Ketika Keluarga Belanda Mencari Makam Leluhurnya di Eks Pekuburan Kamboja

0

SEIRING pengakuan Ratu Belanda Juliana dalam sebuah sidang di Istana Amsterdam atas kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949 saat penyerahan kedaulatan (soevenereiniteitsoverdracht) di hadapan delegasi Republik Indonesia Serikat (RIS) pimpinan Perdana Menteri Mohammad Hatta, seiring itu pula aset-aset milik Belanda beralih ke tangan menjadi milik Indonesia.

TENTU saja, termasuk kompleks Pekuburan Kamboja atau Nieuw Kerkhof yang dulunya luasnya lebih dari 4 hektare seperti diklaim Pemkot Banjarmasin. Sebelum dijadikan ruang terbuka hijau (RTH), koridor Nieuw Kerkhof itu juga mencakup kawasan Puskesmas Cempaka, hingga ke gedung bekas Bank Panin, dan berbatasan dengan Kampung Teluk Dalam. Termasuk, kawasan pekuburan itu membentang hingga lahan yang kini berdiri Masjid Al Jihad dan Pasar Teluk Dalam.

Untuk mengelola pekuburan Nasrani di pusat kota di Jalan Anang Adenansi (dulu bernama Jalan Kamboja), berdasar Staatblad 121 tentang Ordernering, Nieuw Kerkhof atau Pekuburan Kamboja diserahkan ke ahli waris warga keturunan Belanda di Banjarmasin. Hingga, akhirnya 8 gereja di Banjarmasin membentuk Perkumpulan Gereja-Gereja di Banjarmasin, dari kalangan penganut Kristen Protestan dan Katolik pada 1950. Agar lebih kuat, para petinggi gereja sepakat membentuk badan hukum bernama Yayasan Sejahtera Abadi pada 1985.

Sebetulnya, kerkhofan tak hanya ada di Jalan Anang Adenansi yang harus dikelola perkumpulan gereja-gereja tersebut. Dulu, juga tersebar di Kota Amuntai, Kota Kandangan yang kini berubah menjadi Lapangan Tenis Tumpang Talu, lalu lahan yang dibebaskan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) menjadi Terminal Barabai. Terakhir, pekuburan Belanda ada di Guntung Payung, Banjarbaru, sebelum akhirnya didirikan Asrama Haji Banjarbaru.

Pembongkaran Pekuburan Kamboja itu dimulai sejak era Walikotamadya Banjarmasin Riduan Iman periode 1971-1973, dengan persyaratan pemakaman baru bagi warga Nasrani itu harus berada tidak boleh lebih dari 30 kilometer dari Kota Banjarmasin.

Baru, realisasi pembongkaran dan pemindahan ini terlaksana di era Walikotamadya Sadjoko yang memerintah selama 10 tahun di Balai Kota pada 1989-1999. Dimotori 8 gereja seperti Gereja Maranatha, Gereja Epphata, HKBP dan Gereja Katedral Banjarmasin yang membentuk Yayasan Sejahtera Abdi, sempat menolak. Namun, Pemkot Banjarmasin yang ketika itu didukung aparat militer, akhirnya berhasil menggusur pekuburan lawas yang ‘dihuni’ jasad  berbagai etnis, baik keturunan Eropa seperti Belanda, Amerika Serikat, serta penduduk lokal.

Walhasil pada November 1993, selama jangka waktu dua pekan, semua pusara khas arsitektur gotik dan lainnya, dipindahkan dari Pekuburan Kamboja ke Pulau Beruang, Jalan Achmad Yani Km 21, Banjarbaru. Ternyata, kondisi Pekuburan Nasrani di Pulau Beruang itu tak seperti yang dibayangkan para keluarga Belanda, ketika datang ke Banjarmasin.

Keluarga besar Dessire dan Fred, Fredrick, Tjhi Menl, Charlie, Anoun dan Poginem rela datang jauh-jauh dari Negeri Belanda untuk sekadar berziarah ke makam leluhurnya. Mereka pun terkejut ketika Nieuw Kerkhof (Pekuburan Kamboja) telah disulap menjadi ruang terbuka hijau (RTH).

Ditemani Anang Rosadi Adenansi yang juga beristrikan wanita keturunan Belanda, keluarga besar Dessire dan Fred asal Belanda ingin mengenang masa kecilnya di Banua. “Dessire bersama sang suami Fred, memang lahir di Jalan Pulau Laut, Banjarmasin. Jadi, mereka datang ke Banjarmasin untuk menjenguk makam leluhurnya di Pekuburan Kamboja. Ternyata, mereka terkejut setelah mendengar kabar pemakaman itu telah dipindah ke Pulau Beruang,” ucap Anang Rosadi Adenansi menceritanya kondisi kekinian yang terjadi kepada keluarga besar Dessire dan Fred asal Belanda.

Mantan anggota DPRD Kalsel ini pun menceritakan adanya pembebasan lahan pekuburan Belanda dan warga Nasrani untuk disulap menjadi RTH Kamboja. “Namun, dari gesturnya, ternyata mereka sangat menyesalkan. Apalagi, ternyata bentuk kuburan asli di Pulau Beruang jauh berbeda dengan kondisi asli saat berada di Pekuburan Kamboja,” kata Anang Rosadi kepada jejakrekam.com, Rabu (14/3/2018) malam.

Diakui Anang Rosadi, sebagian besar keluarga besar Dessire dan Fred juga telah membaur dengan warga Banjar, serta Kapuas. Mereka pun telah kawin-mawin dengan penduduk lokal, hingga melahirkan anak cucu keturunan ‘blesteran’ Belanda, termasuk istri Anang Rosadi sendiri.

“Sewaktu ada pemberontakan di Banjarmasin, keluarga besar Dessire dan Fred memang secara suka rela kembali ke Belanda. Namun, sebagian ada yang memilih tetap tinggal di Banjarmasin dan Kapuas, Kalimantan Tengah, hingga akhirnya kawin dengan penduduk lokal. Mereka pun menjadi Warga Negara Indonesia,” papar Anang Rosadi.

Menariknya, baik Dessire maupun Fred kepada Anang Rosadi mengungkapkan rasa penyesalan ketika Pekuburan Kamboja telah beralihfungsi menjadi ruang publik. “Kenapa harus memindahkan pekuburan itu? Padahal, di Kalimantan Selatan ini masih banyak tanah, kenapa harus memindah orang walaupun sudah meninggal?” ucap Dessire, diamini keluarga besar dari Belanda.

Dia pun membandingkan kebijakan yang diterapkan di Negeri Belanda lebih menghormati sebuah pemakaman untuk dijaga para ahli warisnya. Namun, Dessire dan yang lainnya pun akhirnya maklum dengan apa yang telah ditempuh Pemkot Banjarmasin. “Ya, mereka sadar telah meninggalkan Indonesia. Jadi, mereka tak ingin membuka cerita masa lalu yang justru akan membuka luka lama antara hubungan Belanda dengan Indonesia,”  kata Anang Rosadi.(jejakrekam)

 

 

Pencarian populer:foto kuburan belanda jadul di banjarmsin,https://jejakrekam com/2018/03/14/ketika-keluarga-belanda-mencari-makam-leluhurnya-di-eks-pekuburan-kamboja/,keturunan belanda di amuntai,keturunan belanda di banjarmsin,kuburan belanda di banjarmasin
Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.