Hikayat Brandweer dalam Pergulatan Bencana Kebakaran Banjarmasin

0

JULUKAN kota seribu sungai yang disematkan kepada Banjarmasin, seakan membawa misteri tersendiri. Apalagi, dalam budaya material kota yang pernah menjadi pusat kendali politik Borneo ini, dikenal dengan budaya sungai dan alirannya di bawah ancaman bencana kebakaran yang selalu mengintai, ketika musim kemarau datang.

ISTILAH anjir atau saluran primer penghubung dua sungai, kemudian ada handil atau saluran sekunder bermuara di sungai atau anjir, hingga saka sebagai sarana transportasi air, terkoneksi dengan dua sungai besar sebagai induknya, Sungai Barito dan Sungai Martapura yang membelah kota. Warisan budaya air dalam kultur Banjar, tetap bertahan hingga kini.

Dalam catatan Amir Hasan Kiai Bondan dalam bukunya Suluh Sedjarah Kalimantan (1953), mengabarkan pada 1924 dan 1927, masyarakat Banjarmasin sudah membangun ratusan buah handil dan panjang mencapai puluhah kilometer terutama di daerah Kelayan dan Pemurus.

Koneksitas aliran sungai ini tentu sangat erat dengan ancaman bencana yang mengancam ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Ya, intensitas kebakaran cukup tinggi dan selalu menghantui warga kota, terutama saat musim kemarau panjang melanda.

Berdasar rekor yang dicatat Museum Rekor Indonesia (MURI), dua kali kota ini menyabet gelar dan pengakuan nasional sebagai kota terbanyak memiliki armada dan relawan pemadam kebakaran. Sebut saja, pada 26 September 2004, dengan catatan rekor barisan mobil pemadam kebakaran terpanjang se-Indonesia dan Asia Tenggara. Berselang 11 tahun, tepatnya pada 23 Agustus 2015, kembali dicatat MURI atas rekor barisan pemadam kebakaran swadaya masyarkat erbanyak di Indonesia, namun kini menembus level Asia, bukan lagi berskala Asia Tenggara.

“Kalau dari pemberitaan Kompas edisi 14 September 2012, jelas  pada 1 Maret, damkar di Indonesia telah berusia 99 tahun. Begitupula, Banjarmasin memiliki perjalanan sejarah panjang dengan keberadaan damkarnya yang sudah berusia hampir seabad,” ucap Sekretaris Pusat Budaya dan Sejarah Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur kepada jejakrekam.com, Jumat (9/3/2018).

Menurutnya, goresan historis eksisten barisan damkar di Indonesia tak terlepas dari Kota Surabaya yang menduduki posisi paling tua di Indonesia, sebelumnya bernama Hindia Belanda di era kolonialisme.

Sebagai bukti otentik, Mansyur juga menyodorkan tulisan Von Faber, dalam Oud Sorabaia, Uitgegeven Doorde Gemeente Soerabaia, berdirinya de Brandweer (pemadam kebakaran) Surabaya sudah ada jauh sebelum de Brandweer Batavia. Sebab, pada 1931, di Kota Surabaya urusan de Brandweer mulai diorganisir oleh Pemerintah Hindia Belanda pada  4 September 1810.

“Baru kemudian, Batavia (Jakarta) yang mulai diorganisir tahun 1873. Urusan pemadaman kebakaran ini secara hukum dibentuk Resident op Batavia melalui ketentuan Reglement op de Brandweer in de Afdeeling stad Vorsteden Van Batavia,” ucapnya .

Hal itu dipicu terjadi kebakaran besar di Kampung Kramat-Kwitang yang tidak dapat diatasi pemerintah kota pada saat itu. Kondisi itu mendorong pemerintah atau Gemeente op de Brandweer, pada 25 Januari 1915 mengeluarkan aturan Reglement op de Brandweer (Peraturan tentang Pemadam Kebakaran). Lalu direvisi lagi dengan aturan baru pada 4 Oktober 1917, dengan diterbitkannya ketentuan Staadsblad 1917, Nomor 602.
Lantas bagaimana dengan Banjarmasin? Dosen program studi sejarah FKIP ULM ini mengungkapkan dari catatan Vereeniging voor Locale Belangen, tahun 1920 bisa memberikan jawabannya.

“Jadi, brandweer atau pemadam kebakaran dibentuk sejak Banjarmasin berstatus Gemeente (Kotamadya) atau dalam dialek Banjar dikenal dengan Haminta Banjarmasin, tahun 1919. Berbeda jarak 90 tahun setelah dibentuk di Surabaya. Berdasarkan pertemuan dari Raad van Indie 31 Oktober 1919, kemudian 5 Februari dan 6 Agustus 1920, Dewan tersebut menerbitkan peraturan bernama Reglement op de Brandweer in de gemeente Bandjermasin (Peraturan tentang Pemadam Kebakaran di Kotamadya Bandjermasin),” papar Mansyur.

Masih menurut magister sejarah Undip Semarang ini, regulasi itu kemudian dilengkapi dengan peraturan tambahan yang ditetapkan tanggal 20 Oktober 1920, Nomor 85. “Pembentukan brandweer atau pemadam kebakaran tentu dilatari kondisi pemukiman warga di Banjarmasin yang umumnya berbahan kayu. Ya, seperti ditulis Idwar Saleh (1981), saat musim kemarau hampir tiap waktu ada bahaya kebakaran. Hingga pada 1919-1920-an, Banjarmasin mulai berkenalan dengan mesin pompa kebakaran,” katanya.

Untuk memperkuat argumennya, Mansyur juga menyodorkan bunyi Staatsblad van Nederlandsch-Indie (Lembaran Negara Hindia Belanda) tahun 1816-1920, terbitan Dutch East Indies, yang dirilis A.D. Schinkel tahun 1920. “Pada pasal lima, dikemukakan bahwa terdapat badan pemadam kebakaran dan brigade pemadam kebakaran lokal yang menanggulangi kebakaran dengan semprotan ke titik api. Kemudian alat-alat pemadam kebakaran diserahkan tanpa ganti rugi dari pemerintah kepada Gemeente (Kotamadya) Banjarmasin,” beber Mansyur.

Mengenai posisi pemadam kebakaran dalam struktur birokrasi Dewan Kota, terdapat sumber lain yakni aturan Lembaran Negara Staatsblad van Nederlandsch Indie, tahun 1919, yang dirangkum G. A. N. Scheltema de Heere. “Aturan ini dipublikasikan Ter Drukkerij van AD. Schinkel, tahun 1920. Di Kota Banjarmasin, terdapat dinas pasar, penerangan jalan, layanan pemadam kebakaran, kuburan yang perlu mendapat dukungan finansial karena biaya operasionalnya yang besar,” beber Mansyur.

Nah, menurut dia, dalam kasus khusus, pekerjaan dinas ini dapat dilakukan orang lokal atas permintaan atau persetujuan Dewan Kota. Lantas berapa anggaran untuk pemadam kebakaran? Mansyur mengutip apa yang dilansir Roelof Broersma, dalam Handel en bedrijf in Zuid- en Oost-Borneo, G. Naeff, tahun 1927, pemadam kebakaran di Gemeente (Kotamadya) Banjarmasin tahun 1927 mendapatkan jatah anggaran 9.900 gulden per tahun.

“Jadi, sebelum 1957-1969, organisasi pemadam kebakaran masih menggunakan nomenklatur Barisan Pemadam Kebakaran (BPK),” katanya. Kemudian, orientasi tugas pokok BPK sesuai namanya terfokus pada upaya pemadaman kebakaran.

Dalam dinamikanya, terdapat nama Damkar (Pemadam Kebakaran), BPK (Barisan Pemadam Kebakaran), Balakar (Bala Bantuan Kebakaran), KOMDAR (Komunikasi Darat), serta Himpunan Pemuda Pemudi Indonesia (HIPPINDO), Swasta Pribumi.

Menurut Mansyur, dalam beberapa dekade, terdapat puluhan bahkan ratusan peristiwa kebakaran besar yang ditangani pemadam kebakaran di Banjarmasin. Sebut saja, kebakaran besar tahun 1976 dan 1978 yang menghanguskan ribuan rumah membuat pihak Kelurahan Seberang Mesjid, dan sebagian warga di Banjarmasin, hingga akhir memicu pendirian kelompok pemadam kebakaran swadaya.

Sementara itu, anggota BPK Swasta Pribumi, Abdul Barkati yang pernah diwawancara jejakrekam.com, pada 25 Maret 2017 mengakui kebakaran hebat yang melanda Pekauman, Kecamatan Banjarmasin Selatan memicu kelahiran armada dan barisan relawan damkar di Banjarmasin.

Pria yang akrab disapa Kai Alus ini mengakui waktu itu, hanya ada tiga armada damkar besar beroperasi yakni milik Pemkodya Banjarmasin, armada damkar yang didirikan warga Tionghoa bernama Tjung Hua Tjung Hui hingga berganti dengan nama HIPPINDO.

“Bayangkan, tiga armada ini harus melayani seluruh wilayah kota. Nah, waktu Walikota Kamaruddin, kemudian banyak berdiri pemadam kebakaran swadaya masyarakat di Banjarmasin,” ucapnya.

Hingga terus berlanjut di era 1980-an. Banyak berdiri PMK swadaya masyarakat seperti di Seberang Masjid dengan alat pemadam kebakaran portable. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kondisi Banjarmasin yang masih memiliki jaringan sungai, terutama saka dan handil di tengah pemukiman penduduk yang padat.

“Ya, sepertinya menjadi relawan pemadam kebakaran memberi kepuasan tersendiri. Para relawan bisa menolong sesama, apalagi kalau berhasil memadamkan api tanpa membuat penduduk terluka atau kehilangan harta benda. Ini kepuasan yang luar biasa bagi mereka,” ucap Mansyur, yang juga peneliti sejarah Banjar asal FKIP ULM ini.(jejakrekam)

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.