Tolak Tambang, Warga HST Gelar Nonbar Film Bara di Bongkahan Batu

0

BENTUK perlawanan rencana penambangan di Pegunungan Meratus terus menggelora di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST). Untuk memompa semangat juang, acara nonton bareng film Bara di Bongkahan Batu garapan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Friends of the Earth, European Climate Foundation, yang diproduseri Budi ‘Dayak’ Kurniawan dari Padma Borneo Raya Media, jadi tontontan wajib.

ACARA nonton bareng (nonbar) pun digelar serentak di 11 kecamatan yang ada di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST). Antusiasme warga HST pun terlihat, termasuk di Kota Barabai. Lewat media film, diharapkan masyarakat terus tersadarkan pentingnya menjaga lingkungan hidup dan hutan Pegunungan Meratus. Kini, ancaman datang ketika izin tambang yang diberikan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) bagi PT Mantimin Coal Mining (MCM) dalam skema industri ekstraktif.

Usai menonton, warga HST menyakini jika Pegunungan Meratus ditambang akan menyebabkan bencana lingkungan besar bagi daerah, dan Kalsel pada umumnya.

Film Bara di Bongkahan Batu ini menceritakan sejarah pertama kali batubara ini ditambang di perut bumi Kalimantan Selatan, ketika Gubernur Jenderal Belanda Rachussen datang ke Pengaron, Kabupaten Banjar. Dia meresmikan tambang pertama di Hindia Belanda bernama Oranje Nassau atau Benteng Emas pada 28 September  1848.

Ternyata, perilaku tambang batubara di Kalimantan Selatan ini tak jauh berbeda, bahkan jauh lebih buruk dibandingkan Belanda, yang tersaji dalam film yang digarap serius dengan teknik-teknik investigasi para aktivis lingkungan dan jurnalis kawakan.

“Meratus adalah benteng terakhir Kalimantan Selatan, apalagi ditambang daerah ini tinggal menunggu waktu menuju kehancuran,” ucap Budi ‘Dayak’ Kurniawan kepada jejakrekam.com, Selasa (6/3/2018).

Menurut jurnalis senior ini, tanah bagi masyarakat adat Dayak Meratus begitu sakral posisinya, sehingga dalam kultur dan ritus selalu berkaitan dengan kehidupan alam. “Paling utama adalah padi, bukan batubara dalam ritus-ritus adat Dayak Meratus. Makanya, ada gelaran Aruh Ganal yang disajikan adalah padi, bukan bongkahan batubara. Sangat aneh, jika alam Meratus ditambah  yang akan menghilangkan budaya dan kearifan lokal masyarakatnya,” imbuhnya.(jejakrekam)

 

Penulis Ahmad Husaini
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.