Berlebihan, Sebuah Kritikan Dibawa ke Ranah Hukum

0

PEMBUNGKAMAN terhadap suara-suara kritis seperti dialami aktivis Syahiduddin ketika ditahan Kejaksaan Negeri (Kejari) Kotabaru, terus memancing reaksi dari kalangan pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan gerakan masyarakat sipil di Kalimantan Selatan.

NOORHALIS Majid yang juga Kepala Ombudsman Perwakilan Kalsel pun mengaku banyak yang bertanya soal penahanan Syahiduddin dilakukan Kejari Kotabaru.

“Ya, kemungkinan saya dianggap tahu masalah tersebut, atau dianggap putra daerah yang selalu mengikuti perkembangan dinamika politik di Kabupaten Kotabaru,” ucap Noorhalis Majid kepada wartawan, di Banjarmasin, Sabtu (24/2/2018).

Mantan Ketua Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) ini mendapat informasi soal kasus yang mendera Syahiduddin atau akrab dipanggil H I’id, ketika diadukan KNPI Kotabaru karena membuat pernyataan di akun media sosial bahwa lomba bagarakan sahur merupakan perbuatan sia-sia.

“Semula, ketika mendengar kasus ini ditangani kejaksaan, saya jadi tertawa. Saya pikir pasti hanya guyono, dan tidak mungkin perkara sepele itu ditangani aparat penegak hukum dan berisiko hukum badan. Namun, setelah mendengar kabar  Iid ternyata ditahan kejaksaan dan ditetapkan sebagai tersangka, maka menurut saya ini berlebihan,” papar Majid.

Ia menegaskan jika hal semacam itu bisa diseret sebagai sebuah perkara hukum, berarti sudah tak ada lagi kebebasan bersuara.  “Kebebasan menyampaikan pendapat dan pemikiran adalah hak asasi manusia dan dijamin oleh konstitusi. Kasus seperti ini akan menjadi preseden buruk untuk kasus lainnya yang pasti sangat banyak,” ucap jebolan STIE Indonesia ini.

Menurut Majid, boleh saja org lain mengatakan lomba bagarakan sahur itu perbuatan sia-sia. Hal itu tidak ada yang salah. “Hak orang berpendapat. Apalagi kalau lomba tersebut menggunakan dana APBD dan dilaksanakan oleh organisasi yang terbuka seperti KNPI. Terlebih, lomba tersebut digelar di ruang publik. Maka tidak ada yang salah dengan kritik Iid. Karena itu, ketika masalah tersebut menjadi masalah hukum, saya sangat menyayangkan,” cetusnya.

Bagi Majid, kasus semacam itu sangat berlebihan, yang sepatutnya cukup didamaikan, saling memaafkan di antara para pihak. “Saya sarankan agar diselesaikan secara adat saja. Saling bermaafkan. Jadikan ini pelajaran bagi semua pihak. Saya kira belum terlambat. Aparat dapat menjadi penengah. Kalau itu bisa dilakukan, maka semua pihak akan sangat terhormat, termasuk  aparat penegak hukum,”  katanya.

Nah, menurut Majid, jika aparat kesulitan jadi penengah, bisa memangil panggil para ‘tetuha’ atau tokoh masyarakat yang arif dan bijaksana, pasti mereka mampu mendamaikannya. “Saya sangat berharap dan menunggu perkara sepele seperti ini diselesaikan dengan cara yang lebih terhormat, yaitu dengan dialog, mediasi dan islah, berdamai secara adat,” tandasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komnas HAM, Hairansyah pun kasus yang dialami Syahiduddin patut disikapi. “Dalam perspektif kebebasan berpendapat, terutama peran polisi yang terlalu mudah memproses kasus semacam ini. Sementara, kasus lainnya justru terkesan lamban,” tulis Ancah, sapaan akrab dalam grup diskusi para aktivis.(jejakrekam)

Laporan Tim Jejakrekam.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.