UU MD3 Abaikan Asas Kesamaan Hak di Mata Hukum

0

POLEMIK pengesehan UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) terus menggelinding. Pegiat hukum di Kalimantan Selatan, Dedy Koco Susilo menilai belum ditekennya UU MD3 yang disahkan DPR RI oleh Presiden Joko Widodo, menandakan produk hukum itu masih perlu ditinjau ulang kembali.

“NEGARA Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Sumbernya jelas adalah UUD 1945 beserta amandemen, baik materiil maupun formil. Setelah membaca dan mencermati, ada beberapa pasal yang masuk dalam revisi UU MD3 patut dipertanyakan,” ucap Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Banjarmasin, Dedy Koco Susilo kepada jejakrekam.com, Jumat (23/2/2018).

Dia melihat dalam Pasal 245 UU MD3 yang membuat perlunya izin Mahkamah Kehormatan DR RI saat penegak hukum ingin memanggil dan permintaan keterangan anggota DPR RI yang diduga melakukan tindak pidana. “Kami memang bukan pakar hukum, tapi melihat bagi kepentingan demokrasi dan aparat penegak hukum justru berpotensi terjadi kerugian. Sebab, untuk memanggil atau memeriksa anggota DPR RI harus mendapat izin dari Mahkamah Kehormatan DPR RI paling lambat 30 hari, sehingga barang bukti bisa saja hilang, sedangkan proses penegakan harus cepat. Ini adalah sesuatu yang ingin mengganjal,” papar jebolan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini.

Dedy mencontohkan ketika aparat hukum hendak memerika anggota DPR RI dengan aturan yang bersifat lex specialis, begitu pula posisi UU MD3 juga bersifat khusus, tentu bertentangan dengan asas equality before the law atau kesamaan kedudukan di hadapan hukum. “Sebab, ciri kesamaan hukum adalah rule of law atau aturan hukum telah dimuat dalam konstitusi, guna menghindari terjadinya diskriminasi dalam supremasi hukum di Indonesia,” ucapnya.

Bandingkan, menurut dia, jika UU MD3 itu memberi kekhususan kepada anggota DPR RI agar tak dapat diperiksa penegak hukum, tanpa izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan. “Jelas-jelas ayat ini menabrak asas fundamental dalam hukum yakni equality before the law. Lantasi mengapa anggota DPR RI bisa dikecualikan? Hal ini tergambar dalam Pasal 122 huruf k UU MD3 yang berbunyi  mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR,” kata Dedy.

Sekretaris Badan Pengurus Pusat Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Kalsel ini mengatakan dalam frasa pasal itu, tentu bisa saja disalahgunakan anggota DPR RI untuk bertindak otoriter, sehingga bisa membungkam siapa saja yang memberi masukan atau kritikan terhadap kinerja perwakilan rakyat, terutama di media massa. “Ini tentu sangat berbahaya bagi perorangan, organisasi atau lembaga yang bisa saja pernyataan dinilai anggota DPR RI telah merendahkan dirinya,” ucap Dedy.

Dia menyarankan agar para wakil rakyat terhormat di Senayan Jakarta itu memikirkan masalah bangsa yang lebih besar, serta pekerjaan rumah yang belum selesai dibandingkan mempertebal proteksi terhadap kritikan atau penegakan hukum. “Ingatlah, aspirasi rakyat itu patut diserap DPR, DPRD maupun dewan terhomat lainnya sebagai hal yang diperjuangkan. Saya berharap agar anggota DPR RI kembali menjadi negarawan dan mengembalikan demokrasi sesuai dengan UUD 1945, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan konstitusional kita,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis : Asyikin

Editor   : Didi G Sanusi

Foto      : Klikkabar.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.