Banjarmasin, Kota Sungai Dihantui Bayang Krisis Air Bersih ‘Abadi’

0

BANJARMASIN bangga dengan ikon Kota Seribu Sungai.  Aliran sungai yang mengilhami budaya airnya dengan dua bentang Sungai Barito dan Sungai Martapura, mengalir hingga ke sudut-sudut kota. Namun, ironisnya, ketika intrusi air asin dari Laut Jawa ke akuifer air tawar yang menjadi sumber air minum, selalu menghantui ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ini.

SERBUAN air asin itu pun semakin panjang, hingga menuju hulu Sungai Martapura sebagai sumber air baku minum bagi Banjarmasin. Kemarau panjang yang sempat melanda, membuat Banjarmasin mengalami krisis air. Ini belum lagi, problema tercemar beratnya air Sungai Barito dan menyasar Sungai Martapura, seperti bakteri Escherichia coli (e-coli), dan air tawar yang berubah jadi asin sangat berbahaya untuk dikonsumsi. Bayangkan saja, baku mutu air yang bisa diolah berdasar regulasi dari Kementerian Kesehatan, hanya sampai 3.500 PPM, nah ketika air laut menyerbu sungai-sungai di Banjarmasin bisa memiliki keasinan hingga 8.000 PPM.

“Sebetulnya, masalah krisir air sungai sebagai bahan baku utama air bersih, pernah melanda Banjarmasin di era kolonial Hindia Belanda pada 1929. Ini bisa dibaca dari berita dalam koran Het Nieuws Vande Dag Voor Nederlandsh-Indie, Woensdag 6 November 1929 (vijf bladen no. 255. 34e jaargang),” ucap Sekretaris Pusat Kajian Budaya dan Sejarah Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur kepada jejakrekam.com, Senin (5/3/2018).

Dia merujuk pada artikel berjudul “Kekeringan di Borneo” pada 6 November 1929, diinformasikan banyak tempat yang mengalami krisis air akibat kekeringan dalam jangka panjang di Borneo.

“Tanda-tanda kekeringan panjang tu, karena beberapa sungai dan sumur di Martapura dan Hulu Sungai mengalami pendangkalan. Bahkan, debit air bersih sangat minim,” ucap Mansyur.

Dosen muda Program Studi Sejarah FKIP ULM ini mengungkapkan air minum bisa didapat dengan susah payah, seperti di wilayah Gadung di Rantau dengan kondisi sungai yang benar-benar kering.

“Waktu itu, gerobak sapi bisa masuk ke dalam sungai yang kering. Sebagian besar di tempat terdekat seperti Bandjermasin, air payau atau asin, ditandai intrusiatau masuknya air laut. Tentu saja tidak layak dikonsumsi, bahkan hanya sekadar mencuci pakaian,” beber magister sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini.

Bagi penduduk yang tergolong, Mansyur menceritakan saat itu hanya bisa sedikit menikmati kemewahan dengan simpanan beberapa tangki atau barel untuk menampung atau menadah air hujan. Cara pemakaiannya pun sehemat mungkin, saat dilanda kekeringan panjang.

“Beda dengan orang kecil atau kurang mampu, apalagi tinggal cukup jauh dari gerai atau pusat penjualan air di kota, harus siap menghadapi krisis air bersih.  Waktu itu, air yang dipasok dari penjual air lokal dari pedalaman dijual dengan harga tinggi,” tutur Mansyur.

Walhasil, penduduk lokal Banjar yang mengerti soal kebersihan meminta diperiksa pertama kali oleh Dinas Kesehatan demi menjamin higienitas  air yang dipasok dari pedalaman itu, sebelum dijual ke masyarakat.

“Nah, dalam koran lawas itu, Pemerintah Kolonial Belanda memang sudah memikirkan pasokan air yang didambakan warga Bandjermasin. Bahkan, sudah menjadi keputusan Dewan Kota Badjermasin dalam menyikapi krisis air bersih. Namun, keputusan ternyata belum seiya sekata dengan pejabat yang ada di Batavia,” tutur Mansyur.

Peneliti sejarah ini pun mengungkapkan sejak lima tahun sebelumnya, tepatnya pada 1924 telah dialokasikan dana oleh Dewan Kota Badjermasin untuk menangani masalah krisir air bersih, walau gelontorannya tergolong masih minim.

Mansyur merincikan penganggaran biaya untuk tahun 1924, operasional Dewan Kota Banjarmasin 23.305 gulden, Pekerjaan Umum 35.970 gulden, Penyemprotan dan Layanan Kebersihan 1.000 gulden, Pemadam Kebakaran 9.900 gulden, Penerangan Jalan 11.500 gulden, Dinas Pasar 16.420 gulden, Persediaan Air Minum 1.750 dan sebagainya.

Begitu terjadi kekeringan panjang di Bandjermasin pada November 1929, pendiri pabrik air minum kemasan pertama di Hindia Belanda (Hygiea), Mr Hendrik Freerk Tillema (H.F. Tillema), melakukan perjalanan ke ibukota Borneo tersebut.

“Hal ini juga diceritakan dalam koran Het Nieuws Vande Dag Voor Nederlandsh-Indie, Woensdag 6 November 1929 (Vijf Bladen No. 255, 34e Jaargang). Dalam rubrik tentang “Kebersihan di Borneo”, memang banyak cerita mengemuka,” papar Mansyur.

Sejarawan muda yang juga akrab disapa Sammy ini mengungkapkan sosok Tillema, D.M.G Koch, dalam bukunya Batig Slot, Figuren uit het oude Indie, tahun 1910 dituturkanbahwa Hendrik Freerk Tillema adalah pendiri pabrik air minum kemasan Hygeia  dan pertama ada di Hindia Belanda.

“Tiga tahun setelah Hygeia berdiri, Tillema duduk sebagai anggota dari Gemeente Raad (Dewan Kotapraja) Semarang.  Tillema kelahiran Echten, Negeri Belanda pada 1870. Tillema mengadakan perjalanan keliling Hindia Belanda, dimulai pada 1915. Satu kota yang dikunjunginya adalah Kota Banjarmasin,” beber Sammy.

Bahkan, masih menurut dia, dalam koran Het Nieuws Vande Dag Voor Nederlandsh-Indie, Mr. H.F. Tillema menceritakan tentang perjalanannya yang dimulai di Bandjermasin, wilayah Borneo bagian selatan. Kota Banjarmasin terletak pada wilayah yang rendah. Karena itu topografinya berlumpur.

“Nah, ketika menyusuri Kota Banjarmasin, yang pertama terlihat adalah kehadiran kontainer di rumah-rumah penduduk. Kontainer dimaksud adalah wadah atau tempat menampung air hujan. Penduduk Eropa menggunakan air hujan ini untuk air minum dan kebutuhan lainnya. Air hujan juga cukup untuk mandi dan mencuci. Sementara penduduk asli Banjar menggunakan air kalium,” papar Sammy.

Pada saat kekeringan, menurut dia, penduduk mengalami masalah besar, sebab tempat pasokan air bersih kosong, sementara air sungai tidak layak dikonsumsi.  “Air minum harus dipasok dari tempat atau sumber air  yang tidak mengalami pengaruh air laut. Sebagai alternatif hanya ada air kotor dari tempat kotor yang mengering dari kali. Namun, air ini sungguh tak layak untuk dikonsumsi, apalagi sekadar untuk dipakai buat mandi,” ujarnya.

Tak mengherankan, akhirnya Mr. H. F. Tillema mengusulkan agar Dewan Kota Badjermasin segera mengatasi masalah pasokan air bersih bagi denyut kehidupan kota, sehingga kekeringan panjang tak lagi menjadi ancaman bagi ibukota Borneo tersebut. (jejakrekam)

 

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.