Jejak Kampung Amerong, Perkampungan Elit Eropa di Banjarmasin

0

BAGI yang pernah berkunjung ke Negeri Tulip (Belanda), pasti cukup familiar dengan nama Desa Amerongen. Sebuah desa di Provinsi Utrecht, Belanda. Desa yang juga menjadi bagian dari Kotamadya Utrechtse Heuvelrug, terletak di sekitar Amerongse Berg dekat Nederrijn, di sebelah tenggara wilayah ini. Utrechtse Heuvelrug kini menjelma menjadi taman nasional. Berdasar hasil sensus awal 2015, Amerongen berpenduduk 5.166 jiwa.

SEKRETARIS Pusat Kajian Budaya dan Sejarah Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Mansyur pun mengungkapkan banyak hal yang menarik di Amerongen. Sebut saja, Kasteel Amerongen, yang terletak persis di sebelah selatan desa. Bangunan ini dihancurkan sewaktu Perancis menguasai Belanda pada 1672.  Bahkan, kaisar terakhir Jerman Wilhelm II tercatat menghabiskan waktu satu setengah tahun di istana, sebelum pindah ke Huize Doorn.

“Pada 28 November 1918, Wilhem II menandatangani janji pengabdiannya di Castle Amerongen. Tak hanya memiliki banyak kanal, di wilayah sekitar Amerongen juga terdapat lanskap alam seperti Amerongse Berg, Hazenberg, Vlakke Berg, Geerenberg, Zuilensteinse Berg dan Galgenberg,” tutur Mansyur kepada jejakrekam.com, Minggu (18/3/2018).

Menurut dia, catatan historis maupun keindahan lanskap alam inilah yang menginspirasi munculnya penamaan yang sama terutama di tanah jajahan di Hindia Belanda. Sebut saja, Benteng Amerongen, tempat pertahanan yang diserang oleh Tuanku Tambusai pada 1833, dalam perangnya melalui aksi pendudukan Belanda di daerah Rao dan Mandailing (Sumatera Utara).

Lain lagi di Banjarmasin. Dosen sejarah FKIP ULM Ini mengungkapkan di ibukota Borneo bagian selatan di masa pemerintahan terkontrol dari Batavia (Jakarta), terdapat nama Kampoeng Amerongen atau Amerong. Bahkan, beber dia, sejawaran kawakan Banjar, Prof Idwar Saleh dalam bukunya Bandjermasin (1981) mencatat nama Kampung Amarong/Amerong/Amerongen diambil dari nama sebuah desa di Negeri Belanda dekat Utrecht.

Letak kampung ini bersebelahan dengan Pulau Tatas. Sebuah delta yang ketika itu terkoneksi dengan jembatan dibangun sebuah benteng berstruktur campuran bata beton dan kayu bernama Benteng Tatas (Fort Tatas)-kini kawasan ini berdiri masjid nan megah, Masjid Raya Sabilal Muhtadin.

“Sedangkan, kampung para serdadu dan petinggi militer dan sipil pemerintahan kolonial Belanda berada di Kampung Amerong. Lokasinya diperkirakan berada di sekitar Kantor Gubernur Kalsel, Jalan Sudirman, sekarang,” ungkap Mansyur.

Magister sejarah jebolan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini mengakui ketenaran Amerongen juga sehebat para perwira Belanda yang berkarir di Hindia Belanda sebagai ambtenaar. Sebut saja, W.F.H. van Amerom (West Coast of Sumatra–Governor), Baron Henri Robert Joost Waldemar Taets van Amerongen (meninggal 16 Oktober 1920 di Surabaya), Baron Jan Willem Adriaan Taets van Amerongen (meninggal 18 September 1944 di Bengkulu), Barones Xenia Anna Maria Taets van Amerongen (lahir di Yogyakarta dan meninggal 16 Januari 1975 di Hilversum), serta tokoh lainnya. Demikian klan yang berasal dari desa kecil di Belanda seperti dicatat Jan van Riebeeck zijn voor en nageslacht Den Haag, 1952.

Namun, masih menurut Mansyur, pada sumber lainnya dipaparkan tokoh dari Amerongen terkenal adalah anggota resimen pasukan elit The Dutch Indian Brigade, Letkol G.G. Baron Taets van Amerongen.  Pasukan ini berangkat ke Hindia Belanda pada Oktober dan November 1815. Kemudian tercatat nama korban perang tahun 1943 yang dibunuh tentara pendudukan Jepang di Tatas, Banjarmasin yakni Albert Lodewijk Alexander van Amerom (1889-1943).

Lantas bagaimana dengan Kampung Amerong di Banjarmasin? Mansyur memaparkan berdasar catatan tertua mengenai nama Kampung Amerong, Banjarmasin muncul pada 1756. Itu ketika Belanda mendirikan benteng dari kayu yang diberi nama Fort Tatas.

“Urang Banjar umumnya menggelari benteng ini dengan nama Loji (dari Bahasa Belanda: Loge), sehingga bernama Kampung Loji. Selain Kampung Loji terdapat kampung lain seperti Kampung Cina, Kampung Antasan (besar dan kecil) hingga Kampung Amarong (Amerongen),” beber Sammy, sapaan akrab dosen yang rajin riset sejarah lokal Kalimantan ini.

Ia menerangkan pada 1838, kampung-kampung di wilayah ibukota Banjarmasin (Kota Gubernemen) mencakup Kampung Cina, Kampung Loji, Antasan Besar, Amarong, dan Dekween yang meliputi Kampung Gayam, Banyiur, Antasan Kecil, Rawa Kween, Binjai, Jawa Baru, Sungai Baru, Pekapuran, Kelayan Besar, Bagau, Bahaur, Basirih dan Van Thuijl. Jumlah penduduknya sekitar 300 jiwa seperti tercatat dalam sumber sezaman, Tijdschrift voor Neerland’s Indie (Jurnal Hindia Timur) tahun 1838.

Dalam perkembangannya pada 1849, Sammy juga mengutip hipotesis Idwar Saleh (1981) yang mencatat bahwa Kampung Amarong menjadi tempat kediaman Resident Belanda di Banjarmasin. Pada bagian depan rumah residen, sesudah halaman dan jalan (Resident de Haan Wee/Hanweeg) mengalir Sungai Martapura. “Amerongan merupakan kampung terbesar di seberang Kampung Sungai Mesa, yang dihuni para bangsawan Kerajaan Banjar, ketika itu,” ucapnya

Bahkan, untuk pembangunan rumah residen ini baru terealisasi ketika kebijakan yang diambil Raad van Indie setelah terbitnya Staatblad (Lembaran Negara) Tahun 1849. Dalam lembaran negara tersebut juga dipaparkan bahwa Banjarmasin (Pulau Tatas) menjadi ibukota Divisi Selatan dan Timur Borneo (Borneo Zuid en Ooster Afddeling).

Menurut Mansyur, dalam tulisan Pieter Johannes Veth (1869) mengungkapkan Amarong adalah distrik di wilayah Bornéo’s Zuid-en-Oosterafedeling di Tatas, Kota Bandjermasin. Demikian halnya dimuat dalam Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Inde. Rumah-rumah milik kantor pemerintah, seperti kantor, gudang garam dan batubara, terdiri dari bangunan yang terbuat dari bambu atau kayu.

Diakui Sammy, sebagai bagian dari strategi politik, Pemerintah Hindia Belanda mulai menerapkan segregasi (pemisahan) pemukiman penduduk berdasarkan etnis. Pusat benteng pertahanan terletak di Tatas. Selanjutnya, sebagai pusat kota adalah pemukiman warga Eropa, khususnya di Jalan Resident de Haanweg (Jalan Lambung Mangkurat). Sementara pemukiman tentara Belanda dipusatkan Kampung Amerongan. Wilayah pemukiman lain yang berdekatan adalah wilayah pemukim dari etnis Jawa dengan sebutan Kampung Jawa.

Kemudian di seberangnya, terdapat pemukiman di tepian Sungai Martapura (sekarang Jalan Pierre Tendean) yang disebut Chineezen Kamp atau Kampung Pecinan. Sementara di wilayah Pasar Lama, dihuni etnis asal Sulawesi yakni Kampung Bugis. Selanjutnya, wilayah Antasan Kecil Barat yang menjadi kawasan kediaman etnis Arab (Kampung Arab), serta beberapa kampung lainnya.

Pembangunan rumah residen di Kampung Amerongan, yang di sebelah hilirnya terdapat Benteng Tatas, memang cukup strategis. Pemerintah Hindia Belanda dapat melakukan pengawasan terhadap aktivitas Sultan Tamjidillah II yang bermukim di Istana (Dalem) Kampung Keraton (Sungai Mesa).

“Kampung Keraton ini adalah nama awal sebelum diubah menjadi Kampung Sungai Mesa yang didirikan Kiai Maesa Jaladri (Anang putera Tumenggung Suta Dipa). Pada Kampung Sungai Mesa juga terdapat kediaman Menteri Besar Kiai (Mesa) Maesa Jaladri dan Balai Kaca,” tutur Sammy.

Hingga, menurut mantan wartawan ini, Kampung Amerong pada dekade tahun 1900-an, tidak hanya ditempati oleh Residen, tetapi menjadi lokasi pemukiman atau perkampungan Eropa alias “kulit putih”. Cukup pantas, jika Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan kebijakan penanaman pepohonan di sepanjang jalan tersebut sehingga hijau dan rindang.

“Pada masa Hindia Belanda (di sekitar lokasi Pembangunan Tugu Nol Kilometer Banjarmasin sekarang), terdapat tugu Peringatan Perang Banjar. Tugu dengan arsitektur kolonial bergaya Gothic ini sebagai simbol kemenangan Pemerintah Hindia Belanda atas Perang Banjar dalam versi dokumen Belanda hanya berlangsung empat tahun (1859-1863),” beber Sammy lagi.

Pada tahun 1918-1919, Banjarmasin selain sebagai ibukota Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo juga berstatus Gemeente-Raad. Karena itulah, jalan di Kampung Amerong diperbaiki. Terdapat banyak versi pendapat bahwa nama jalan yang melintas di Kampung Amerong ini dinamakan Jalan Karel van de Heijden.

“Kalau berdasar Peta Kota Besar Bandjarmasin yang dibuat tahun 1970-an, setelah masa kemerdekaan jalan ini berubah nama menjadi Jalan Tugu dan terakhir bernama Jalan Jenderal Sudirman, Kelurahan Antasan Besar, Kecamatan Banjarmasin Tengah,” pungkasnya.(jejakrekam)

Pencarian populer:foto jaman belanda di banjarmasin,https://jejakrekam com/2018/03/18/jejak-kampung-amerong-perkampungan-elit-eropa-di-banjarmasin/,foto kampung-kampung dibanjarmasin tahun 1970an
Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.