makan malam di Istana Sultan Banjar.

Begitu menyaksikan begitu glamornya sang pangeran, Beeckman pun bertutur. “Pangeran ini mengenakan pakaian khas daerah semacam mantel pas badan, tanpa kemeja. Di atasnya menggunakan cawat (kain yang dipasang di pinggang), dan menggantung hingga ke lututnya,” tulis Beeckman, dalam catatan hariannya seperti tertuang dalam buku Kalimantan Tempo Doeloe yang dikutip Victor T King.

Menurut Beeckman, walau tangan, betis, dan kaki sang pangeran ini telanjang, justru kekagumanan tertuju saat melihat di sebelah kiri dalam ikat pinggang terselip keris berhiaskan berlian.

Tak sampai di situ, Beeckman kembali takjub, ketika melihat semua perabot rumah sang pangeran itu terbuat dari emas. Wadah untuk menginang (panginangan) ditempa dari emas terbaik, bertabur batu mulia besar. “Sebagiannya dari berlian, selebihnya saya tak tahu,” ucap Beeckman.

Nah, itu sebagian kecil dari cerita para penjelajah Eropa saat bertatap muka dengan sang penguasa Tanah Banjar. Tak mengherankan, jika Kesultanan Banjar yang menjadi penghasil batu-batu mulia seperti intan berlian sudah kesohor seantero dunia.

Cerita itu pun diakuri Pangeran Yusufillah Al Banjary. Salah satu keturunan Pangeran Hidayatullah yang dibuang Belanda ke Cianjur, Jawa Barat juga menceritakan kemegahan keris pegangan sang putra mahkota Kesultanan Banjar. Sebuah keris berkelok tiga yang kini disimpan dalam sebuah kotak kayu, terus dijaga keturunan Pangeran Hidayatullah.

“Dulu, keris Abu Gagang yang hanya boleh dipegang seorang Raja Banjar, warisan dari Sultan Suriansyah bertakhtakan emas dan berlian. Namun, saat zaman Jepang, permatanya telah dijual untuk biaya hidup anak cucu Pangeran Hidayatullah,” ucap Pangeran Yusufillah Al Banjary saat diwawancarai jejakrekam.com, di Cikampek, Jawa Barat, Senin (19/3/2018).

Pria yang akrab dipanggil Ceppy ini pun menuturkan keris Abu Gagang itu merupakan salah satu regalia Kesultanan Banjar, yang harus dipegang seorang raja yang berkuasa. Belum lagi, stempel dari batu dengan lilin khas dalam surat-surat resmi Raja Banjar.

Pangeran Hidayatullah pun akhirnya dikenal dengan sebutan ulama berjubah kuning, ketika pergi beribadah ke Masjid Agung Cianjur. Saat menjalani masa pembuangan di Cianjur dimulai pada 1862, Pangeran Hidayatullah membawa serta beberapa regalia Kesultanan Banjar, termasuk surat wasiat asli dari sang kakek, Sultan Adam. Hingga kini, dokumen asli bertuliskan Arab Melayu, serta regalia Kesultanan Banjar tersimpan apik di tangan para pewaris Pangeran Hidayatullah.

Selama 42 tahun, Pangeran Hidayatullah dengan pengawasan ketat kolonial Belanda dengan stempel hoofdopstandeling atau kepala pemberontak ketika Perang Banjar berkecamuk. Versi Belanda yang dituangkan veteran Perang Banjar, W.A van Rees, perang berbiaya besar bahkan membuat Belanda menjadi bahan olokan hingga dikucilkan masyarakat Eropa akibat taktik licik dan ‘barbar’ terhadap para pejuang Banjar.

Dari catatan W.A van Rees yang dituangkannya dalam buku De Banjermasinche Krijg 1859-1863, Pangeran Hidayatullah dianggap paling berbahaya di antara para tokoh pejuang Banjar lainnya. Untuk merendam aksi perlawanan pejuang Banjar, Belanda terpaksa harus mengirim 3.000 serdadu, ratusan senjata berat, dan 22 kapal perang ke palagan Banjar.

Ditopang serdadu terlatih dan alat perang modern di eranya, justru membuat Belanda kewalahan dengan taktik perang gerilya yang dijalankan para pendukung Pangeran Hidayatullah, terlebih lagi strategi bumihangus, membuat biaya perang makin membengkak.

Berkedok perundingan damai, Pangeran Hidayatullah pun dijebak dan ditangkap. Hingga pada 3 Maret 1862, pukul 9 malam, Kapal Bali membawa Pangeran Hidayatullah dan pengikutnya dari Banjarmasin menuju tanah pengasingan di Pulau Jawa. Secara rinci, kronologis ini diungkap Gusti Mayur dalam bukunya Perang Banjar.

Di kota yang berada di kaki Gunung Gemuruh, Cianjur, akhirnya Pangeran Hidayatullah dan para pengikutnya bermukim di bawah pengawasan ketat Pemerintah Kolonial Belanda. Hingga pada 24 November 1904, Pangeran Hidayatullah mangkat dalam usia 82 tahun. Jasadnya dikebumikan di sebuah dataran tinggi wilayah Sawahgede, Cianjur.

“Sebetulnya yang lebih awal dibuang ke Bogor, justru Pangeran Tamjidillah II dibandingkan Pangeran Hidayatulah.  Dari Bogor, Pangeran Tamjidillah akhirnya menemui Pangeran Hidayatullah, sesama keluarga Kesultanan Banjar di Cianjur, hingga akhirnya menjalani masa pengasingan,” papar Ceppy.

Pihak keluarga keturunan Pangeran Hidayatullah kembali menegaskan bahwa Pangeran Tamjidillah bukanlah pengkhianat karena pro Belanda. Semua yang dilakukan kedua tokoh yang seolah-olah berseberangan itu merupakan taktik dalam melawan kolonialisme Belanda untuk menguasai kekayaan alam Tanah Banjar.

Menurut Ceppy, distorsi sejarah Perang Banjar hingga kini masih mengemuka di tengah publik, khususnya di masyarakat Kalimantan Selatan. Untuk itu, Ceppy pun berharap ada goresan pena sejarah yang benar-benar membuka fakta sesungguhnya di balik Perang Banjar, sehingga publik bisa mendapat pencerahan yang mendekati kebenaran peristiwa yang sudah berlangsung ratusan tahun lalu itu.(jejakrekam)

 

Pencarian populer:gagang keris,keris kerajaan banjar kalung,sejarah keris trkenal dibanjar
Penulis Syahminan
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.