Habis Melon Terbitlah Stawberry

Oleh : Wati Umi Diwanti

0
BEBERAPA pekan terakhir jagat perdapuran dibuat heboh akibat menghilangnya si Melon dari peredaran. Sudahlah mencarinya perlu radar informasi yan lebih tinggi dan luas. Harganyapun lumayan fantastis. Biasanya masih bisa di dapat seharga Rp 27.000 (sudah jauh di atas HET) saat ini mencapai Rp 40.000.

DIKABARKAN kelangkaan yang terjadi akibat buruknya cuaca yang menyebabkan suplai dari jalur laut terhambat (banjarmasin.tribunnews.com, 24/2/18). Tapi lucunya kenapa cuma si Melon yang langka? Bukankah sumber gas dengan aneka volume itu datangnya dari tempat yang sama?

Maka tak salah jika para emak yang saat ini taraf berpikirnya sudah naik level. Tak lagi sekadar seputar sumur dapur kasur. Tapi gimana caranya dapur tetap ngebul. Juga berbagai sisi yang mempengaruhi dunia perdapuran pun mereka pikirkan. Bahwa ada semacam skenario “habis melon terbitlah strawberry”.

Bukan masalah warna dan ukuran yang dipermasalahkan. Tetapi seperti beberapa bulan lalu pernah disosialisasikan bahwasanya stawberry adalah gas non subsidi. Otamatis harga per kilonya lebih tinggi. Apalagi dengan postur yang lebih besar maka otomatis dalam sekali tramsaksi, konsumen harus langsung mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Sangat memberatkan rakyat kecil.

Terlepas dugaan di atas benar atau salah, sebenarnya kondisi macam ini bukanlah hal baru dan aneh. Penarikan subsidi menjadi sebuah kewajaran di negara berasas kapitalis. Dulu kasus minyak tanah juga begitu. Langka lalu naik harga. Tarif dasar listrik (TDL) pun tak jauh berbeda. Negara diwajibkan hanya sekadar menjadi regulator. Demi mencapai kebebasan individu yang merupakan pemikiran pokok ideologi kapitalis. Semua pengadaan barang termasuk hajat hidup orang banyakpun perlahan tapi pasti akan dialihkan pada pihak individu/ swasta.

Namanya swasta atau semi swasta wajarlah jika untung rugi jadi pertimbangan utama. Ada uang ada barang. Siapa perlu silakan beli sesuai harga. Jika ada yang tak mampu negara yang subsidi. Saat negara pun (mengaku) tak mampu, apa boleh buat subsidipun terhenti. Rakyat tak mampu beli, siapa yang perduli?

Jauh beda dengan negara yang berasas Islam. Negara benar-benar difungsikan sebagai periayah (pengurus) urusan rakyat. “Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam Al Bukhari  dan Imam Ahmad)

Agar penguasa memiliki kemampuan menggembalakan rakyatnya dengan baik. Terpenuhi hajat hidupnya, baik hajat publik maupun haja individu termasuk di dalamnya masalah pangan yang dalam hal ini bahan bakar memasak masuk di dalamnya. Islam punya seperangkat aturan yang komprehensif. Jika diterapkan, penguasa akan mampu menjalankan fungsinya. Rakya tpun terpenuhi segala kebutuhannya.

Masalah gas ini masuk pada sistem pengelolaan sumber daya alam (SDA). Jelas sekali panduan umumnya adalah bahwa gas dan SDA lainnya merupakan kepemilikan umum. Sebagaimana Hadis Rasulullah Saw. “Kaum muslimin bersyerikan dalam tiga perkara yaitu air, rumput liar dan energi api.” (HR. Ahmad)

Hukum asal SDA adalah milik umum (masyarakat), maka tak ada harga. Jikapun ada hanyalah sebagai ganti atas biaya pengolahannya. Itupun jika memang benar-benar tak dapat ditutupi dari hasil pengelolaan harta milik umum lainnya. Atau dari kelebihan hasil produksi yang dijual pada individu/ swasta. Dengan demikian tidak ada istilah pencabutan subsidi. Karena pada dasarnya SDA adalah milik rakyat dikembalikan sepenuhnya untuk keperluan rakyat. Islam mewajibkan negara sebagai pengelola tunggal secara langsung. Mulai eksploitasi, produksi hingga distribusi.

Sayangnya wacana ini bak dongeng di negeri antah berantah yang rasanya tak mungkin bisa terjadi di negeri ini. Itu jika tak banyak yang tahu bahwa Islam punya aturan pengelollan SDA. Jika lebih banyak yang ketakutan pada penerapan Islam secara keseluruhan.

Sebaliknya, kondisi ideal itu akan bisa terwujud dengan mudah jika kesadaran umat mulai bertambah. Saat umat mulai memahami Islam tak hanya sebaas urusan aqidah dan ibadah. Melainkan meliputi urusan muamalah termasuk tata kelola ekonomi dan pemerintahan. Dan justru hanya dari sanalah ke-rahmatan lilalamin-an Islam dapat terwujud nyata.

Hal itu sangat mungkin terjadi jika yang sudah paham tidam berdiam. Tidak terbungkam atas ancaman-ancaman pada kekritisan kebijakan. Karena selain kewajiban, menunjukan sebuah kesalahan disertai penyampaian solusi Islam merupakan satu-satunya cara kita untuk keluar dari jeratan kapitalis. Jika bukan kita yang melakukan, lalu siapa? Dan Allah pun menantikan doa-doa kita disusuli dengan usaha nyata melakukan perubahan.

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,” (QS Ar’Ra’d: 11)

Demikianlah kita harus sama-sama bersuara, agar akhirnya semua memiliki perasaan dan pemikiran yang sama lalu mengupayakan yang sama. Insya Allah perubahan (pada kebaikan) akan diberikan-Nya. Allahu’alam. (jejakrekam)

Editor Wati Umi Diwanti

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.