Mendudukkan Kembali Peran Parpol Islam di Era Kekinian

0

BEBERAPA waktu yang lalu,  baru saja usai perhelatan jelang pesta demokrasi. Perhelatan pengambilan nomor urut partai politik  peserta pemilu tersebut digelar di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di Jakarta.

MENGUTIP dari kompas.com, sebanyak 14 partai politik (parpol) yang lolos verifikasi faktual telah mendapatkan nomor urut peserta Pemilu 2019. Pengundian nomor itu dilakukan di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Minggu (18/2/2018).

Parpol tersebut antara lain: PKB, PDI Perjuangan, Partai Golkar,  Partai Nasdem, Partai Garuda, Partai Berkarya, PKS , Partai Perindo, PPP, Partai Solidaritas Indonesia, PAN, Partai Hanura, dan Partai Demokrat.

Dibandingkan Pemilu 2014 sebelumnya yang hanya diikuti 12 parpol, ada beberapa wajah baru, d iantaranya Partai Nasdem, Partai Perindo, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garuda dan Partai Berkarya.(kompas.com). Parpol yang bertarung di Pemilu dari masa ke masa).

Meski mendaftar sebagai parpol baru namun kebanyakan dihuni oleh orang-orang yang lama malang melintang di dunia politik. Sebagian diantaranya bahkan pernah tercatat di parpol yang berbeda dari Pemilu sebelumnya.  Ini yang sering disebut oleh sebagian kalangan dengan “kutu loncat”. Padahal setiap parpol sudah tentu memiliki visi dan misi yang mengikat setiap anggota di dalamnya.

Seperti yang disebutkan oleh Prof. Miriam Budiardjo dalam buku Dasar dasar Ilmu Politik ketika memaknai partai politik dalam era modern  sebagai ‘suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka’.

Maka bila berpatokan pada definisi di atas, sudah seharusnya setiap orang yang tergabung di dalam sebuah parpol terikat dan diikat oleh prinsip parpol masing-masing.  Tak mudah berpindah ke lain hati.  Tapi kenyataan tidak demikian.  Apakah ada kaitannya dengan syahwat kekuasaan? Wallahu a’lam.   Lantas  seperti apakah yang disebut dengan parpol yang hakiki menurut Islam dan bagaimana perannya dalam kehidupan bernegara.

Islam memandang partai politik sebagai kelompok yang terorganisir yang berlandaskan ideologi Islam. Anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama, yaitu Islam dalam rangka mengurusi urusan rakyat.

Parpol dalam Islam memiliki karakter sebagaimana yang diisyaratkan Allah swt dalam firman-Nya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali ‘Imran [3]: 104)

Imam al-Qurthubiy dalam tafsirnya menyebut ummah dalam ayat ini adalah kelompok karena adanya lafadz minkum (diantara kalian). Imam ath-Thabari, menafsirkannya dengan: “(Wal takun minkum) Ayuhal mu’minun (ummatun) jama’atun”, (hendaklah ada diantaramu (wahai orang-orang yang beriman) umat (jamaah yang mengajak pada hukum-hukum Islam).  Sedangkan al-Khair menurut Imam Jalalayn adalah al-Islam, adapun menurut Ibn Katsir, al-Khair adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.

Jelaslah, tugas dan peran parpol  di dalam negara adalah untuk melakukan kontrol dan muhasabah terhadap negara, terutama dalam penerapan kebijakan baik di dalam maupun luar negeri.  Jika penguasa melakukan penyimpangan-penyimpangan, maka parpol Islam akan melakukan koreksi dan muhasabah terhadap penguasa.  Selain itu, parpol Islam juga akan melakukan tugas utamanya, yakni mendidik kesadaran politik umat.

Terlebih lagi, terdapat satu hal yang perlu dicatat. Keberadaan parpol dalam Islam tidak akan berperan sebagai kekuatan oposisi yang akan selalu menentang kebijakan negara, atau sebaliknya mendukung seluruh kebijakan negara. Tidak demikian. Pada prinsipnya, parpol akan melakukan koreksi tatkala terlihat ada penyimpangan. Sebaliknya, ia harus mendukung kebijakan-kebijakan negara yang sejalan dengan syari’at Islam.

Firman Allah SWT,  “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59). Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan, “Dan ulil amri di antara kalian,” maksudnya adalah menaati perkara yang diperintahkan oleh mereka berupa ketaatan kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/136).

Hal tersebut jauh berbeda dengan konsepsi parpol sistem demokrasi di mana parpol dibelah menjadi dua kekuatan yakni, parpol yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah (partai penguasa), dan partai oposisi yang terus menyerang kebijakan pemerintahan. Padahal konsepsi untuk selalu menentang pemerintah (oposisi) adalah tradisi yang bertentangan dengan prinsip ketaatan dalam Islam.

Demikian juga dengan adanya partai berkuasa yang selalu mendukung dan memperkuat kebijakan negara, konsepsi seperti ini juga bertentangan dengan prinsip Islam. Untuk itu, parpol sejatinya tidak berpihak atau untuk kepentingan penguasa maupun kepentingan rakyat, akan tetapi ia berdiri untuk melakukan amar ma’ruf nahiy mungkar. Jika penguasanya salah, ia akan mengoreksi penguasa, jika rakyat yang salah, maka ia akan mengoreksi rakyatnya. Wallahu a’lam.(jejakrekam)

Penulis : Dela Nusa

Pemerhati Masalah Sosial Politik

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.