Politik Belah Bambu Snouck dalam Perang Banjar

0

PEREBUTAN kekuasaan di internal Kesultanan Banjar, diyakini sebagai titik lemah yang dimanfaatkan Belanda untuk ‘menajak pengaruh’ di Tanah Banjar. Dari serangkaian pergulatan politik itu, akhirnya memicu Perang Banjar II (1859-1905) yang menghadapkan rakyat Banjar versus tentara terlatih Pemerintah Kolonial Belanda.

MONOPOLI perdagangan, khususnya lada dan intan, membuat Belanda turut campur dalam suksesi kekuasaan di Kesultanan Banjar. Bab Senjakala Keraton Bandjar buku Bandjarmasin yang ditulis Begawan sejarah Banjar, Prof M Idwar Saleh, menggambarkan konflik kekuasaan antara Sultan Tamjidillah I (1734-1759), dengan keponakan yang belum dewasa, Pangeran Muhammad Aliudin Aminullah bin Sultan Hamidullah bergelar Ratu Anum.

Konflik ini berlanjut, saat Ratu Anum yang disokong rakyat menyerang Keraton Banjar untuk mengambil takhta yang direbut sang paman. Sementara, Tamjidillah I didukung para bangsawan, dan VOC Belanda, justru mengangkat Pangeran Nata Negara, anaknya jadi raja. Lalu meneruskan takhta kepada sang anak yang baru berumur 6 tahun pada 1767, dengan gelar Sultan Sulaiman Saidullah, serta cucunya, Sultan Adam.

Nah, usurpasi (perebutan hak) ini memicu perang hebat antara Kesultanan Banjar di bawah kendali Pangeran Nata setelah berhasil membunuh semua keturunan Sultan Muhammad Aliudin Aminullah, terkecuali Pangeran Amir, yang merupakan putera Sultan Muhammad dan kakek Pangeran Antasari. Makanya, pada 1785, Pangeran Amir menggalang kekuatan dengan mendatangkan 3.000 pasukan Bugis, di bawah komando Daeng Turawe untuk merebut takhtanya lagi.

Kewalahan menghadapi serangan pasukan Pangeran Amir, Pangeran Nata meminta bantuan VOC Belanda di bawah pimpinan Hoffman. Atas bantuan itu, ‘pemberontakan’ berhasil dipadamkan, dan pasukan Bugis dapat diusir ke Pasir.

Namun, menurut Idwar Saleh, keterikatan dengan VOC Belanda ini membuat kekuasaan Kesultanan Banjar melemah, akibat kontrak yang mengharuskan beberapa daerah vazal masuk wilayah kolonial, pada 1787. Tapi, menurut Idwar Saleh, sandiwara politik Nata justru sukses mengecoh Belanda hingga tak berdaya sejak 1787-1797. Banjar pun berhasil menguasai kembali wilayahnya.

Bahkan, Pangeran Nata juga melibatkan Inggris dengan mengirim utusan ke Pulau Pinang (Malaysia), yang membuat Belanda meninggalkan Banjarmasin.

“Saat itu, perdagangan lada di Banjar, dianggap merugikan VOC. Lantas di awal abad ke-19, Inggris juga mengusir Belanda pada 1809.  Makanya, utusan Inggris, Alexander Hare jadi residen di Banjarmasin, walau sebentar. Sebab, tak lama setelah itu Belanda kembali lagi, ketika mengetahui ditemukan pertambangan batubara,” ujar Apriansyah, peneliti sejarah asal FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin kepada jejakrekam.com, beberapa waktu lalu.

Berbeda dengan Apriansyah, peneliti sejarah FISIP Unlam lainnya, Taufik Arbain Taufik Arbain meyakini kekalahan dalam Perang Banjar II juga tak lepas dari strategi belah bambu yang diajarkan Dr Christiaan Snouck Hurgronje. “Sebetulnya, Snouck Hurgronje tak hanya berhasil memadamkan Perang Aceh, tapi juga Perang Banjar. Strategi Snouck yang dibukukan dalam De Acehers (Rakyat Aceh) itu juga digunakan dalam Perang Banjar,” ujar Taufik.

Mengapa? Dosen komunikasi politik ini mengatakan, karakteristik Banjar dengan Aceh itu relatif sama, karena pengaruh ulama dalam sebuah perjuangan sangat besar.

Hal ini sejalan dengan menguatnya gerakan Pan-Islamisme di era Sultan Adam dengan lahirnya UU Sultan Adam, hingga diteruskan ke Sultan Muda. Makanya, menurut Taufik, Belanda mengetahui adanya friksi hebat di Kesultanan Banjar, akibat adanya tiga kekuatan dominan; Pangeran Tamjidillah II (anak Sultan Muda dari Nyai Aminah), Pangeran Hidayatullah (putra Sultan Adam dari Ratu Siti), serta Pangeran Prabu Anom (adik Sultan Muda).

Menurut Taufik, diangkatnya Pangeran Tamjidillah II yang memilih membangun dinasti di Banjarmasin oleh VOC, merupakan pangeran yang jauh dari pengaruh ulama. Berbeda dengan Pangeran Hidayatullah yang dikenal sangat agamis dan sulit ditundukkan Belanda.

“Sedangkan, Pangeran Hidayatullah yang berdasar testamen Sultan Adam ialah pewaris sah kerajaan, dan putera seorang ratu, bukan selir,” cetusnya.

Hingga akhirnya, Manifest FN Nieuwenhuizen tanggal 5 Februari 1860 menghapuskan Kesultanan Banjar, dengan menurunkan Pangeran Tamjiddillah II dari takhta, lalu m embuangnya ke Bogor pada 25 Juni 1859 atas nasihat panglima KNIL-Belanda, Kolonel AJ Andersen. “Indikasi strategi Snouck ini diterapkan dalam Perang Banjar dengan dilibatkannya Kolonel AJ Andersen, yang sudah berpengalaman dalam Perang Aceh,” tutur Taufik.

Datu Cendikia Hikmadiraja Kesultanan Banjar ini juga menegaskan, trah raja itu masih lestari, walau dihapus Belanda secara sepihak, dengan diangkatnya Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.“Walau Kesultanan Banjar dihapus, toh, Pangeran Antasari tetap jadi penguasa Tanah Banjar dan Dayak, karena diangkat para tumenggung, adipati dan demang pada 14 Maret 1862,” ujarnya.

Dari hasil penelusuran Taufik, stempel Kesultanan Banjar berikut panji-panjinya masih dipegang Pangeran Antasari dan keturunannya, walau berada di persembunyian di Muara Teweh dan Puruk Cahu, Kalteng. “Ini berarti, siapa yang mampu menjawab tantangan zaman, dia bisa diangkat jadi raja.”

Ia juga menyontohkan lobi Pangeran Muhammad Seman, putera Pangeran Antasari yang berhasil masuk ke wilayah penguasa Sarawak, Sir James Brooke, agar membantu Banjar kembali mengusir Belanda. “Manuskrip surat Sultan Muhammad Seman kepada James Brooke, pada 1885, disimpan di Museum Brunei Darussalam. Ini dokumen penting, bagaimana Inggris masih mengakui Kesultanan Banjar, walau telah dihapus Belanda,” cetusnya.

Sayang, Inggris tak bisa turun tangan lagi, karena sudah terikat dengan Belanda, lewat Traktat London 1842. Sebuah perjanjian yang membagi wilayah jajahan di Nusantara antara Belanda yang diwakili Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diwakili George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn di London, pada 17 Maret 1824.(jejakrekam)

Penulis : Didi GS

Editor   : Didi G Sanusi

Foto     : Wikimedia Commons

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.