Banua Menanti Keadilan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Paman Birin

0

SEBAGAI Gubernur Kalsel, masih banyak persoalan, khususnya sektor ekonomi dan sosial, yang masih harus dibenahi H Sahbirin Noor.

HARAPAN tersebut terlontar saat Diskusi Publik bertema Review 2 Tahun Pemerintahan Paman Birin – Menanti Keadilan Pembangunan Ekonomi dan Sosial untuk Masyarakat Banua, yang digelar SECI (Social Economic Cultural Indonesia), di Gedung Dakwah NU Kalsel, Rabu (28/2/2018).

Hadir dalam diskusi ini, Dr M Uhaib As’ad (akademisi/pengamat kebijakan publik), M Solikin (praktisi tambang), KH Nasrullah (tokoh muda NU Kalsel), Didi Buhari (Ketua Umum SECI).

Dalam pemaparannya, Uhaib As’ad menyoroti adanya predator tambang di Kalsel. Alasannya, Kalsel menjadi daerah kedua penghasil sumber daya alam, khususnya batubara, dan menyumbangkan lebih dari Rp 300 triliun bagi APBN, tapi masih banyak masyarakat lokal, khususnya yang berada di daerah tambang, masih hidup dalam garis bahkan di bawah garis kemiskinan.

“Selain itu, indeks pembangunan Kalsel juga stagnan. Ada apa dengan semua ini? Siapa yang menguasainya? Ini yang menjadi pertanyaan klasik dari dulu, dan tidak pernah diketahui jawabannya, kecuali hanya oleh segelinyir orang yang berkutat di dalamnya,” kata Uhaib.

Ia menduga munculnya permasalahan sosial ekonomi di Kalsel, khususnya di daerah-daerah pertambangan, disebabkan banyaknya korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam, baik di tingkat pusat hingga ke tingkat daerah.

“Bisa disebutkan ini sebagai kutukan sumber daya alam. Hanya segelintir orang yang menikmatinya, dan masyarakat lokal yang merasakan deritanya. Masyarakat lokal malah termarjinalkan,” tegas dosen Fisip Uniska ini.

Menurutnya, yang menarik adalah ketika kekuatan kapital atau modal mengintervensi negara atau negara dikendalikan oleh kekuatan modal dan menempatkan posisi negara sebagai klien.

Menurutnya, negara bukan lagi sebagai patron tapi yang menjadi patron justru adalah para kapitalis.

Mengutip pernyataan Noreena Heizt dalam bukunya Silent Take Over and Death of Democracy, ia mengatakan, ketika negara telah intervensi kekuatan model dan demokrasi bisa dibeli, maka peran negara sebagai state capitalism telah diambilalih oleh kekuatan kapital sebagai private capitalism.

“Kasus Pegunungan Meratus dan kasus Pulau Sebuku adalah contoh kecil dari bergesernya peran negara sebagai state capitalism yang diintervensi oleh kekuatan modal sebagai  private capitalism,” tuturnya.

Menurutnya, Meratus dan Pulau Sebuku adalah sebuah narasi yang dipertontonkan secara telah telanjang dihadapan publik Kalsel.

Meratus dan Sabuku menjadi empirical evidence yang membangkitkan libido keserakahan ekononi dan politik yang mainkan para aktor atau orang-orang yang mengendalikan negara dan negara pun nyaris tidak berdaya atau mengalami weak state. “Meratus yang membentang dari kawasan daerah Hulu Sungai sampai ke kawasan Kotabaru telah menbangkitkan libidolitas para predator tambang,” katanya.

“Meratus dan Pulau Sebuku telah menjadi kutukan bagi warga Kalsel bukan menjadi berkah. Pulau Sebuku menjadi saksi bisu dari korporatisme jahat dan mimpi buruk bagi warga lokal meminjam istilah John Perkins,” katanya lagi.

Ia mengapresiasi kebijakan Paman Birin menutup tambang di Pulau Sebuku, dan tidak memberikan izin tambang di kawasan Pegunungan Meratus.

“Tapi kenapa hanya di kawasan Pulau Laut atau Kotabaru. Dan, apakah ini sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah pusat? Kalau tidak izinkan tambang di Pegunungan Meratus, maka harus konsisten. Kami juga mempertanyakan reklamasi pasca tambang, apakah sudah berjalan dengan baik. Menurut saya, tambang adalah wadah permainan politik dan memunculkan banyak masalah, yang pada ujungnya masyarakat lokal menjadi korban,” tuturnya.

Sementara itu, M Solikin menyoroti masih banyak sektor ekonomi yang tidak tergarap dengan baik. “Potensi-potensi ekonomi yang potensial hanya dikuasai segelintir orang saja. Dunia usaha juga ada mengeluhkan munculnya persaingan tidak sehat, adanya dugaan kriminalisasi usaha, serta kebijakan-kebijakan yang kontra investasi,” tuturnya.

Selain itu, katanya, anggaran dalam APBD Kalsel sebagian besar masih untuk belanja pegawai, hanya sebagian kecil untuk kepentingan warga Banua. “Ada monopoli potensi-potensi daerah. Kesempatan masyarakat yang di luar lingkaran, sangat terbatas. Selain itu, ada dugaan banyak gagalnya masyarakat dalam berusaha, khususnya di sektor konstruksi dan pertambangan, karena adanya rekayasa,” katanya.

Ia juga menyoroti adanya ketimpangan pembangunan, yang terlihat penyerapan anggaran hanya untuk kawasan pesisir. “Anggaran pembangunan untuk kawasan pesisir masih sangat kecil. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah harus segera dievaluasi,” katanya.

Sekretaris Bappeda Kalsel Karyadi mengatakan, melakukan beberapa kali uji publik kebijakan. “Pemerintah tidak anti kritik. Pemprov tetap tampung aspirasi masyarakat,” katanya.

Capaian dua tahun terakhir, misalnya IPM masih rendah, tapi Kalsel terus melakukan perbaikan-perbaikan yang sangat cepat.

Pengangguran, katanya, bersamaan dengan kemiskinan menurun, yang tingkatnya hanya 4,77 persen. “Dua kawasan industri nasional menjadi sorotan nasional, yang biayanya tidak hanya daerah, tapi juga dari pemerintah pusat dalam rangka perbaikan ekonomi daerah,” katanya.

Sementara, adanya anggapan ketimpangan pembangunan antara kawasan pesisir dan hulu sungai, ia mengatakan, Pemprov Kalsel mengembangkan potensi-potensi daerah yang muncul di kawasan itu.(jejakrekam)

Penulis : Andi Oktaviani

Editor : Andi Oktaviani

Foto : Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.