Cipayung Plus Lawan Pemilik Modal Kuasai Pesta Demokrasi

0

GERAKAN mahasiswa di Kalimantan Selatan menyatu dalam payung Kelompok Cipayung Plus. Organisasi mahasiswa ekstra kampus terdiri dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), HIKMAH BUDHI, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) serta Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI)  satu suara.

PARA kaum intelektual ini menyikapi beberapa hal yang menyangkut masalah dihadapi negara. Dalam rilis bersama di Islamic Center Martapura, Sabtu (25/2/2018), masing-masing pimpinan organisasi mahasiswa ekstra kampus di Kalimantan Selatan menyikapi masalah pemilihan umum dari presiden, gubernur, bupati, walikota hingga wakil rakyat dari pusat hingga daerah yang sangat kuat pengaruh modal.

Faktanya di mata para mahasiswa ini, pemilu menjadi momentum tepat bagi pemodal dalam mempengaruhi kontestan pemilu yang membutuhkan dana sehingga ada utang politik yang harus dibayar ketika telah terpilih.

“Ketimpangan ekonomi masih terjadi di Indonesia. Akhirnya, modal menjadi pilihan utama dalam mempengaruhi suara pemilih, hingga akhirnya kedaulatan pemilih berada di tangan pemilik modal dan partai politik. Fenomena ini terjadi di Kalimantan Selatan, dengan dinamika politik yang dipengaruhi para pemodal dalam mempengaruhi kebijakan politik daerah,” kata para aktivis kampus ini dalam rilis bersama itu.

Akhirnya, di mata para mahasiswa ini, menguasai birokasi adalah upaya untuk memperlancar usaha para pemodal, dengan menciptakan kapitalisasi modal dan memicu kesenjangan ekonomi yang begitu besar. “Jadi, tidak tercapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat di Kalimantan Selatan. Nah, kapitalisasi modal ini perlu diwaspadai apalagi jelang Pilkada 2018 di Kalsel, khususnya kontestan petahana dalam peningkatan izin usaha, izin pertambangan dan sebagainya,” cetus Kelompok Cipayung Plus ini.

Tak hanya itu, kelompok organisasi mahasiswa di Kalsel ini juga menyorot soal konflik agraria hingga terbitnya izin pertambangan PK2PB di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) dari Kementerian ESDM. “Ini akan menimbulkan polemik dan konflik di tengah masyarakat,” kata Kelompok Cipayung Plus ini.

Untuk itu, mereka mendesak agar pemerintah menjalankan reformasi agraria sejati sesuai amanat UUPA 1960, termasuk Kalsel dalam menjalankan kebijakan agraria yang serius. Para mahasiswa ini juga menuntut Pemprov Kalsel melaksanakan Perda Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Berkelanjutan, serta menertibkan izin usaha yang maladministrasi dan tak pro kepada rakyat.

“Kami juga mendesak agar Pemprov Kalsel serius menangani konflik agraria di Kalsel sesuai Perda Nomor 4 Tahun 2014 tentang Fasilitasi Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan,” kata Kelompok Cipayung Plus ini.

Terkait dengan revisi kedua UU MD3 pada 12 Februari 2018 oleh DPR RI, juga disikapi Kelompok Cipayung Plus. Kontroversi UU MD3 terdapat pada tiga pasal yang memicu keresahan publik yakni  Pasal 73, Pasal 122 huruf K, dan Pasal 245. “Masyarakat menilai tiga pasal tersebut membuat kelembagaan legislatif menjadi lembaga yang super power atau menjadi lembaga yang sulit untuk disentuh, Lembaga yang anti-kritik, bahkan disebutkan UU tersebut membunuh demokrasi,” protes kelompok mahasiswa ini.

Atas consensus bersama, Cipayung Plus Provinsi Kalsel pun mengambil sikap yakni menolak tegas Pasal 73 UU MD3 terkait kewenangan DPR untuk melakukan panggilan secara paksa kepada pihak pejabat maupun pihak masyarakat dengan sinyalir Abuse of Power yang berpotensi mengikis peran DPR sebagai ‘perwakilan rakyat’ dan menciderai netralitas lembaga kepolisian karena dilibatkan dalam suatu kepentingan politik.

“Kami mengecam UU MD3 Pasal 122 huruf K yang berpotensi mengkhianati nilai-nilai demokrasi karena tidak sesuai dengan UUD NRI Pasal 28E ayat 3. Kemudian, menjunjung tinggi asas Equality before the law sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KHUP) penjelasan umum butir 3, dengan mengecam UU MD3 Pasal 245 terkait prosedur pemanggilan DPR karena pasal tersebut berpotensi menghambat proses penegakan hukum,” cetus Cipayung Plus Kalsel ini.

Bahkan, para mahasiswa ini memastikan akan mengawal proses uji materi MD3 di Mahkamah Konstitusi (MK) serta mendorong MK untuk memberikan keputusan yang seadil-adilnya demi tegaknya amanat konstitusi.(jejakrekam)

Penulis : Ahmad Husaini

Editor   : Didi G Sanusi

Foto      : Ahmad Husaini

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.